Pemilu AS dan Mengapa Trump Menolak Hasil Pilpres: Komunikasi Politik

PePemilu di AS dan Mengapa Presiden Trump Menolak Hasil Pilpres Komunikasi Politik

Pemilu di AS dan Mengapa Presiden Trump Menolak Hasil Pilpres Komunikasi Politik (Gambar: Pixabay.com)

Saat ini topik mengenai Pemilu di AS tengah berlangsung. Petahana Presiden Donald Trump-Mike Pence dari Partai Republik dan pasangan dari Partai Demokrat, Joe Biden-Kamala Harris berlangsung sengit mulai dari debat sampai saat ini.

Kejutannya adalah kemarin, Presiden Trump baru saja mengumumkan sebuah klaim yang dapat bernilai fatal. Ia mendeklarasikan diri sebagai pemenang pemilu sementara penghitungan suara masih berlangsung.

Bukan hanya mendeklarasikan diri sebagai pemenang, presiden Trump juga mengajukan gugatan hukium berupa penghentian perhitungan suara di negara bagian Nevada, Georgia dan Pennsylvania, termasuk ke Mahkamah Agung karena dinilai ada kecurangan.

Negara bagian kunci yang sering disebut sebagai swing state tersebut masih harus menyelesaikan penghitungan suara utamanya lewat surat suara pos. Sementara itu, terdapat beberapa tempat yang mulai bergejolak antara kedua pendukung. Ya, salah satunya karena pengumuman Trump itu.

Beberapa kejadian tersebut memantik beberapa pengamat utamanya dari Australia dan Indonesia lantas menyamakan Pemilu di AS dengan Pilpres 2019. Kemiripan yang terjadi ini pun memicu banyak spekulasi mengenai demokrasi di negeri Paman Sam apakah tengah baik-baik saja.

Semua tahu akan jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun baiknya kita harus melihat kembali apa yang luput supaya kita memahami sepenuhnya mengenai persaingan ketat nan dramatis ini.

Pemilu di AS dan Alasan Mengapa Trump Menolak Hasil Pilpres: Komunikasi Politik dan Sepintas Kebijakan Trump

Berbeda dengan di Indonesia waktu itu, Amerika Serikat saat ini tengah mendapat banyak “ujian” demokrasi dan kebijakan. Pandemi Covid-19 dan penembakan warga kulit hitam adalah dua dari banyak masalah yang mendera.

Setidaknya kita harus berkaca dari bagaimana kepemimpinan presiden Donald Trump secara keseluruhan. Perang dagang antar negara, kebijakan imigrasi, kebangkitan supremasi kulit putih, pemanasan global dan menguatnya teori konspirasi yang dilancarkan kelompok bernama “Qanon” di media sosial juga berpengaruh. Masalah yang saya sebutkan terakhir merupakan masalah yang sangat kompleks.

Sejak awal pemerintahan, Presiden Donald Trump adalah presiden yang vokal menyebut media sebagai sarang hoax dengan sebutan fake news disetiap isu. Berbagai jurnalis diserang, kecuali Fox TV dimana media ini memang condong sekali ke pemerintah Trump.

Anehnya, hampir disetiap kesempatan mengenai berbagai isu ia selalu berkata demikian. Termasuk diantaranya komunikasi politik di luar negerinya.

Hal ini tentu saja menjadi masalah dikarenakan isu-isu besar tersebut justru dihindari dan cenderung mencoba untuk mengatasinya dengan kebijakan American First yang juga hampir ia gunakan hampir di semua bidang.

Komunikasi Politik: Melawan “Hoax” dengan Mendorong Hoax

Presiden Donald Trump sendiri disinyalir sejumlah pihak justru diuntungkan dengan berbagai hoax yang uniknya justru ia tuduhkan ke sejumlah media disana. Bahkan ada sebuah penelitian menarik dimana ternyata presiden Trump-lah salah satu yang mendorong hoax tersebut.

Kita tahu presiden satu ini kerap menyerang media dengan sebutan fake news, hoax dan sebagainya. Namun disisi lain presiden Trump menggunakan berbagai tuduhan yang tidak berdasar pada hampir di setiap masalah. Dorongan inilah yang lalu melahirkan banyak sekali disrupsi informasi yang terjadi.

Penelitian yang ditulis oleh Sarah Evanega dan koleganya dari Cornell University yang berjudul menunjukkan bahwa 37.9% “infodemik” justru dilahirkan oleh komentar presiden kontroversial itu. Angka tersebut hanya dikalahkan oleh misinformasi dan konspirasi 46.6%.

Artinya presiden satu ini memegang peranan penting akumulasi informasi yang salah mengenai Covid-19. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa presiden “Fantastic” tersebut memiliki peran terhadap kesalahan informasi yang tersebar dalam hal dorongan.

Dorongan informasi inilah yang menjadikan pemerintahannya tidak efektif dapat menangani pandemi Covid-19, alih-alih mencoba mengendalikannya. Padahal dampaknya sangat begitu terasa di masyarakat meskipun tidak sedikit juga yang mendukungnya.

Komunikasi Politik: Menghindari Topik dengan Masalah

Komunikasi Politik lain yang bermasalah ialah ketika ia mencoba solusi yang jelas-jelas dapat melahirkan masalah baru yang bisa jadi lebih besar. Kasus penembakan yang terjadi di Amerika Serikat misalnya, ia lebih suka berkoar bahwa senjata juga adalah jawabannya.

Contoh lainnya adalah kebijakan pemisahan anak dengan orang tua imigran adalah kasus awal dimana reaksi publik terlihat. Banyak hujatan yang waktu itu meluncur kepada Presiden Trump meskipun ia membantahnya.

Terakhir pendekatan itu ia gunakan juga pada di awal pandemi Covid-19 dengan menuduh China sebagai dalang pandemi. Namun presiden Trump sendiri tampak tidak peduli dan lebih menghindari saran penggunaan masker dan menyerang Anthony Fauci, kepala CDC yang menangani kasus Covid-19 di Amerika Serikat atas penolakan statementnya meski belakangan ia menggunakannya.

Masalahnya adalah ia tidak menjelaskan mengapa itu membantu dan lebih suka menghindari kritik atas kebijakannya tersebut. Kasus penembakan George Floyd yang melahirkan Black Lives Matter sebetulnya ia mencoba men-twitt rasa simpati tersebut, namun ia justru menuding gerakan tersebut sebagai simbol kebencian.

Pemilu adalah Klimaks

Sebetulnya dengan dua pendekatan komunikasi politik semacam itu bukanlah hal mengherankan apabila presiden Trump menolak hasil pemilu kali ini. Pendekatan komunikasi politik semacam itu lebih banyak menguntungkan ketika sang Presiden tengah tertekan.

Namun menjadi masalah bagi beberapa pihak terkait dikarenakan justru memperkeruh suasana, alih-alih mencoba mengendalikan situasi.

Itu cukup menjawab mengapa orang-orang dibawahnya, termasuk wakil presiden Amerika Serikat, Mike Pence ketika ditanyai jurnalis lebih banyak untuk menjelaskan dan bahkan memotong konteks daripada membicarakan langkah kongkret yang nantinya akan diambil.

Model komunikasi politik semacam itu memiliki pedang bermata dua, disatu sisi menguntungkan Trump dikarenakan dia menjadi tidak terbebani dengan kebijakan yang rumit. Namun di sisi lain kebijakan tersebut dibaca publik sebagai ketidakpedulian Trump terhadap topik besar, yang menyebabkan sebagian orang muak dengan pendekatan petahana ini.

 

Daftar Pustaka:

Evanega, Sarah., dkk. (2020). Coronavirus Misinformation: Quantifying Sources and Themes in the COVID-19 ‘Infodemic’. Ithaca: Cornell University, https://allianceforscience.cornell.edu/wp-content/uploads/2020/09/Evanega-et-al-Coronavirus-misinformationFINAL.pdf

Tinggalkan komentar