Menyoal Kemendikbud: Mahasiswa Tidak Boleh Demo ?

Menyoal Kemendikbud Mahasiswa Tidak Boleh Demotandatanya

Menyoal Kemendikbud: Mahasiswa Tidak Boleh Demo ? (Pixabay.com)

Kemarin hari Jumat lalu (9/10/2020), Kementerian Pendidikan melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat edaran yang menghimbau mahasiswa untuk tidak melakukan demo terkait UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Surat 1035/E/KM/2020 yang terdapat tujuh poin itu juga menganjurkan akademisi untuk tidak memprovokasi mahasiswa untuk melakukan demo (yang dipermasalahkan adalah poin 4 dan 6 secara berturut-turut).

Alasan yang dikemukakan oleh Kementerian Pendidikan adalah dikarenakan dapat membahayakan kesehatan terkait Pandemi Covid-19. Sebagai gantinya mahasiswa boleh membahas dan menyampaikan kritik secara akademis yang nantinya bisa disampaikan ke pemerintah

Namun sepertinya himbauan tersebut tidak terlalu didengar oleh mahasiswa. Belakangan banyak kalangan justru sinis mendengar hal tersebut. Ada juga yang menabrakkan kasus tersebut dengan program pemerintah, yaitu Kampus Merdeka. Pada akhirnya himbauan ini sepertinya sudah tenggelam dalam keriuhan penolakan UU Omnibus Law itu. Tapi, apakah memang masuk akal himbauan tersebut?

Jika konteksnya kesehatan sepertinya memang masuk akal pernyataan Dirjen Pendidikan Tinggi tersebut. Namun dalam konteks menyuarakan pendapat, agaknya ini harus dipersoalkan mengingat kondisi yang saat ini berlangsung.

Mahasiswa dianjurkan tidak berdemo sementara DPR mengebut untuk menyelesaikan UU Omnibus Law yang bermasalah. Itu lebih terlihat sebagai sebuah ironi atas anjuran kesehatan itu sendiri.

Mahasiswa Tidak Boleh Demo?

Pada dasarnya pernyataan Dirjen Pendidikan Tinggi bukanlah sesuatu yang dipaksakan, mengingat hal itu bersifat himbauan. Namun perlu untuk dijelaskan dalam hal ini bahwa himbauan tersebut dalam konteks kebijakan memiliki dua sisi mata pedang yang saling berlawanan.

Memang benar bahwa saat ini sedang terdapat Pandemi Covid-19. Resiko kesehatan otomatis menjadi taruhannya dan kekhawatiran itu memang tidak salah sepenuhnya. Berkerumun dan kemungkinan untuk melanggar protokol kesehatan sementara saat ini pembelajaran melalui sistem online juga menguatkan hal tersebut.

Namun anjuran tersebut sangatlah klise ditengah permasalahan yang mendera. Pemerintah sendiri juga memberi contoh yang tidak baik dengan mengutamakan pembahasan UU Cipta Kerja yang dari awal sudah bermasalah. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat sampai saat ini tidak melakukan intervensi apapun di bidang kesehatan. Sangatlah wajar jika mahasiswa dan pekerja turun ke jalanan sebagai bentuk pertanggung jawaban intelektual.

Himbauan tersebut menjadi tidak wajar dengan logika tersebut. Ditambah lagi saat ini beban masyarakat yang sudah berat akibat Pandemi Covid-19, langkah pemerintah justru bisa dikatakan memberatkan. Hal ini bisa dilihat bagaimana pemerintah yang mengatakan akan mengutamakan kesehatan, namun dalam prakteknya lebih agresif terhadap ekonomi.

Mahasiswa bagaimanapun saat ini dihadapkan dengan tanggung jawab intelektual di tengah pandemi Covid-19 dengan kontradiksi tersebut. Ini juga menjawab mengapa ada sebagian akademisi yang mendukung dan bahkan tidak segan memberi nilai lebih bagi mahasiswa yang mengikuti unjuk rasa bersama pekerja. Unjuk rasa merupakan aksi yang memiliki nilai langsung, yang bisa dirasakan semua orang.

Mediasi Komunikasi

Jika memang Kemendikbud melalui Dirjen Pendidikan Tinggi ingin menolong mahasiswa menyampaikan pendapat, maka akan lebih baik jika mahasiswa difasilitasi ketimbang menyodorkan himbauan. Himbauan tidak akan berarti apa-apa jika aksi nyata saja dipersoalkan sementara tidak ada komunikasi lebih lanjut yang bisa diterapkan untuk mengurangi kekhawatiran tersebut.

Memang, Kemendikbud sejauh ini akan memfasilitasi mahasiswa melalui kajian akademis yang nantinya dapat menjadi masukan bagi pemerintah. Namun dalam kondisi mendesak semacam ini, Kemendikbud melalui Dirjen Pendidikan Tinggi harusnya juga dapat memberi terobosan yang lebih nyata dan dapat mengurangi gesekan yang ada melalui mediasi tersebut.

Kajian akademis tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi aksi nyata untuk memperjuangkannya. Oleh karena itulah jika Dirjen Pendidikan Tinggi dapat memberi terobosan untuk pendemo mahasiswa maka hal tersebut akan lebih baik daripada himbauan yang kenyataannya memiliki dua mata pedang tersebut.

Terobosan itu bisa dengan menjembatani pemerintah dan mahasiswa atau akademisi, dan bisa juga memfasilitasi suara mayoritas mahasiswa dan akademisi terkait Omnibus Law. Hal itu lebih baik daripada himbauan dengan dua mata pedang tersebut.

 

Sumber:

Harian Kompas Online, https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/11/152800165/viral-surat-imbauan-untuk-kampus-agar-mahasiswa-tak-ikut-demo-ini?page=all

Tinggalkan komentar