Jawaban yang Memuaskan

Jawaban yang Memuaskan

Candaan Gus Dur memang ada benarnya. Sebenarnya, mahasiswa yang tanya di dalam kelas itu hanya pura-pura tidak tau saja. Sebenarnya dia sudah tahu jawabannya.

Tapi tidak bagi penulis, karena penulis sendiri menyadari bukan dari penuntut ilmu sebelumnya, melainkan hanya mahasiswa yang tinggal di pelosok desa dan kesehariannya kekeceh di sungai.

Sebuah Pertanyaan

Terlepas dari kurang lebihnya perkuliahan, bagi penulis, ruang kelas adalah medan diskusi yang menyenangkan. Terlebih bila ada diskusi kelas antar kelompok. Suatu hari, penulis benar-benar tidak tahu lalu bertanya kepada pemateri?

Mengapa istilah blab la bla yang digunakan…? Tanya saya benar-benar tidak mengerti.

Waktu berjalan cukup lama, yang ada hanya hening dan terkadang suara kursi yang sengaja ditendang-tendang. Jeda beberapa menit, salah satu dari pemateri menyampaikan bahwa dia belum terlalu mengerti. Kemudian, pemateri lainnya menyusul dengan jawaban, “Sebentar ya mas, saya carikan di Google”.

Beberapa menit kemudian, apa yang dicarinya di Google sudah ketemu dan dia menjawab pertanyaan penulis dengan membaca Google. Selepas itu, pemateri lainnya pun menyahut, “Mas ini sejarahnya panjang sekali, masnya bisa baca sendiri ya…”.

Kisah di atas sebenarnya sarat pelajaran. Di dunia akademis, mengatakan tidak tau merupakan sebuah ilmu, karena posisi kata “tidak tahu” merupakan posisi kata yang sifatnya harus ada di dalam karakter seorang ilmuan; dalam hal ini kejujuran.

Terkadang, kesombongan untuk bisa menjawab bisa menjadi gangguan tersendiri untuk tumbuh berkembangnya sebuah ilmu. Coba perhatikan di atas, pertanyaan di atas sebenarnya hanya menanyakan tentang istilah, tidak sampai sejarahnya. Toh andai tahu jawabannya, tidak sepanjang sejarah dan tidak sampai disuruh baca sendiri (hahaha).

Pertanyaan Paling Bodoh Vs Jawaban yang Memuaskan

Suatu hari, di sebuah seminar nasional mewah, saya dan teman saya Wandri duduk bersebelahan. Seperti biasa, karena jurusan kami adalah komunikasi, jurusan yang memang mahasiswanya menjadi sorotan, kami pun hanya bertugas mengamati orang-orang bertanya saat sesi pertanyaan dimulai.

Waktu itu, pemateri ada dari kampus terkenal di Jogja, ada juga pemateri dari professional seorang Jurnalis surat kabar terkemuka. Tiba saatnya, ada penanya yang cukup menyita perhatian saya dengan teman di sebelah saya.

Kami bersependapat bahwa penanya itu sangat kalem, dan gaya bahasanya pun mengalir asyik. Kala itu, penanya bertanya tentang mengapa ilmuan-ilmuan sosial tidak mendapatkan panggung di era saat ini. Kami setuju bahwa pertanyaannya cukup menarik sehingga tidak sabar untuk menanti jawaban seorang Prof di ujung sana.

Tibalah Prof di ujung sana menjawab pertanyaan si penanya. Dia Prof menjelaskan dengan jawaban-jawaban yang tak terduga. Dia menjelaskan mulai dari lingkup daerah, kemudian naik ke peran-peran ilmuan sosial baik di kabupaten, provinsi maupun nasional.

Bahkan, Prof juga menjelaskan bagaimana kontribusi ilmuan sosial memperkenalkan budaya-budaya di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu saja, Prof juga memberikan contoh konkrit bagaimana ilmuan sosial turut memecahkan masalah di kancah-kancah nasional, sebut saja Prof. Azyumardi Azra maupun Sekretaris Negara Prof. Pratikno. Mereka berkontribusi namun tidak menampakkannya di media massa.

Jawaban yang Memuaskan

Apa pelajaran yang bisa kita ambil? Setelah mendengar jawaban dari Prof tersebut, saya dan teman merasa ada perbedaan penilaian mengenai pertanyaan yang dilontarkan penanya. Bila diawal kami bersependapat pertanyaan itu cukup menarik, di akhir setelah mendengar jawaban Prof tadi menilai bahwa pertanyaan si penanya menjadi sangat menarik. Mengapa? Menarik belum tentu berbobot, kami sepakat bahwa pertanyaan si penanya tadi adalah pertanyaan yang sangat menarik namun sangat bodoh. Bila diperhatikan, penanya hanya bertanya dari sudut pandang panggung dunia pertelevisian, sedangkan Prof menjawab dengan sudut pandang panggung yang universal. Kami pun hanya bisa bercanda, “jangan-jangan dia (si penanya) udah termakan hegemoni media hahaha…”

Namun jangan salahkan, pertanyaan paling bodoh apapun bila si pemateri mempunyai keilmuan yang luas, dia akan mampu memposisikan dirinya mengenai apa dan bagaimana jawaban yang diinginkan si penanya. Pertanyaan yang bodoh barangkali bisa jadi pemantik munculnya wawasan-wawasan tak terduga. Di situ kami menyadari bahwa betul, jawaban yang memuaskan adalah jawaban yang bisa membuat kita (penanya) merasa menjadi lebih bodoh, bukan sebaliknya.

So, jangan remehkan apa-apa yang berkaitan dengan kebodohan, mungkin bisa menjadi kuali inspirasi.

Tinggalkan komentar