Buka Kuliah Tatap Muka di Kala Pandemi, Resikonya?

Buka Kuliah Tatap Muka di Kala Pandemi

Bulan September ini beberapa kampus baik negeri dan swasta mulai membuka perkuliahan di tengah pandemi. Ada beberapa perdebatan di kalangan birokrat kampus dan pemerintah soal boleh tidaknya kuliah tatap muka dilangsungkan di masa suram pandemi ini. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, mengizinkan perkuliahan dan pembelajaran dibuka dengan protokol tertentu. Namun banyak juga yang skeptis dengan langkah itu lantaran beberapa hari ini kasus Positif Corona di DIY tengah meningkat. Apalagi baru-baru ini ada kasus positif mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang melansir dari beberapa berita menyebutkan bahwa mahasiswa tersebut sempat ke kampus.

Wilayah lain pun tak jauh serupa. Saya sempat bertanya dengan teman saya yang mengajar di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Kendari. Ia berkata masih jadi pembicaraan hangat disana  mengenai hal tersebut. Sedangkan pantauan saya di wilayah lain seperti di Surakarta, perkuliahan rata-rata sudah berjalan dengan sistem online. Walaupun begitu kegiatan layanan kampus rata-rata tetap buka seperti biasa. Namun ada satu yang luput dari pandangan adalah pedagang yang berjualan di dalam kampus. Rata-rata saat ini mereka tutup atau memang sudah pindah lapak.

Pandemi ini kenyataannya belum berakhir dan mungkin situasi ini belum akan berubah hingga akhir semester ini. Namun jika melihat pedagang kampus yang sudah tutup belakangan ini, rasanya ada masalah yang lebih besar dari itu. Maksud saya adalah keberlangsungan kehidupan kampus yang saat ini juga jarang mendapat perhatian.

Perlukah Buka Perkuliahan Tatap Muka?

Perkuliahan tatap muka oleh sebagian besar mahasiswa maupun akademisi dianggap masih lebih baik jika dibandingkan dengan online. Namun siapa yang bisa menduga bahwa sekarang perdebatan mengenai fungsinya tersebut menjadi sedikit terobati dengan adanya program baik pemerintah maupun kampus melalui pengadaan kuota maupun bantuan yang serupa untuk mahasiswa. Perkaranya mungkin sekarang lebih ke kurikulum, dimana dosen harus memutar otak dan bijak dalam membimbing mahasiswanya saat ini lantaran mungkin jauh dari harapan pembelajaran itu sendiri.

Kekhawatiran tersebut masih terbilang masuk akal mengingat dengan pembelajaran online pasti adaa satu dua gangguan yang mengganjal. Belum lagi jika mata kuliahnya terkait dengan praktek mahasiswa, tentu hampir tidak mungkin jika perkuliahan justru dilaksanakan online sementara mahasiswa membutuhkan arahan dosen. Adaptasi semacam ini membutuhkan waktu dan mengedepankan kemanusiaan dalam belajar adalah solusi lainnya yang bisa dilakukan setidaknya untuk saat ini.

Kesehatan adalah Koentji

Namun baiknya memang kita harus melihat bahwa kasus Covid-19 ini di tiap-tiap daerah justru tengah meningkat dan klaster yang terkait dengan dunia edukasi bermunculan. Klaster Pondok Pesantren misalnya di Jawa Timur yang baru-baru ini muncul harus dipertimbangkan oleh lembaga pendidikan tak terkecuali Perguruan Tinggi. Alasannya cukup sederhana, pondok pesantren memiliki ratusan sampai ribuan siswa yang tersebar di berbagai pelosok wilayah. Sangatlah beresiko jika tetap membuka perkuliahan terlebih mahasiswa juga tinggal di berbagai daerah. Pemeriksaan rapid test yang diwajibkan untuk mahasiswa juga sebetulnya beresiko mengingat alat ukur tersebut justru saat ini mulai dipertanyakan oleh ahli kesehatan lantaran keakuratannya yang meragukan.

Keputusan perguruan tinggi untuk membuka perkuliahan tatap muka hendaknya harus mengacu situasi yang ada secara nasional. Hipotesisnya adalah resiko membuka perkuliahan tatap muka berkorelasi dengan “sumbangan” kasus positif Covid-19. Jadi daripada daerah maupun perguruan tinggi mengizinkan hal itu, namun resiko tetaplah harus dipertimbangkan.

Tinggalkan komentar