Memahami Riset secara Umum, Belajar dari Klaim Palsu Obat Covid-19

Memahami Riset

Sudah sekitar sembilan hampir menyentuh sepuluh bulan para dokter dan ahli kesehatan lainnya bergulat dengan virus Corona ini. Sejak Januari pula para peneliti hingga saat ini sedang berpacu bukan hanya melawan waktu, namun juga nyawa dalam menemukan “resep manjur”. Ada yang masuk tahap penting, ada pula yang masih bermasalah baik resep obat maupun vaksinnya.

Sialnya disaat ini masih juga ada orang yang mencari panggung dalam menemukan obat untuk virus ini. Klaim bahwa obat untuk penanganan Covid-19 sudah ditemukan bertebaran bak kacang yang sudah digoreng. Dari obat berbentuk kalung sampai jamu yang dipopulerkan Youtuber semua laku untuk menambah popularitas semu.

Beruntung, para netizen sadar bahwa klaim semacam ini berbahaya. Selain memberikan harapan palsu, klaim obat Corona juga hanya menambah perih mereka yang sedang bekerja dibalik laboratorium. Kenyataannya virus ini belum dipahami sepenuhnya oleh para ahli. Adalah hal yang aneh apabila mereka mengklaim menemukan obat tanpa diuji terlebih dahulu.

Dari hal inilah yang hendaknya dipahami. Untuk menemukan obat virus Corona, ada riset yang harus dijadikan acuan. Namun riset sendiri dalam kenyataannya bukanlah sesuatu yang bisa disederhanakan. Akan tetapi memahami riset dapat membantu anda mengapa hal itu harus dilakukan, liku-likunya dan yang paling penting adalah cara ilmu pengetahuan berkembang.

Berikut beberapa hal mengenai riset yang anda harus tahu untuk memahami bagaimana sebuah riset berjalan secara umum.

  1. Memahami bahwa Riset adalah Serangkaian Proses Panjang

Riset bukanlah untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia saja. Kenyataannya riset adalah serangkaian proses panjang dari pemahaman akan sebuah fenomena atau kasus yang lalu masih diuji.

Apa saja yang diuji? Banyak, mulai dari bukti material, hubungan kausal, logika, rekonstruksi sebuah kejadian, campuran, mitos dan kesimpulan sementara (hipotesis). Jika peneliti menemukan sesuatu dalam risetnya, hal itu masih diuji lagi untuk menyatakan bahwa bukti yang ada adalah koheren, memiliki tingkat akurasi tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan.

Riset juga mengorbankan waktu tidak sedikit. Oleh karena itu tidak ada jaminan bahwa suatu riset dapat mengubah segalanya dalam waktu singkat. Tetapi yang benar adalah riset membutuhkan waktu dan mengubahnya secara berangsur-angsur.

  1. Riset itu Selalu Terhubung Dengan Riset Sebelumnya

Riset itu ibarat pohon yang memiliki banyak akar. Nah, akar-akarnya itulah cabang dari sebuah keilmuan. Jadi dari penelitian itulah muncul juga cabang-cabang keilmuan baru yang dikembangkan.

Dalam kasus Covid-19 misalnya, peneliti awalnya tidak tahu bagaimana virus ini menyebar. Ternyata peneliti menemukan bahwa virus Corona ditemukan dalam dropplet ketika kita bersin, batuk ataupun ketika sedang berbicara. Belakangan peneliti juga telah menemukan bahwa virus ini menyebar juga lewat udara.

Lalu muncul penelitian bagaimana untuk menghentikan droplet itu, kemudian muncullah penelitian mengenai masker. Masker yang baik dan buruk lalu dibedakan oleh peneliti dan seterusnya.

Itu baru satu cabang saja, belum yang lain seperti bagaimana virus Corona ini dapat dilemahkan, obat atau vaksin yang tepat, sampai dosis dan efek sampingnya. Terbayang bukan betapa ribetnya riset itu?

  1. Riset Harus Bisa Dibuktikan dan Dijelaskan dengan Logis

Ketika peneliti telah yakin bahwa dia menemukan sesuatu yang pasti, maka peneliti harus memiliki data yang cukup untuk menjelaskan sekaligus membuktikannya. Penyusunan ini harus runtut mulai dari latar belakang penelitian, rumusan, tujuan sampai isi dan kesimpulan penelitian.

Misalnya, jika memang kemarin peneliti sudah menemukan obat Corona, seharusnya mereka juga menjelaskan bagaimana cara obat bekerja, reaksi kimia seperti apa, koherensi obat dengan imunitas, dan efek samping apa saja.

Itu saja, peneliti masih akan mempertanyakan satu dua hal mengenai cara dalam menemukan kesimpulan atau yang sering disebut dengan metodologi. Metodologi dalam penelitian pun akan berbeda-beda sesuai dengan keilmuannya.

  1. Riset Harus Dipublikasikan, Dikritisi dan Berkelanjutan

Jika peneliti sudah menyusun hal tersebut, maka penelitian itu layaknya di-publish melalui jurnal yang terkait dengan keilmuannya. Agar komunitas keilmuan mengetahui sejumlah aspek apa saja yang ditemukan dan apa yang masih menjadi perdebatan.

Ukurannya biasanya adalah kegunaan dari penelitian itu. Jika memang obat Corona sudah ditemukan, seharusnya ditulis dan dipublikasikan supaya komunitas keilmuan dapat meneliti juga kelebihan dan kelemahan yang ada. Jika tidak, justru patut dicurigai bahwa hasil penelitian masih semu dan kabur.

Itulah mengapa para ahli tidak dengan mudah mengatakan bahwa yang ia temukan berguna. Karena jika caranya saja terdapat kesalahan maka harus ada perbaikan dari penelitian sebelumnya.

  1. Riset antara satu Ilmu Pengetahuan dengan lainnya Tidaklah Sama

Ilmu yang berbasiskan pada ilmu eksakta (sains, kimia, matematika, fisika, teknik, biologi, kedokteran dan lain sebagainya) biasanya menggunakan penalaran objektif untuk menemukan sebuah keilmuan. Penalaran objektif mendasarkan pada hubungan kausalitas dan signifikansi atas sebuah kejadian dan dihubungkan dengan kejadian yang baru sekarang terjadi.

Ambillah contoh dari kasus Covid-19 ini, para peneliti menemukan  bahwa virus ini masih punya kaitan dengan virus SARS (2003) dan MERS (2014). Hal ini dibuktikan oleh gen yang sama dengan virus Corona sebelumnya. Hanya saja sekarang virus telah berevolusi sedemikian rupa untuk hidup, sehingga menjadi lebih berbahaya dibandingkan sebelumnya.

Nah sebaliknya, penelitian yang berbasis pada ilmu sosial (politik, komunikasi, hukum, administrasi, hubungan Internasional, dan lain sebagainya) selain mendasarkan pada penalaran objektif juga mengandalkan penalaran subjektif. Penalaran yang didasarkan pada nilai historis, proses interaksi, dan makna.

  1. Riset selalu Berubah

Pendekatan, cara dan logika yang digunakan dalam riset biasanya berubah sesuai situasi dan kondisi. Misalnya saja bagaimana prosedur untuk menguji virus Corona ini sebetulnya dibutuhkan waktu lama jika mendasarkan vaksin-vaksin sebelumnya (2-4 tahun). Namun karena ilmu pengetahuan bergerak dan semakin banyak pengujian yang dilakukan para ahli, bisa saja kurang dari dua tahun vaksin untuk virus Corona bisa ditemukan.

Namun bukan berarti peneliti dengan seenak jidatnya dapat memotong prosedur pengujian. Prosedur dan tahapan harus dilalui dan diuji terus menerus, sehingga vaksin yang digunakan aman dan teruji.

Pertanyaannya adalah, apakah yang mengklaim obat Corona itu juga sudah menjalani prosedur dan tahapan itu? Silahkan anda jawab sendiri.

  1. Memahami Riset harus Terus Menerus Disempurnakan

Semua riset pada dasarnya ada yang sempurna dan ada yang belum. Sudah menjadi tugas para peneliti untuk menyempurnakan, merevisi dan mempublikasikan kembali penelitian. Maka jangan heran banyak penelitian ditulis hanya untuk memastikan sesuatu sebelum peneliti benar-benar yakin akan temuannya.

Ketika peneliti telah yakin, itupun masih harus membutuhkan kritik di masa depan. Karena apa? Barangkali penemuan yang ada sudah tidak relevan atau mulai ditemui banyak “lubang”. Itulah mengapa satu buku induk dalam setiap ilmu pengetahuan dipelajari dan direvisi peneliti dari berbagai zaman agar ada ilmu pengetahuan baru sesuai dengan zamannya.

 

Tinggalkan komentar