Dibalik Satir Jurnalis dalam Bangku Kosong Mata (mbak) Najwa

Sumber: Najwa Shihab Channel (https://www.youtube.com/watch?v=QQ9oYqowqO4)

Kemarin hari Senin, jagad maya dikejutkan oleh Mata Najwa yang mewawancarai Kursi Kosong. Kursi yang sudah diduduki banyak public figure itu rupanya tengah menunggu sosok yang dirindukan. Sosok yang dinantikan itu adalah Menteri Kesehatan, dr. Terawan Agus Putranto. Seorang spesial di Mata (mbak) Najwa karena ialah sekarang sosok penting dibalik penanganan kasus Covid-19 di tanah air.

Setelah ditelisik, rupanya Najwa Shihab sang host Rumah Mata Najwa berkali-kali mengundang menteri Terawan. Namun jangankan datang, kabar pun tak ada dan menghilang entah kemana. Walhasil Najwa Shihab menjawab ketidakjelasan tersebut dengan menunggu dan menanyai bangku kosong bak orang sakit hati yang tengah menunggu dalam kehampaan mendalam.

Hasilnya? Kursi kosong itu tetap diam dalam hening. Belakangan sampai tulisan ini dimuat sang Menteri Kesehatan ternyata tengah menghadiri peringatan hari Rabies Sedunia. Tentu saja duduk manis dengan kursi yang berbeda dengan komunikasi satu arah dalam waktu yang cukup singkat.

Benci tapi Butuh

Ada setidaknya tiga menteri yang saat ini tidak diinginkan oleh publik. Contohnya saja Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo dan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto. Alasan praktis mengapa ketiganya tidak disukai lebih dikarenakan kinerja mereka yang dinilai kurang menunjukkan niat dan hasil selain pengangkatan ketiganya yang bisa dibilang kontroversial.

Namun belakangan nama menteri pertama yang saya sebutkan itu “terselamatkan” berkat penangkapan gembong koruptor kelas berat, yaitu Djoko Tjandra dan jaksa Pinangki yang ternyata bersekongkol. Namanya tidak diuber-uber lagi oleh media karena hasilnya dinilai oke, meskipun beberapa pihak tetap gemas lantaran kebijakannya yang dinilai terlalu aneh.

Sementara untuk menteri kedua, terselamatkan berkat jarangnya ia tampil di depan publik. Belakangan sang menteri KKP itu juga terserang Covid-19, jadi tidak elok jika kita bicara orang yang baru sakit. Mungkin para haters (loyalis) Menteri Susi kini menanti kesembuhan sembari menyiapkan amunisi baru untuk berdebat, utamanya soal ekspor bibit udang lobster yang masih bikin pening.

Lalu bagaimana dengan yang ketiga?, sepertinya memang susah menggambarkannya. Mengapa susah? Benci atau tidak kita memang sedang membutuhkan sepak terjangnya sekarang dalam menangani virus ”yang terkutuk” ini.

Kontroversi berujung Diam

Namun statement sang Menteri Kesehatan inilah yang jadi masalah, seolah tidak ada pertanggungjawabannya di depan publik. Entah karena ia ingin menenangkan publik ketika Covid-19 baru melanda atau memang keblinger, ucapannya jadi terkenal dan diingat-ingat publik.

Masih ingat kan dia bilang apa? Dia bilang cukup dengan berdoa saja virusnya akan hilang dan penyakitnya bisa sembuh sendiri. “Self-Limiting Disease” itulah kata sophisticated yang dilontarkan Sang Menkes. Berpadu dengan majas innuendo yang berbau religius tadi, jadilah Menkes Terawan jadi bahan perbincangan publik.

Belakangan menurut kabar Pakdhe Presiden tidak suka mendengar hal itu dan memerintahkan adanya figur khusus untuk berbicara mengenai virus ini. Saking bikin gemasnya, Majalah Tempo pun mengeluarkan komik satire andalannya dengan ilustrasi menteri Terawan yang bicara “Corona?, ah kecil” dan dibalas gambar virus Corona dengan balasan tulisan “Tapi Banyak hahaha…”.

Satir atas Ketidakpastian

Artinya ini adalah kali kedua Sang Menteri Kesehatan mendapatkan nada miring dari jurnalis. Bedanya ketika itu ia mendapatkannya lantaran komunikasinya yang kelewatan, kalau yang sekarang karena mbak Najwa Shihab terlalu sabar menanti.

Menurut peneliti jurnalis Peifer dan Lee (2019) jurnalisme dan satir menawarkan penilaian tajam dalam wacana publik dan dapat menghibur meskipun bukan sebagai tujuan utama. Ini dikarenakan jurnalisme dinilai bertujuan netral sedangkan satir bertujuan mengkritik sehingga terdapat tumpang tindih tujuan antara keduanya (Peifer dan Lee, 2019:2).

Satir yang dilakukan Najwa Shihab dengan Bangku Kosong itu memang tidak seratus persen menggambarkan kekesalannya kepada Menteri Terawan lantaran diundang terus tapi tak kunjung datang. Namun cukup untuk mewakili kekecewaan publik terhadap Menkes Terawan yang cenderung menyepelekan efek dari pandemi ini sedari awal.

Singkatnya, Inilah yang dijadikan kritik oleh si pembawa acara bahwa sang Menkes harus bertanggung jawab atas statement yang dulu pernah ia buat. Najwa Shihab juga bukanlah hakim dengan segala pertanyaannya. Namun disatu sisi pertanyaan Najwa Shihab diharapkan bisa mewakili rasa penasaran publik yang membutuhkan informasi terhadap apa yang sudah dilakukan sang Menkes. Oleh karenanya Kursi Kosong tersebut secara simbolis menjadi “penunggu” atas banyak jawaban yang belum pasti.

DAFTAR PUSTAKA:

Peifer, John T. dan Taeyong, Lee. (2019). Satire and Journalism. Oxford University Press: Oxford Research Encyclopedia, Communication.

 

Tinggalkan komentar