Rapor Merah untuk Mas Menteri dari Serikat Guru: Semoga Terpacu Mas!

Rapor Merah untuk Mas Menteri dari Serikat Guru Semoga Menjadi Pemacu Mas!

Rapor Merah untuk Mas Menteri dari Serikat Guru: Semoga Menjadi Pemacu Mas! (Gambar: Pixabay.com)

Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) kemarin Sabtu (24/10/2020) mengeluarkan rilis mengenai kinerja Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim selama setahun ini menjabat. Sejumlah penilaian ini didasarkan pada kebijakan yang selama ini telah diambil.

Merilis dari Halaman Kompas.com, terdapat sejumlah penilaian bagus dari segi kebijakan dan penerapannya. Nilai yang paling dihargai tinggi untuk saat ini adalah penghapusan ujian nasional (UN), dan peluncuran kurikulum darurat. Masing-masing kedua program tersebut oleh FSGI dinilai 100 dan 80.

Kemudian ada program yang dinilai bagus dari segi kebijakannya, namun penerapannya masih dalam kajian lebih lanjut, yaitu asesmen nasional (nilai 75 atau cukup). Kalau yang satu ini memang wajar karena program ini baru akan kelihatan ketika sudah dijalankan. Kenyataannya saat ini memang belum dikarenakan pandemi.

Namun ada lima program yang baik dari segi kebijakan dan penerapannya jauh dari kata cukup menurut FSGI. Kelimanya yaitu program kuota internet untuk guru dan siswa (65), merdeka belajar (60), relaksasi dana BOS (60), pembelajaran jarak jauh atau online (55), dan organisasi penggerak (50).

Jika dirata-rata, skor untuk Mas Menteri adalah 68. Agak kurang ideal menurut penghitungan FSGI, dimana mereka mentarget nilai ideal adalah 75 (cukup).

Rapor Merah Mas Menteri dari Serikat Guru: Birokrasi Lagi

Dalam tulisan ini saya tidak menggeneralisir program-program yang mendapatkan skor pas-pasan tersebut dikarenakan kekompleksannya. Namun ada kalanya kita harus memperhatikan apakah program yang dinilai kurang oleh FSGI tersebut masih punya hubungan.

Jika saya perhatikan lagi secara mendalam, program kementerian yang mendapat skor kurang tersebut masih berhubungan. Pada saat pandemi ini misalnya, Mas Menteri mendorong penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (Dana BOS) yang pada intinya untuk menghidupkan pembelajaran selama pandemi Covid-19 ini berlangsung.

Belakangan penggunaan dana BOS itu terkait dengan program kuota Internet untuk guru dan siswa melalui sub-program bernama Relaksasi BOS. Namun mengutip dari situs Republika, Sekjen FSGI Heru Purnomo menyatakan program tersebut tidak bisa berjalan sepenuhnya dalam implementasinya.

Ia menyebutkan bahwa memang dana tersebut dapat digunakan untuk kuota internet guru dan siswa, pengadaan fasilitas kesehatan di sekolah dan pembayaran guru honor.

Masalahnya adalah pelaksanaannya di daerah tertentu tidak maksimal mengingat Dana BOS berasal dari APBN. Sementara pembayaran upah guru honor memakai APBD yang notabene tidak boleh kedua-duanya dimanfaatkan untuk satu program alias buntung sebelah.

Tentu masalah birokrasi ini menyulitkan. Hal itu juga ditambah perubahan penyusunan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang sulit dilakukan di daerah yang tidak memiliki sistem online dan izin pengubahan RKAS yang tidak mudah dilakukan.

Pelaksanaan Mampet

Skor merah lainnya yang masih terkait dengan program lainnya adalah Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah masalah lain yang implementasinya menimbulkan masalah. Kasus bunuh diri siswi di Gowa karena susash akses internet seperti yang saya tulis sebelumnya disini, memang nilai dari skor itu sudah seharusnya merah.

Padahal bagi saya PJJ atau pembelajaran online sangat terkait dengan program Merdeka Belajar yang tengah digaungkan pemerintah. Program ini pada intinya mendorong guru berinovasi untuk mengadakan pembelajaran dengan menekankan ikatan lahir dan batin antara guru dan siswa.

Namun sepertinya program tersebut harus ditinjau ulang. Inovasi yang selama ini didefenisikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih banyak merujuk pada pengurangan kurikulum daripada pelaksanaan belajarnya sendiri.

Walhasil kasus diatas siswa/i yang mengalami burnout banyak sementara sekarang sudah ada nyawa yang harus dibayar. Pendidikan alternatif yang seharusnya menjadi solusi selain PJJ, juga terhambat jika birokrasi untuk pengadaannya masih sulit seperti masalah penyusunan RKAS diatas.

Merdeka memang membutuhkan pengorbanan, namun jika nyawa melayang apakah kita harus tinggal diam?

Birokrasi dan Implementasi harus Disederhanakan

Perlu menjadi catatan juga bahwa permasalahan yang diungkapkan oleh FSGI diatas merupakan kasus yang notabene terjadi di daerah. Sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut, harus ada kerjasama dari stakeholder di tingkat pemerintah daerah juga melalui dinas pendidikan.

Namun ada satu langkah lagi yang sebetulnya bisa dilakukan oleh Mas Menteri, yaitu dengan menyederhanakan regulasi RKAS dan implementasi pembelajaran.

Jika acuannya adalah mensukseskan pembelajaran, maka dua hal tersebut adalah yang paling masuk akal untuk dilaksanakan. Sebab dengan begitu beban sekolah bisa dikurangi dan kesejahteraan guru baik guru tetap dan honorer tetap terjaga.

Implementasi pembelajaran juga harus disederhanakan lagi dan jangan hanya berkutat pada pembelajaran online. Pertemuan siswa dan guru secara langsung-terbatas dengan model apapun juga seharusnya dipertimbangkan dengan melihat tingkat kesullitan di daerah.

Tambahannya bisa dengan memaksimalkan peran guru bimbingan konseling (BK) dalam menguatkan siswa saat PJJ selama Pandemi Covid-19 ini berlangsung. Menurut saya pribadi ini adalah salah satu cara juga untuk melihat permasalahan “unik” di setiap daerah supaya ketimpangan pembelajaran saat pandemi ini bisa tereduksi.

 

Sumber:

Berita mengenai penilaian FSGI ini bisa dilihat disini dan disini.

Tinggalkan komentar