Menggalakkan Literasi di Tengah Pandemi

Menggalakkan Literasi di Tengah Pandemi

Pemerintah melalui Kementerian dan Pendidikan baru saja merilis daftar tujuh program prioritas pendidikan untuk tahun 2021. Ketujuh aspek tersebut termasuk di dalamnya adalah pemajuan budaya dan bahasa, yang bentuk operasionalnya diwujudkan dalam Gerakan Literasi Nasional. Meskipun bukan program utama yang disasar pemerintah, kesediaan pemerintah dalam mendukung gerakan ini patut untuk ditunggu kehadirannya.

Pasalnya gerakan literasi saat ini justru jarang didengar program dan implementasinya. Padahal berkali-kali dalam setiap forum dan seminar yang menyangkut masalah pendidikan di Indonesia, selalu saja pembicara berbicara tentang survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) yang menempatkan Indonesia berada di posisi ke 62 dari 70 negara yang disurvey dalam hal membaca. Terlepas dari defenisi operasional “membaca” yang dipertanyakan sejumlah pihak termasuk ahli, kurangnya kesadaran membaca ini adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan. Adanya Program Gerakan Literasi Nasional ini layak ditunggu seperti apa implementasinya. Apakah sekedar menguatkan atau membuat langkah konkret seperti pengadaan kegiatan yang lebih ekspansif.

Tantangan ini juga tidak harus dijawab dengan pengadaan fasilitas berupa mobil atau perpustakaan berjalan seperti sebelumnya yang sampai sekarang efektivitasnya masih abu-abu. Pada saat ini pun kita juga tidak akan tahu kapan pandemi akan berakhir, sementara “fasilitas berjalan” tersebut justru dapat menimbulkan resiko kesehatan sebagaimana yang terjadi saat ini meskipun tetap dibutuhkan.

Memberikan Waktu Literasi

Banyaknya siswa yang mengeluh mengenai pembelajaran jarak jauh atau online saat ini sudah seharusnya dijadikan ukuran bagi siapapun yang merasa terkait dengan dunia pendidikan untuk memikirkan kembali sistem pembelajaran ini. Sudah banyak perdebatan mengenai hal ini, namun ada satu hal yang dilupakan oleh guru maupun siswa saat ini yaitu masalah kenyamanan ketika harus belajar online.

Dalam prakteknya saat ini murid lebih banyak dituntut untuk mengerjakan tugas dengan materi yang singkat, alih-alih memberi kesempatan murid untuk membaca dan memahami materi dengan memberi waktu pada nalar. Walhasil saat ini kita banyak menemui fenomena burnout, dimana siswa ataupun guru mengalami kelelahan menerima pelajaran. Salah satunya disinyalir penyebabnya adalah intensitas tugas yang tinggi, sementara materi yang disajikan sering membuat siswa kebingungan ketika menerima pelajaran. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan yang terakumulasi, yang lalu menyebabkan guru atau murid justru stres dan dapat jatuh sakit.

Motivasi belajar yang berkutat pada nilai juga menjadikan fenomena burnout tersebut sulit untuk dihindari. Sudah saatnya semua pihak memikirkan alternatif pembelajaran yang lebih segar untuk me-refresh kegiatan pembelajaran, yang salah satunya bisa dengan kembali menggerakkan program literasi ini. Banyak penelitian menunjukkan manfaat positif dari kegiatan literasi baik yang terarah dengan pelajaran maupun sebagai tambahan informasi bagi siswa (lihat penelitian Murti dan Winoto, 2018:1-5; Joyo, 2018:159-170). Hal ini mengindikasikan manfaat literasi dari segi pengajaran dan sebagai acuan agar materi ajar tidak menjadikan siswa menjadi berwawasan luas dan lebih variatif.

Merdeka (Nyaman) Belajar

Kenyamanan belajar seharusnya menjadi salah satu defenisi operasional dari program Merdeka Belajar yang tengah digalakkan pemerintah. Jika dipikirkan ulang, saat ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk mengimplementasikan gerakan tersebut. Memberikan waktu kepada siswa untuk membaca bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Terlebih jika siswa diarahkan untuk membaca pelajaran apapun yang mereka sukai, maka diharapkan siswa justru lebih termotivasi. Memang dibutuhkan penelitian lebih lanjut apakah literasi membuat siswa lebih nyaman dalam belajar online. Namun jika mendasarkan penelitian diatas maka sudah sepantasnya untuk dipikirkan dan diadaptasi kembali.

Tinggalkan komentar