Paedofilia dan Struktur Bahasa Media

Paedofilia
Sumber www.independent.co.uk

Publik kembali terhenyak mendengar kabar kekerasan anak atau Paedofilia yang menimpa Angeline, gadis berusia 8 tahun. Setelah dikabarkan hilang, Angeline ternyata ditemukan tewas terkubur di belakang rumah, tepatnya jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali (Rabu, 10/06/2015). Belum sempat hilang kekesalan publik, masyarakat kembali menjerit disusul beredarnya foto korban gadis berusia 9 tahun yang menjadi trending topic di sosial media. Gadis yang diketahui bernama Putri Nur Fauzi tersebut ditemukan tewas di kawasan Jembatan Sahabat Kalideres, Jakarta Barat (Jumat, 2/10/2015).
Dua kejadian di atas hanya sekelumit dari kasus-kasus yang populer di media. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis sebuah data yang cukup mencengangkan bahwa setiap tahunnya kekerasan anak cenderung meningkat. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 asa 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, dan 2014 ada 5066 kasus. Adapun 5 kasus tertinggi, jumlah kasus per bidang dari 2011 sampai April 2015, pertama, anak berhadapan dengan hukum tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160, pendidikan 1764, kesehatan dan napza 1366 serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus (KPAI).

Maraknya paedofilia atau kekerasan pada anak seyogyanya mendapat perhatian serius dari semua pihak. Selain karena kekerasan pada anak adalah kekerasan yang sifatnya tak terduga, juga dapat menimpa siapa saja baik sebagai pelaku maupun korbannya.

Realitas Dibentuk Media
Ferdinand Desaussere pakar bahasa dari Swiss mengatakan bahwa sebuah realitas salah satunya terbentuk karena stuktur bahasa. Bahasalah yang mengkonstruksi realitas secara perlahan-lahan. Bahasa media mampu melanggengkan kasus demi kasus dengan hegemoni struktur bahasa media. Disadari maupun tidak, wartawan laki-laki selaku pekerja media meliput dengan nuansa kemaskulinannya. Jiwa patriarki untuk menempatkan posisi laki-laki di atas, dan anak di bawah seringkali terjadi. Wartawan menjadi lepas saat memberitakan sebuah kasus paedofilia. Bahasa yang keluar di publik pun menjadi bahasa yang menjustisfikasi bahwa anak-anaklah yang salah.
Media sering abai bahwa banyaknya ruang tersangka untuk menjelaskan sebab musabab kronologi kejadiaan tidak terfilter sehingga informasi pun tidak berimbang.

Selanjutnya, publik pun mau tidak mau mengafirmasi perbuatan tersangka. Media seakan membombardir dengan membabi buta bahwa kekerasan selama ini seakan-akan wajar dilakukan. Publik terpaksa menerima bahwa anak-anak adalah lemah, tertindas dan berada dipihak bawah. Hal ini menyebabkan masyarakat mempunyai pandangan betapa mudahnya melakukan kejahatan pada anak tanpa ada orang yang mengetahui.

Mirisnya lagi, media menggunakan bahasa sebagai gambaran bahwa kasus paedofilia adalah berita hiburan yang berhak mendapat perhatian banyak orang. Pemberitaan dari kisah mendramatisir hingga detail-detail penganiayaan mampu memberikan stimulus publik untuk mencoba. Media tak segan-segan menggunakan kata-kata vulgar yang mungkin saja mampu membangkitkan gairah pembaca. Adanya pemberitaan seperti ini menjadikan kasus kekerasan pada anak merupakan hal yang tabu, korban malu karena dianggap aib dan takut untuk melapor kepada pihak yang berwajib.

Media Agen Solusi
Upaya yang perlu dilakukan segera adalah mengawal media selaku pengkonstruk realitas sosial budaya. Sebisa mungkin, media mampu menahan pemberitaan yang dibuat atas dasar nafsu semata. Mengingat berita adalah informasi parsial yang memerlukan penafsiran sesuai konteks, wartawan harus berpikir cerdas bagaimana menyajikan sebuah berita dengan prioritas mengurai benang merah inti masalah. Seluruh pihak juga perlu mengupayakan adanya gerakan literasi media di akar rumput. Terlebih berkaitan eksplanasi dan edukasi mengenai proses produksi dan distribusi pemberitaan.

Adapun bentuk literasi yang lain bisa berupa kerjasama dengan KPAI guna meningkatkan kepedulian antarkeluarga. Dengan menanamkan rasa kasih sayang dan dampak-dampak media yang timbul, diharapkan masyarakat mampu meningkatkan rasa kepeduliaan bagi masa depan anak-anaknya. Cara seperti ini efektif, mengingat penegakan hukum tentang kekerasan anak masih belum menjadi prioritas di negeri ini. Harapannya, solusi tersebut dapat dilakukan semua elemen masyarakat karena dari hal itulah berarti publik turut bahu membahu mendorong penegakan hukum kejahatan paedofilia.

Tinggalkan komentar