Gawatnya Kesehatan Mental Guru dan Siswa di Tengah Pandemi

Gawatnya Kesehatan Mental Siswa di Tengah Pandemi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis sebuah survei yang menyatakan bahwa 77,8 persen anak sekolah saat ini terbebani dengan tugas sekolah selama proses pembelajaran jarak jauh atau online. Terlepas apakah angka ini bagi sebagian orang terkejut atau tidaknya, kenyataannya proses pembelajaran jarak jauh juga menyimpan kekurangannya tersendiri. Belum lagi proses pembelajaran di Indonesia yang antara satu sekolah dengan lainnya masih terdapat kekurangan, membuat siswa dan guru ada dalam bayang-bayang ketidakjelasan pendidikan.

Persoalannya adalah bagi guru dan siswa itu sendiri saat ini juga dihadapkan permasalahan yang sama, yaitu sama-sama dihadapkan kondisi yang memaksa mereka mau tidak mau harus tetap belajar di tengah pandemi yang melanda. Sekolah dengan cara online yang dipandang canggih dan aman saat ini bukanlah seperti yang dibayangkan. Kemudahan akses dan literatur yang berlimpah dirasa tidak sebanding dengan penjelasan klasik di kelas yang lebih bisa mewakili rasa kebingungan siswa, apalagi dikala tugas menumpuk. Rasa frustasi akibat materi yang disajikan dengan tidak adanya penjelasan dan kesan “tiada hari tanpa tugas” adalah segelintir permasalahan yang terjadi. Guru pun tak kalah kalang kabut dimana mereka saat ini dipaksa membuat materi yang dapat dipahami siswa dengan mudah meskipun kurikulum dapat menyesuaikan secara adaptif. Hal ini hanya membuat guru dan siswa saat ini bisa dikatakan meriang secara psikologis

Imbasnya terdapat dua resiko aksidental, jika sekolah dibuka meskipun di wilayah hijau, resiko penularan penyakit Covid-19 dapat menimbulkan klaster baru. Namun jika tetap online, guru dan siswa sama-sama dapat terkena penyakit yang bersifat psikologis. Sangat tidak menyenangkan memang, namun tentunya bukan berarti permasalahan di atas tidak bisa ditangani semua pihak. Tetap ada jalan untuk mengatasi hal tersebut walaupun tidak sempurna.

Jarangnya Kasus bukan Berarti Sedikit

Fenomena burnout di kalangan siswa yang muncul saat ini adalah fakta bahwa betapa pembelajaran online justru menimbulkan masalah baru. Apabila hal ini tidak diatasi semua pihak ditakutkan masalah akan tambah serius mengingat pandemi saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Kenyataannya fenomena ini tidak hanya satu atau dua kasus saja. Saya pernah bertanya kepada anak-anak kompleks tempat tinggal saya. Mereka mengatakan bahwa bukan hanya bosan, namun menatap layar kaca smartphone justru membuat mata menjadi cepat lelah. Namun lucunya, keluhan ini juga terlontar dari teman saya yang juga seorang guru SMP dan SMA swasta di Yogyakarta. Artinya guru dan siswa punya beban sama beratnya terlepas dari materi yang disampaikan. Potensi kelelahan dan burnout juga semakin besar baik siswa maupun guru.

Kasus yang muncul dari fenomena burnout ini memang lebih kepada masalah personal si peserta didik maupun guru. Namun pemicunya tetaplah sama dan rata, yaitu kebosanan dan tugas yang menumpuk. Sehingga jika di awal pembelajaran online muncul sebuah asumsi bahwa dengan cara tersebut siswa menjadi lebih rajin karena sedikit “dipaksa”, maka mungkin kita harus mempertanyakan kembali asumsi tersebut. Dipaksa atau tidak itu pada akhirnya ada pada beban yang harus ditanggung para guru dan siswa, bukan hanya permasalahan sistem semata. Jika sistem justru membuat beban semakin tinggi, mengapa dipertahankan?

Ini cukup menjawab mengapa di beberapa daerah meskipun tetap menyelenggarakan pembelajaran online, para guru tetap membuat pertemuan langsung  baik itu di rumah maupun sekolah secara terbatas disamping masalah alat dan fasilitas yang kurang. Para guru juga ada yang khawatir bahwa materi pelajaran yang disampaikan justru membuat bingung siswa peserta didik. Sehingga dengan begitu siswa dan guru tidak terbebani materi pembelajaran karena disampaikan secara langsung, walaupun tetap beresiko.

Pentingnya Komunikasi Intens

Faktor penting yang saat ini bisa dijalankan yang dapat mengurangi resiko beban tugas selain pelonggaran adalah komunikasi yang tepat. Pada dasarnya siswa dan guru memiliki tantangan yang berbeda ketika pandemi ini. Guru dihadapkan masalah kurikulum yang coba di re-adaptasi dan murid dihadapkan pada materi yang lebih banyak berkutat pada penugasan. Otomatis jika tidak ada komunikasi, hal buruk hanya akan terakumulasi dan berulang. Oleh karenanya membuka komunikasi antar kedua pihak harus dilakukan.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana komunikasi antara guru dan siswa bisa saling terjalin satu sama lain. Komunikasi yang saat ini dilakukan via device sebetulnya merupakan solusi, namun harus dibarengi dengan komunikasi yang tepat dan efektif. Sebetulnya tidak ada masalah dengan penugasan, asalkan dibarengi dengan materi dan penjelasan yang baik. Permasalahannya adalah terkadang terdapat komunikasi yang singkat dan tidak mementingkan pemahaman antara guru dan siswa, hal ini menurut penulis justru harus dihindari. Hal ini dikarenakan karakteristik siswa dan guru yang berbeda-beda, sehingga komunikasi yang lebih intens atau bahkan personal jauh lebih efektif daripada komunikasi yang singkat. Setidaknya permasalahan yang ada bisa tereduksi sekaligus saling menguatkan antara guru dan siswa di tengah pandemi ini.

 

 

Tinggalkan komentar