Isu Pelajaran Sejarah akan Dihapus, Solusinya?

Mata Pelajaran Sejarah Mau Dihilangkan

Akhir September ini seperti tahun sebelumnya beberapa orang menggaungkan kembali isu bangkitnya PKI yang hanya beberapa hari menjelang peringatan G30/S PKI. Hanya saja, saya cukup terkejut ketika ada pesan berita soal isu mata pelajaran sejarah akan dihapuskan. Berita itu seakan jadi momen kelam yang pas dengan isu musiman yang masih terkait.

Tentu saja saya tidak percaya begitu saja kabar tersebut. Belakangan “Mas” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim juga telah membantah hal tersebut (20/9/2020). Belakangan saya mengetahui bahwa kurikulum tengah ada perubahan. Bersamaan dengan itu, ada sejumlah kekhawatiran di kalangan pendidik bahwa mata pelajaran sejarah semakin tereduksi.

Kalau dipikir-pikir benar juga kekhawatiran itu. Hal itu juga cukup menjelaskan mengapa isu ini bergulir menjelang isu musiman itu. Sejumlah sejarah bermasalah sementara pendidikan sejarah semakin berkurang. Ibarat mengintip tak dapat ditolak, tapi buta datang menghampiri.

Isu dan Masalah Pelajaran Sejarah

Tidak ada ceritanya suatu bangsa tidak memiliki sejarah. Oke, kenyataannya memang tidak semua orang secara spesifik mengetahui sejarahnya. Namun secara umum kita semua pasti setidaknya tahu mengenai sejarah. Sejarah itu seperti membangun sebuah kronologi asal mula kita hari ini yang hampir sama menariknya dengan mempelajari diri sendiri.

Posisi pelajaran sejarah sendiri di Indonesia biasanya tergabung dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Mata pelajaran yang sudah sejak SD saya sukai (serius). Mata pelajaran ini juga lebih banyak mengeksplorasi sosial, geografi dan ekonomi.

Masalahnya adalah entah disadari atau tidak, mata pelajaran IPS saat ini juga kadung disamakan dengan sejarah. Sehingga ada miskonsepsi tentang bagaimana porsi pelajaran sejarah akan ditempatkan dengan pelajaran yang masih “satu kawasan” itu. Apakah akan jadi mata pelajaran sendiri ataukan tetap tergabung dengan IPS namun dengan porsi yang bagaimana hal itu masih memerlukan perbicangan panjang.

Masalahnya pun tidak berhenti disitu. Saya pernah mendapat guyonan dari guru saya sendiri. Ia pernah bilang bahwa jika mata pelajaran sains membuat professor mengalami kebotakan di depan karena selalu melihat masa depan, maka mata pelajaran sejarah berlaku sebaliknya. Professor bidang sejarah akan mengalami kebotakan di bagian belakang, karena mereka selalu melihat masa lalu.

Tentu saja pedih sekali rasanya mendengar hal tersebut. Apalagi saya sering meneliti fenomena komunikasi dari kronologinya, logika yang mirip digunakan para ahli sejarah. Tapi jika ditelisik lagi mungkin guyonan ini muncul dikarenakan metode pembelajaran sejarah itu sendiri.

Pelajaran sejarah di Indonesia lebih banyak berbicara seputar kejadian, waktu dan tahun. Walhasil kita akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghafal daripada mengeksplorasi sejarah itu sendiri.

Nilai Sejarah sebagai Inti

Bagi saya sendiri ada dua solusi kunci untuk itu. Pertama adalah memberi porsi tersendiri bagi pelajaran sejarah. Daripada tereduksi lagi sementara porsi pelajaran sejarah tidak semakin membaik, lebih baik berikan porsi lebih. Selain itu pelajaran sejarah penting dikarenakan siswa tidak hanya belajar dan memahami bangsa, namun diharapkan dapat juga mengambil nilai-nilai dasar dan filosofi perjuangan terdahulu. Bukankah ini sejalan dengan program merdeka belajar dan pendidikan karakter yang tengah digalakkan pemerintah?

Jika memang pemerintah masih keberatan dengan hal itu, maka seharusnya solusi keduanya adalah bagaimana membuat pelajaran sejarah tidak berpaku pada hafalan kejadian, waktu dan tempat. Namun lebih berorientasi pada nilai dan makna sejarah itu sendiri. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga sudah mewanti-wanti soal ini. Logikanya jika kurikulum masih berpaku pada hafalan, maka pelajaran sejarah hanya akan jalan di tempat.

Pelajaran sejarah juga dinilai hanya berkutat pada sejarah nasional, sedangkan sejarah lokal cenderung diabaikan. Padahal tanah air ini memiliki sejarah di setiap daerahnya yang bisa memperkuat kesatuan dari tingkat bawah. Itu  pun juga belum termasuk detail sejarah nasional yang jarang dikupas pada pelajaran sejarah. Oleh karena itu pelajaran sejarah sudah waktunya diberi warna baru sesuai perkembangan kekinian.

Tinggalkan komentar