Wacana ‘Aku Rapopo’

Aku Rapopo
m.solopos.com

‘Aku Rapopo’ Adalah ucapan yang bermula dari Joko Widodo (Jokowi) saat menjawab serangan lawan politiknya. Istilah ‘Aku Rapopo’ adalah istilah dari bahasa Jawa yang berarti ‘Aku’ adalah ‘saya’, dan ‘rapopo’ berarti ‘tidak kenapa-kenapa’.

Arti konkritnya ‘saya baik-baik saja’. Istilah tersebut semakin populer ketika esok harinya calon presiden GERINDRA mengutarakan istilah yang sama di akun twitternya, disusul Presiden PKS saat berorasi di Jawa Timur belum lama ini (Tempo, 01 April 2014).

Wacana adalah suatu penggunaan bahasa dalam komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Menurut kacamata Fairclough dan Wodak, pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan digunakan sebagai bentuk dari praktik sosial.

Dengan demikian, wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yakni proses penafsiran analisis kontruktivisme, namun sarat peran untuk membentuk subjek, tema ataupun strategi-strategi berkomunikasi di dalam masyarakat.

Sebagai jawaban terhadap lawan politiknya, istilah ini mengandung banyak rahasia. Terdapat sebuah kerendahan hati, sikap yang lembut namun mempunyai kekuatan. Di tengah budaya politik saling menyerang, Jokowi mampu menciptakan iklim komunikasi politik ‘adem ayem’ lewat perantara kemurnian budaya Indonesia.

Hal ini terlihat dari pemakaian kalimat selanjutnya, “saling mencemooh itu bukan budaya kita”. Pemilihan kata ‘kita’ merupakan pernyataan rendah hati, lugas, sarat makna yang mampu meninggikan ‘rasa’ derajat luhur manusia Indonesia.

Di dalam komunikasi semacam itu, memang terlihat tidak terlalu penting. Namun, di tengah maraknya politisi busuk yang sengaja ‘mencari-cari’ nama lewat bahasa ilmiah sekaligus berlindung di balik jubah simbol-simbol agama, komunikasi semacam ini menjadi langka seperti mutiara.

Istilah ‘aku rapoo’ menunjukkan kebiasaan merasa tak pantas, yakni pempimpin yang ditunjuk rakyat untuk memimpin bukan mendeklarasikan diri untuk berambisi menjadi pemimpin. Pemimpin seperti ini tak terpengaruh oleh pujian atau hinaan, semua sama untuk membalas kebaikan.

Jokowi berhasil mengutarakan komunikasi politiknya lewat pembenahan problem keummatan saat ini di tengah kurangnya kesadaran mengenai keshalehan sosial. Kesederhanaan pemimpin, transparansi kinerja, produktivitas, profesionalitas, disiplin, konservasi alam, hemat energi dan lain sebagainya.

Oleh Karena keshalehan amal ini sangat minim dengan simbol-simbol keagamaan, keshalehan sosial ini sering dianggap bukan merupakan nilai-nilai agama. Jokowi mampu mengusung nilai-nilai agama tersebut keluar terlepas dari sebatas simbol ritual keagamaan belaka.

Di sebalik kekurangan dan kelebihan Jokowi sebagai manusia, sudah lumrah terjadi pro dan kontra. Namun seyogyanya, kiprahnya di dunia politik patut dijadikan contoh bangkitnya keluhuran budaya Indonesia dalam pentas politik yang santun.

Penulis sangat yakin, kritikan yang dilakukan dengan cara yang benar dan membangun akan berimplikasi pada majunya demokrasi. Namun jika kritik disampaikan sebagai usaha saling menjatuhkan tentu konsekuensinya rakyat akan marah.

Semoga saja negeri ini dikaruniai pemimpin-pemimpin yang tidak dibutakan oleh kekhawatiran sekaligus membenci persaingan. Karena bagaimanapun juga, Indonesia hebat tidak akan terlahir dari pemimpin-pemimpin yang merasa hebat. Indonesia hebat akan terlahir dari peradaban hebat yang akan menghasilkan pemimpin-pemimpin hebat.

Tinggalkan komentar