Rapid Test disebut Lebih Baik Ketimbang Tes PCR, Kok Bisa?

Rapid Test disebut lebih Baik Ketimbang Tes PCR, Kok Bisa

Rapid Test disebut lebih Baik Ketimbang Tes PCR (Gambar: Pixabay/Bokskapet)

Selama ini, Rapid Test merupakan prosedur awal yang harus dijalani suspect kasus Covid-19 sebelum mengambil Test Polymerase Chain Reaction (PCR). Namun penelitian terbaru menemukan bahwa Rapid Test dinilai lebih efektif dalam meredam penularan Covid-19 ketimbang Tes PCR. Benarkah?

Dilansir dari situs Science Daily (20 November 2020), studi ini berjudul “Test Sensitivity is Secondary to Frequency and Turnaround Time for COVID-19 Screening”.

Penulis utamanya adalah Daniel B. Larremore, asisten professor ilmu komputer di University of Colorado Boulder. Penelitian ini juga dikerjakan bersama-sama dengan koleganya di University of Colorado Boulder dan Harvard University.

Menurut peneliti, menguji setengah populasi setiap minggunya menggunakan Rapid Test dinilai lebih efektif mengeliminasi virus daripada menggunakan tes PCR. Efektivitasnya menurut peneliti dapat mengeliminasi virus di suatu lingkungan dalam enam minggu. Hal ini disebabkan karena Rapid Test dinilai lebih cepat untuk diketahui hasilnya ketimbang tes PCR.

“Gambaran besar kami menemukan bahwa, ketika menyangkut kesehatan masyarakat, lebih baik melakukan Rapid Test dengan hasil hari ini daripada tes yang lebih sensitif dengan hasil besok”, Kata Daniel Larremore.

“Daripada menyuruh semua orang untuk tinggal di dalam rumah, sehingga anda dapat yakin bahwa satu orang yang sakit tidak menyebarkannya, kami hanya dapat memberikan perintah kepada orang yang menular saja untuk tinggal di rumah. Sehingga semua orang dapat menjalani kehidupan mereka”, tambahnya.

Rapid Test disebut lebih Baik Ketimbang Tes PCR: Kronologi

Para ilmuwan awalnya melakukan pengujian mengenai efektivitas tes yang selama ini digunakan untuk mendeteksi kasus penyebaran Covid-19. Mereka menguji seberapa pentingnya tes uji tersebut dalam memotong mata rantai penyebaran virus tersebut.

Pengujian dilakukan oleh Larremore dan timnya di CU’s BioFrontiers Institute dan Harvard T.H. Chan School of Public Health untuk lebih lanjut mengeksplorasi sensitivitas tes, frekuensi dan waktu yang dibutuhkan untuk memotong penyebaran Covid-19.

Mereka lalu menggunakan model matematika untuk memetakan dampak dari screening yang dilakukan. Mereka membaginya dalam tiga tipe skenario hipotesis, yaitu tipe individu dalam 10.000 orang, lalu tipe universitas 20.000 orang dan tipe kota besar 8,4 juta orang.

Dalam skenario inilah peneliti menemukan bahwa frekuensi dan waktu pengujian lebih penting daripada sensitivitas pengujian untuk memotong penyebaran Covid-19.

Peneliti menggambarkan pada tipe kota besar, pengujian luas dua kali seminggu dengan tes cepat (Rapid Test) mengurangi tingkat penyebaran sebesar 80%. Tetapi pengujian yang sama dengan tes PCR yang lebih akurat, membutuhkan waktu hingga 48 jam dan hanya berhasil mengurangi penyebaran sebesar 58%.

Kekuatan Pengujian

Hasil ini juga ditemui pada pengujian pada tipe lainnya. Dengan kata lain Rapid Test yang dinilai kurang sensitif mengurangi penularan lebih baik daripada tes PCR.

Hal ini dikarenakan dua pertiga orang-orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala dan ketika mereka menunggu hasil tesnya, mereka “melanjutkan” penyebaran virus baik secara sadar maupun tidak.

Studi ini juga mendemonstrasikan kekuatan frekuensi pengujian dalam jangka kekuatan frekuensi pengujian dalam pandemi dan penyelamatan nyawa.

Dalam satu skenario, yang mana 4% dari individu disebuah kota “siap terinfeksi”, Rapid Test yang dilakukan kepada tiga dari empat orang dalam tiga hari dapat mengurangi penyebaran Covid-19. Besaran pengurangannya mencapai 88% menurut penelitian ini.

Tingkat Sensitivitas

Sensitivitas pengujian kasus Covid-19 sebetulnya sangat bervariasi. Tes antigen misalnya membutuhkan viral load yang relatif tinggi ketimbang tes PCR, yaitu sekitar 1.000 kali lebih banyak untuk mendeteksi virus.

Sedangkan tes lain yang disebut RT-lamp (Reverse Transcription loop-mediated isothermal amplification), yang dapat mendeteksi virus 100 kali daripada PCR, membutuhkan 5.000 sampai 10.000 salinan RNA virus per milimeter sampelnya. Artinya tes ini bisa menangkap virus lebih awal ataupun ketika sangat terlambat.

Namun realitanya, seseorang yang terinfeksi dapat pergi membawa 5.000 sampai 1 juta RNA dalam 18 sampai 24 jam. Artinya tes cepat tetap dibutuhkan untuk mengetahui pergerakan virus meskipun dinilai kurang sensitf karena hasilnya antara reaktif dan non-reaktif.

“Ada waktu yang sangat singkat, di awal, infeksi, di mana PCR akan mendeteksi virus, tetapi tes seperti Antigen dan RT Lamp tidak”, kata Roy Parker, direktur BioFrontiers Institute dan Howard Hughes Medical Institute Investigator. “Dan selama waktu tersebut, seseorang sering (justru) tidak menularkan”, tambahnya.

Rapid Test juga dinilai lebih baik ketika seseorang menularkan virus, menurut Asisten Professor Epidemiology T.H. Chan School of Public Health, Michael Mina. “Rapid Test adalah tes penularan“, katanya. “Rapid Test sangat efektif ketika seseorang menularkan (virus)”, tambahnya.

Tes cepat bisa menjadi kunci dalam pelacakan skala besar (Superspreader Incident) seperti di stadion, bandara atau konser, menurut Larremore.

 

Sumber:

Science Daily

Science Alert

https://www.colorado.edu/today/node/41581

http://dx.doi.org/10.1126/sciadv.abd5393

Tinggalkan komentar