Pengertian Metodologi Tafsir Quran, Ragam dan Contohnya

Metodologi Tafsir

Berawal dari keyakinan, agama dan sebagai obyek studi, Islam semakin menempatkan posisinya ke tingkat yang lebih mapan. Bukan melulu tentang ilmu akhiratnya saja, namun juga ilmu-ilmu umum keduniawian. Tentu saja, untuk mempertahankan posisi mapan tersebut dibutuhkan perjuangan yang tidak ringan. Salah satu kerja keras itu antara lain meningkatkan literasi al-Quran di tengah-tengah masyarakat dan juga menggunakan metodologi tafsir al-Quran.

Literasi al-Quran sendiri bisa dilakukan dengan banyak cara, bisa melalui pengajian, dakwah atau melalui tafsir. Di masa Rasulullah sendiri, literasi dilakukan dengan dakwah. Adapun setiap ada masalah, para sahabat langsung mengklarifikasinya kepada Rasulullah sehingga minim sekali menimbulkan perdebatan panjang mengenai hukum agama.

Kondisi di zaman Nabi tentu saja berbeda dengan kondisi yang terjadi saat ini. Dihiasi dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, setiap orang bukan hanya menjadi penerima informasi semata, bahkan bisa menjadi distributor maupun produsen informasi. Alih-alih mengklarifikasi melalui tokoh yang bersangkutan, tabayyun melalui berbagai media pun masih minim dilakukan.

Oleh sebab dunia saat ini digandrungi hal-hal yang serba instan, perlu upaya berkesinambungan untuk menyeimbangkan kubu perspektif “sumbu pendek”. Sebab, tidak semua masalah bisa diselesaikan dan dijawab dengan simpel, semuanya memiliki kompleksitas yang perlu diurai satu per satu agar keputusan yang diambil dapat membawa kemaslahatan ummat.

Terlebih, saat ini masyarakat dihadapkan dengan serbuan informasi yang kian masif. Perlu adanya kontrol dari akademisi untuk mengingatkan kembali bagaimana seharusnya jurnalistik online berperan.

Metodologi Tafsir Quran

Berpijak pada latar belakang di atas, penulis menganggap penting adanya literasi terkait tafsir Quran khususnya mengenai ayat-ayat yang berkenaan jurnalistik online. Makalah ini menjelaskan metode tafsir Quran diawali dari pengertian harfiah maupun maknanya. Disusul dengan pengertian tafsir baik dari pendapat para ulama di berbagai penjuru dunia maupun dari perspektif ulama di Nusantara tentang metodologi tafsir Quran.

Sub bab selanjutnya penulis menjelaskan tentang apa saja metode-metode yang sering digunakan oleh para mufassir, dalam hal ini, penulis mengambil 4 metode tafsir Quran yaitu tahlili, ijmali, muqaran dan mawdhu’i. Sub bab selanjutnya, penulis menerangkan tentang qowa’idud tafsir, yaitu kaidah-kaidah tafsir Quran disusul pengertian tafsir kontemporer.

Akhir pembahasan, penulis mencoba memberikan 1 contoh bagaimana melakukan tafsir kontemporer terkait ayat-ayat etika jurnalistik online. Tafsir kontemporer yang penulis ambil menggunakan teori Double Movement Fazlur Rahman.

Dari penulisan makalah ini, penulis berharap capaian-capaian tertentu agar memberikan manfaat bagi diri pribadi khususnya, juga bagi para pembaca umumnya. Adapun tujuan makalah ini kami serat dalam poin-poin seperti penulis mampu memahami apa itu pengertian metode tafsir Quran, Mengetahui ragam-ragam metode tafsir Quran, menguasai kaidah-kaidah tafsir al-Quran dan sanggup menganalisis salah satu tema di dalam al-Quran menggunakan salah satu metodologi tafsir Quran.

A. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pengertian Metodologi

Untuk memudahkan para mufassir menafsirkan al-Quran, perlu adanya semacam langkah-langkah agar mempermudah. Sebagaimana dalam ilmu tafsir al-Quran pun demikian memerlukan sebuah metode. Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos; yang memiliki arti cara atau jalan. Di dalam bahasa Inggris, kata ini populer ditulis dengan method, sedangkan dalam bahasa Arab, kata ini lebih akrab dengan thariqat dan manhaj. Konkritnya, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online menjelaskan bahwa metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

2. Pengertian Tafsir

Jika dilihat dari penjuk umum di dalam Alquran , istilah tafsir itu sendiri sebenarnya sudah ada di dalam al-Quran yang terdapat di dalam surat al-Furqan (25): 33 yang bunyinya:

وَلَا يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ اِلَّا جِئْنٰكَ بِالْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا ۗ – ٣٣

Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik .

Secara harfiah, kata tafsir berasal dari kata bahasa Arab sekaligus merupakan bentuk masdar dari kata fassara. Fassara itu sendiri terdiri dari huruf fa, sin dan ra yang memiliki arti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.

Adapun Al-Syirbashi membagi makna tafsir di kalangan ulama menjadi 2 makna, yakni pertama, keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas dalam al-Quran sehingga dapat menyampaikan pengertian yang dikehendaki. Kedua, tafsir adalah bagian ilmu Badi yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat.

3. Pengertian Metodologi Tafsir

Dari pemaparan arti metodologi dan tafsir di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa metodologi tafsir adalah sebuah cara teratur atau sistematis untuk mengurai sekaligus menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran yang di dalamnya masih memerlukan penjelasan lebih dalam.

4. Macam-macam Metode Tafsir

Meskipun zaman silih berganti, dinamis dan penuh dengan perbedaan, al-Quran terbukti kekal menjadi pedoman sampai akhir zaman. Meski demikian, ummat Islam tidak boleh berpangku tangan berdiam diri, sebab kekayaan di dalam al-Quran harus senantiasa digali. Tafsir adalah cara paling tepat untuk mengungkap rahasia-rahasia besar di dalam al-Quran. Di bawah ini ada 4 macam metodologi tafsir yang sering digunakan oleh para mufassir.

A. Metode Tahlili

Metode tafsir Tahlili merupakan metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Metode ini menghendaki adanya keruntutan dalam proses penafsirannya, mulai dari ayat per ayat hingga surat per surat. Metode ini menyertakan beberapa aspek seperti asbabun nuzul, kaitan dari ayat satu dengan ayat lain, riwayat dari nabi, atau yang pernah diterima para sahabat maupun kisah-kisah isra’iliyat.

Kekurangan dari metodologi tafsir ini adalah minimnya fokus tema yang diangkat. Sebab, dalam tafsir ini merujuk pada runutnya ayat-ayat dan surat. Dalam metode ini, kemungkinan penafsirannya akan diwarnai dengan bias subjektivitas baik dari latar belakang keilmuan maupun mazhab yang diyakininya.

B. Metode Ijmali

Metode tafsir ijmali adalah metodologi yang dalam mengemukakan maknanya bersifat global atau umum. Metode ini tidak menghendaki pembahasan yang fokus, namun lebih pada kemiripan makna dengan kata-kata terjemah di dalam al-Quran. Selain itu, metode ini dalam prosesnya menafsirkan al-Quran secara runtut seperti yang ada di dalam mushaf. Dengan bahasa yang sederhana dan singkat, para pembaca seolah-olah berbicara langsung dengan al-Quran.

C. Metode Muqaran

Metodologi tafsir Muqaran memiliki arti komparasi atau perbandingan. Dari maksud itu pula metode ini mengunggulkan perbandingan dalam proses penafsirannya. Metode ini memberikan langkah-langkah dengan cara mengumpulkan ayat-ayat mana terlebih dahulu yang ingin diteliti, setelah itu barulah penafsir melihat tafsir-tafsir dari penafsir terdahulu. Dengan demikian, penafsir bisa mengetahui posisi kecenderungan yang dimaksudkan dalam objek kajiannya.

Metode muqaran juga sering dipakai untuk membahas beberapa ayat yang memiliki kesamaan redaksi namun topic yang berbeda. Begitu pula sebaliknya. Beberapa penafsir juga bisa mengkomparasikan antara ayat al-Quran dengan hadits Nabi.

D. Metode Mawdhu’i

Metode ini merupakan metode yang mengambil angle tematik. Maksudnya, di dalam penafsiran al-Quran, para penafsir sengaja mengambil 1 masalah khusus untuk dibahas. Langkah-langkah metode ini pertama kali mengumpulkan ayat yang memiliki kesamaan tema, meskipun berada di surat yang berbeda.

Alfatih yang mengutip dari Al-Farmawi menyebutkan ada 7 langkah yang harus dilakukan seorang mufasir jika ingin menggunakan metode mawdhui.
1. Merumus dan menetapkan 1 tema/masalah yang akan dibahas
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat berkaitan sesuai masalah yang akan dibahas. Baik Makkiyah maupun Madaniyah
3. Menyusun ayat-ayat secara runtut menurut kronologi masa turunnya. Proses ini juga sebisa mungkin menyertakan apa saja asbabun nuzulnya.
4. Mengetahui hubungan ayat-ayat dalam masing-masing surahnya.
5. Menyusun tema bahasan dalam kerangka yang pas, utuh dan sistematis
6. Melengkapi uraian dan pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, dengan demikian pembahasan semakin mengerucut fokus dan jelas.

5. Kaidah-kaidah Tafsir

Pentingnya ilmu tafsir bagi ummat tentu tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi adanya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah-kaidah ini berfungsi untuk menutup adanya penyelewengan-penyelewengan yang mungkin bisa saja terjadi dari masa ke masa.
Kaidah di dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan istilah qawa’id al-tafsir yakni terdiri dari dua kata yaitu qawa’id dan al-tafsir. Qawa’id merupakan kata jamak yang memiliki arti undang-undang, sumber, dasar yang bisa digunakan secara umum guna mencakup semua partikular-partikular. Konkritnya, qawa’id adalah pedoman-pedoman yang disusun oleh para ulama melalui kajian mendalam untuk mendapatkan hasil maksimal dalam memahami makna-makna al-Quran, hukum-hukum dan petunjuk yang terkandung di dalam al-Quran. Adapun macam-macam kaidah tafsir ada 5 yang akan kami uraikan secara singkat di bawah ini:

a) Kaidah Quraniyah

Salah satu ulama yang termasyur Ibn Katsir menjelaskan bahwa model penafsiran inilah yang terbaik. Ibn Katsir memiliki pandangan bahwa antara satu ayat dengan ayat lain saling berhubungan, dengan demikian dapat berfungsi sebagai tafsir bi al-matsur. Pada dasarnya, kaidah Quraniyah adalah kaidah tafsir yang diambil dari ulumul Quran dari al-Quran. Hal ini senada dengan ayat di dalam al-Quran bahwa yang mengetahui makna secara tepat hanyalah Allah yakni Qs. 3:7.

b) Kaidah Sunnah

Berpijak pada penjelasan di dalam al-Quran yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai Rasul yang menjelaskan aal-Quran 16:44 dan 64), kaidah sunnah tentunya menjadi sangat penting. Rasulullah merupakan sumber penjelas yang utama melalui sunnah-sunnahnya. Adapun menurut Abd. Muin Salim memaparkan bahwa ada 2 sumber penafsiran di zaman Rasulullah, yakni penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran yang diturunkan lewat Jibril namun bukan ayat al-Quran yang kemudian dikenal sebagai sunnah.

c) Kaidah Bahasa

Sebab al-Quran diturunkan di Arab, maka mau tidak mau untuk menafsirkan al-Quran harus menguasai kaidah bahasa Arab. Hal ini tentu saja bukan melulu terkait bahasa, namun juga bagaimana nalar-nalar bahasa bermain.

d) Kaidah Ushul al Fiqih

Kaidah selanjutnya terkait dengan ushul al fiqih yang mengerucut pada al amr wa al nahy. Al amr merupakan tuntutan guna melaksanakan sesuatu pekerjaan dari pihak yang lebih tinggi. Sedangkan al-nahy merupakan kebalikan dari al-amr.
Misalnya di dalam ayat Allah memerintahkan sesuatu, maka melarang kebalikannya. Jika Dia melarang sesuatu, maka Dia menyuruh mengerjakan kebalikannya. Jika Dia memuji terhadap diri-Nya atau kekasih-Nya dengan meniadakan kekurangan sedikitpun berarti menetapkan kesempurnaan-Nya. Contoh Allah memerintahkan adil, maka Allah melarang berbuat zalim. Jika Allah melarang dusta, maka Allah memerintahkan jujur.

e) Kaidah Ilmu Pengetahuan

Kaidah yang tak kalah penting adalah kaidah ilmu pengetahuan. Seorang mufasir, agar lebih tepat dalam menafsirkan ayat-ayat Allah harus kiranya mempunyai ilmu pengetahuan. Sebab, al-Quran sendiri memang sebagai petunjuk. Di sisi yang sama, hal ini senada dengan prinsip al-Quran yang diturunkan sebagai rahmat seluruh alam. Dengan demikian, al-Quran akan senantiasa hidup melintasi berbagai zaman.

6. Tafsir Kontemporer

Metodologi tafsir kontemporer sebenarnya lahir dari kejenuhan pemahaman al-Quran yang begitu-begitu saja. Para pemikir Islam berusaha untuk memperbarui sekaligus memberikan sudut pandang baru dalam memahami al-Quran.

Dengan demikian, diharapkan al-Quran akan tetap selaras dengan zaman yang kian terus bergulir. Begitupula, Quran sebagai rahmat seluruh alam tidak kehilangan ruhnya untuk senantiasa mendampingi manusia membentuk peradaban-peradaban baru. Jika dilihat dari istilahnya, masa-masa kontemporer memang belum ada kesepakatan yang jelas mulai dan sampai kapan. Namun, bila merujuk pada Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.

Mengambil kesimpulan dari jurnal Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma dan Standar Validitasnya dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah Tafsir atau penjelasan ayat Alquran yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.

Penghujung abad ke 20 muncul banyak pemikir progresif muslim yang memfokuskan al-Qur’an sebagai kajian dan pusat wacana. Diantaranya Muhammad ‘Âbid al-Jâbirȋ, Muhammad Arkoen, Fazlurrahmman, Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrûr, Farid Esack, Abdullah Saeed, Muhammad Talbi dan Hasan Hanafi. Para pemikir progresif muslim tersebut menawarkan gagasan yang menjadi ciri khas masing-masing, Fazlur Rahman mengusung teori “double movement”, Mohammad Arkoun menggagas kritik nalar Islam, Hasan Hanafi menggagas kiri Islam, Abid al-Jabiri mencetuskan kritik nalar Arab, Nasr Hamid Abu Zaid mengusung kritik wacana agama, Muhammad Syahrur menggagas al-kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah muâ’assirah, Muhammad Talbi menggagas ‘iyal Allah (Keluarga – Keluarga Tuhan) .

7. Jurnalistik Online

Dewasa ini jurnalistik mengalami perkembangan yang sangat cepat, terlebih dengan hadirnya media online. Keberadaan media online saat ini sudah diperhitungkan oleh masyarakat sebagai alternatif yang efisien dalam memperoleh akses informasi dan berita. Salah satu keunggulan media online adalah mampu menyajikan informasi lebih cepat dibandingkan dengan media massa lainnya sehingga informasinya senantiasa up to date (terbaru). Lebih dari itu, media online dapat melakukan upgrade suatu informasi atau berita dari waktu ke waktu, tanpa harus menunggu keesokan harinya layaknya media cetak. Ini karena media online memiliki proses penyajian informasi dan berita yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan jenis media massa lainnya.

Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan media online? Secara umum, istilah media online diartikan sebagai sebuah informasi yang dapat diakses dimana dan kapan saja selama ada jaringan internet. Pengguna internet mengakses informasi di kantor, rumah, kamar, warung internet (warnet) bahkan di dalam kendaraan sekalipun. Karena itu reporter atau wartawan dapat mengirimkan atau bahkan langsung menyajikan laporan jurnalistik dengan cepat melalui online. Unsur online inilah yang merupakan satu-satunya kelebihan yang tidak dimiliki media massa konvensional. Karena itu, media online tidak dikategorikan ke dalam media massa cetak maupun elektronik, melainkan disebut sebagai media massa baru (new media) atau media modern.

Melesat Cepat

Direktur Kompas Cyber Media (KCM) Ninok Leksono menyebutkan, kehadiran media online ini jelas telah mengubah paradigma baru pemberitaan, yakni event on the making. Maksudnya, berita yang muncul tidak disiarkan beberapa menit, jam, hari atau minggu, tetapi begitu terjadi langsung di-upload ke dalam situs web media online. Itulah keunggulan media online yang serba cepat.

Inilah yang menyebabkan jurnalistik online menjadi berbeda dengan jurnalistik di media massa lain yang sudah dikenal sebelumnya (cetak, radio, televisi) bukan semata-mata karena mengambil venue yang berbeda, melainkan karena jurnalistik ini dilangsungkan di atas sebuah media baru yang mempunyai karakterik yang berbeda. Tidak hanya dari segi format, tetapi juga isi, mekanisme hingga proses hubungan antara penyelenggara jurnalistik online dengan penggunanya.

Teknologi informasi dan komunikasi yang serba online membawa kontribusi bagi perkembangan dunia jurnalistik. Bagi kalangan yang berminat menjadi jurnalis misalnya, kini tak hanya dituntut berwawasan luas, terampil menulis tetapi juga memahami internet. Meski calon jurnalis tersebut tidak bekerja pada salah satu penyelenggara jurnalistik di media online.

Wartawan yang menguasai teknologi internet secara tidak langsung akan mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan kegiatan kejurnalistikannya. Bahkan, internet harus menjadi bagian dari aktivitas dan hidup seorang wartawan, sehingga tak lagi mengalami kesulitan dalam melaporkan hasil kegiatan jurnalistiknya. Dengan kata lain, wartawan termasuk profesi yang diuntungkan dengan kemajuan internet.

Cyber Journalist

Dalam sejumlah literatur maupun diskusi di kalangan jurnalis, istilah jurnalis online atau wartawan ber-internet (cyber-journalist) lebih sering dikategorikan menjadi tiga kelompok besar, yakni:
1) jurnalis yang memanfaatkan internet sebagai salah satu sarana kerja;
2) jurnalis yang bertugas di redaksi online (portal berita) dari media massa yang berbasis cetak dan atau elektronik; dan
3) jurnalis yang bekerja di multimedia massa hanya berbasis portal berita.

A. Karakteristik Jurnalistik Online

Jurnalistik online disebut sebagai jurnalistik modern, hal itu karena menggunakan sebuah media baru yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan media lainnya. Dalam buku Online Journalism, Principles and Practice of News for The Web (2005) karakteristik jurnalistik online, yaitu sebagai berikut.
1. Audience Control; jurnalistik online memungkinkan audiens untuk bisa lebih leluasa dalam memilih berita yang ingin didapatkannya.
2. Nonlinierity; jurnalistik online memungkinkan setiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri, sehingga audiens tidak harus membaca secara berurutan untuk memahami.
3. Storage and retrieval; jurnalistik online memungkinkan berita tersimpan dan diakses kembali dengan mudah oleh audiens.
4. Unlimited Space; jurnalistik online memungkinkan jumlah berita yang dipublikasikan untuk audiens menjadi jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya.
5. Immediacy; jurnalistik online memungkinkan informasi dapat disampaikan secara cepat dan langsung kepada audiens.
6. Multimedia Capability; jurnalistik online memungkinkan bagi tim redaksi untuk menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita yang akan diterima oleh audiens.
7. Interactivity; jurnalistik online memungkinkan adanya peningkatan partisipasi audiens dalam setiap berita.

B. IMPLEMENTASI TAFSIR KONTEMPORER TENTANG AYAT-AYAT ETIKA JURNALISTIK ONLINE

Al-Quran adalah petunjuk manusia. Pengertian sebagai petunjuk di sini bukan hanya hal-hal yang berkaitan dengan urusan ukhrawinya saja, lebih dari itu, al-Quran juga memandu manusia dari hal-hal yang bersifat duniawi. Salah satunya adalah peran al-Quran dalam membimbing manusia untuk memproduksi sebuah berita. Di ranah jurnalistik itu sendiri, pedoman tersebut sering disebut sebagai etika; ilmu tentang sebuah nilai.

Jurnalistik itu sendiri sebenarnya sudah tercantum di dalam al-Quran. Bahkan, al-Quran adalah satu-satunya media yang dipilih Allah untuk menyampaikan firman Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Memang, secara langsung al-Quran bukan menjadi sejarah awal mula dari jurnalistik, namun secara esensi, al-Quran memiliki nilai-nilai jurnalistik yang holistic.

Mengutip dari jurnal Etika Jurnalistik Perspektif Al Quran, jurnalistik dalam bahasa Arab memang populer dengan sihafah. Namun ini bukan berarti istilah jurnalistik dalam al-Qur’an hanya berpatokan pada kata sihafah. Ada banyak kata dalam al-Qur’an yang menunjuk pada istilah jurnalistik, salah satunya yaitu kata-kata yang berkaitan dengan aktifitas jurnalistik seperti al-sahifah (lembaran),14 al-kitabah (penulisan), al-jam’u (mengumpulkan), naba’a (memberitakan), khabara (mengabarkan), nashara (menyebarkan dengan seluas-luasnya) dan yang lainnya.

Etika Jurnalistik Online

Adapun maksud online adalah kebalikan dari offline atau jurnalistik konvensional. Jurnalistik online itu sendiri biasanya media berbasis online seperti website, maupun portal. Dengan demikian, jurnalistik online adalah seni memproduksi, mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita melalui media online. Sedangkan etika jurnalistik online itu sendiri adalah, aturan atau pedoman nilai-nilai dalam melakukan aktifitas jurnalistik.

Etika Jurnalistik Online Perspektif al-Quran Surah Al Hajj Ayat 30

1. Etika untuk Menjauhi Perkataan Dusta

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, (QS. 22:30).

Firman-Nya: “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” Maksudnya adalah, jauhilah perkataan kalian tentang tuhan-tuhan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS.Az-Zumar (39):3) Yaitu perkataan kalian tentang malaikat, bahwa mereka adalah anak-anak perempuan Allah, serta perkataan-perkataan semacam itu, karena itu adalah kebohongan dan palsu, serta perbuatan syirik terhadap Allah.

Perkataan Dusta Menurut Ahli Takwil

Penakwilan kami sejalan dengan pendapat para ahli takwil yang menyebutkan riwayat-riwayat berikut ini:

Muhammad bin Amr

25226. Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, Al-Harits menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Hasan menceritakan kepada kami: Warqa’ menceritakan pada kami, seluruhnya dari Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, tentang firman Allah,”Perkataan-perkataan dusta,” ia berkata, “Lafadz artinya adalah kebohongan.”

Al Qasim

25227. Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Hasein menceritakan pada kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, dari Mujahid, dengan redaksi yang semisalnya.

Muhammad bin Sa’d

25228. Muhammad bin Sa’d menceritakan padaku, ia berkata: Ayahku menceritakan kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, ia berkata: Ayahku menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah, “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia,” ia berkata, ”Maksudnya adalah merekayasa dan berbohong atas nama Allah.”

Muhammad bin Basysyar

25229. Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami,ia berkata: Abdurrahman menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Ashim, dari Wa’il bin Rabi’ah dari Abdullah, ia berkata, “Kesaksian palsu disejajarkan dengan syirik.” Lalu ia membaca ayat “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

Abu Kuraib

25230. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Bakar menceritakan kepada kami dari Ashim, dari Wa’il bin Rabi’ah, ia berkata, “Kesaksian palsu sebanding dengan syirik.” Kemudian ia membaca ayat, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

Abu Sa’ib

25231. Abu Sa’ib menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Usamah menceritakan kepada kami,ia berkata: Sufyan Al Ushfuri menceritakan kepada kami dari ayahnya, dari Khuraim bin Fatik, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Kesaksian palsu disejajarkan dengan syirik kepada Allah.” Kemudian beliau membaca ayat, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

Abu Kuraib

25232. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Marwan bin Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Sufyan Al Ushfuri, dari Fatik bin Fudhalah, dari Aiman bin Khuraim, bahwa Nabi SAW berkhutbah dengan berdiri, lalu bersabda, “Wahai manusia kesaksian palsu disejajarkan dengan syirik kepada Allah.” Rasulullah menyebutkannya sebanyak dua kali. Beliau lalu membaca ayat, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”

Bisa jadi maksud ayat ini adalah, jauhilah terkena najis dari berhala, wahai manusia, lantaran kalian menyembahnya. Jika orang bertanya, “Apakah di antara berhala-berhala itu ada yang tidak najis, sehingga dikatakan yang sepintas artinya, jauhilah yang najis di antara berhala-berhala itu?”
Jawabannya adalah, “Seluruh berhala adalah najis. Makna lafadz ini bukan demikian, melainkan, jauhilah najis yang bersumber dari berhala-berhala itu, maksudnya dari menyembahnya, karena yang diperintahkan Allah dari ayat, adalah menjauhi penyembahannya, dan menyembahan itulah yang najis, sesuai Ibnu Abbas dan ulama yang kami sebutkan pendapatnya sebelum ini.

2. Tafsir Kontemporer

Ayat di atas secara langsung memang tidak berkaitan dengan jurnalistik online, namun bila dikorelasikan dengan etika jurnalisitik online saat ini, kiranya menjadi sangat relevan mengingat salah satu ungkapan populer “media mencerminkan masyarakatnya”.
Cerminan masyarakat saat ini kiranya menjadi perhatian khusus, terlebih kepada media yang telah menjadikan pembaca sebagai landing empuk dalam pengemasan beritanya. Tidak heran, semua lini pemerintahan hingga sektor nonformal pun yang Namanya suap-menyuap, korupsi hingga tawar menawar sudah biasa dilakukan. Terlebih di dunia kewartawanan, adanya sebutan yang digaungkan Ahmad Arif sebagai jurnalisme mendompleng bisa saja berlaku. Jurnalis sulit independen hingga semua produk beritanya ada pengaruh dari beberapa faktor eksternal.

Oleh sebab itu, adanya tafsir tentang etika jurnalistik online Surah Al Hajj ayat 30 menjadi penting kiranya sebagai pengingat para pelaku jurnalis online guna selalu berada di rel yang benar. Hal ini mengingat untuk berebut eksistensi diantara para pesaing, ada banyak godaan mulai dari sisi ekonomi, kekuasaan atau sekedar wacana yang digencarkan. Adapun poin-poin yang terdapat di dalam surat Al-Hajj ayat 30 sebagai berikut;

a. Kebohongan

Salah satu unsur terpenting di dalam jurnalistik online adalah kecepatan. Ada banyak sekali cara agar jurnalis dapat memberikan berita tercepat, baik cara yang benar maupun cara yang kurang tepat. Cara yang benar, seorang jurnalis dapat bekerjasama membentuk jaringan antar wartawan, hal ini sah dan biasa dilakukan. Tidak heran jika dalam sebuah berita, antara media satu dengan media lainnya hamper serupa. Hal ini dikarenakan adanya kerjasama antar wartawan. Bahkan, ada beberapa media yang berlangganan berita di salah satu kantor berita.

Cara yang kurang tepat pun biasanya dilakukan oleh media online untuk mengejar visitor. Biasanya, karena medianya belum terlalu tenar, atau ingin memunculkan sensasi, sebuah media rela membuat berita bohong. Para awak media menggunakan judul dan isi konten berbeda sepertihalnya clik bait. Judulnya berkata A ternyata isi kontennya berisi B dan seterusnya.
Oleh sebab itu, Al Hajj ayat 30 mengingatkan kita kembali akan arti penting untuk menjauhi perkataan dusta. Jangan sampai, berita yang disampaikan penuh kebohongan sehingga menimbulkan banyak bencana.

b. Kesaksian Palsu

Poin kedua dari surat Al Hajj ayat 30 ini adalah kesaksian palsu. Di dalam pemberitaan online, banyak sekali beredar kesaksian-kesaksian palsu. Dalam hal ini, para jurnalis biasanya tidak menulis secara jujur apa yang dikatakan para narasumber. Bahkan, terkadang narasumber dipilih orang-orang yang sesuai pandangannya.

Bentuk-bentuk kesaksian palsu ini banyak sekali jika dilihat akhir-akhir ini, terlebih saat momen politik tentu semua akan menjadi serba palsu. Di dalam ranah jurnalistik online berupa tulisan, kutipan narasumber terkadang dibuat berbeda sesuai bahasa si wartawan. Dalam ranah berita berupa suara, banyak suara yang dipotong sesuai kehendak pelaku. Adapun melalui konten video, banyak dari para pelaku media yang mengedit sesuai kemauannya.

Sebab media online mengejar apa yang dinamakan kecepatan dalam pemberitaan, model dalam penulisan kesaksian palsu pun lebih berbeda dari media cetak pada umumnya. Media online yang diprakarsai oleh jurnalis online akan menjadikan sumber berita bukan hanya dari narasumber semata, namun jurnalis online bahkan menjadikan sumber utama dari media online lain yang barangkali belum tentu kebenaran beritanya.

Hal inilah yang menyebabkan berita hoaks cepat menyebar hingga skala nasional, selain didukung oleh banyaknya media sosial, juga tersedianya kemudahan dan kesederhanaan dalam mengakses berita.

c. Rekayasa

Poin terakhir dari surah Al Hajj adalah anjuran agar para jurnalis online menjauhi apa yang disebut sebagai rekayasa dalam pemberitaan. Rekayasa secara umum bisa diartikan sebagai mengada-ada hal yang tidak ada. Dalam hal ini, seorang jurnalis online tidak diperkenankan untuk merekayasa berita dalam bentuk apapun.

Melalui berbagai sudut pandang yang kaya, seringkali jurnalis online merekayasa berita-berita yang sebenarnya sangat jauh dari nilai-nilai konten sebagai berita. Misalnya, sewaktu pemilu 2019, banyak sekali para jurnalis online yang memberitakan calon presiden dari latar belakang agama, suku dan lain sebagainya.
Alhasil, berita yang disebarkan selama ini hanya berbau sensasi tanpa menyentuh esensi yang seharusnya ditulis wartawan, dalam hal ini adalah membangun sebuah peradaban.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pemahaman jurnalis terhadap al-Quran, akan semakin tinggi pula kualitas berita yang disebarkan kepada masyarakat. Bagaimanapun juga, media adalah cerminan masyarakat hari ini, oleh sebab itu penting kiranya semua elemen masyarakat termasuk para jurnalis untuk menghayati kembali isi kandungan al-Quran demi kemajuan dalam semua bidang termasuk bidang media.

DAFTAR PUSTAKA

al-Syirbhasi, Ahmad, 1994, Sejarah Tafsir al- Quran, ter. Tim Pustaka Firdaus.
Arif, Ahmad, 2010, Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Baidan, Nashruddin, 2002, Metodologi Penasfsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/metode, Diakses Tanggal 20 September 2019 Pukul 09.52 WIB.
https://quran.kemenag.go.id/index.php/sura/25 Diakses Tanggal 20 September 2019 Pukul 10.06 WIB.
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Abu Ja’far, 2009, Tafsir Ath-Thabari Jilid 18, Jakarta: Pustaka Azzam.
Salim, Abd. Muin, 1990. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Quran, Ujung Pandang: Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam.Lembaga Studi Kebudayaan Islam.
Sauda, Limatus, 2014, Jurnalistik Perspektif al-Quran, Yogyakarta, Jurnal Esensia.
Shihab, M. Quraisy, 1998, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, 2005, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS.
Suryawati, Indah, 2014, Jurnalistik Suatu Pengantar Teori dan Praktik, Bogor: Ghalia Indonesia.
Syamsuddin, Sahiron, 2010, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadits, Yogyakarta: elsaq Press.
Syirbasi, Ahmad, 1999, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟anul Karim, Jakarta: Kalam Mulia.
Zulaiha, Eni, 2017, Jurnal Tafsir Kontemporer: Metodologi, Paradigma dan Standar Validitasnya, Bandung: Jurnal UIN SGD.

Tinggalkan komentar