7 Tradisi Komunikasi; Melihat Peta Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi

7 Tradisi Komunikasi

Pernah dengar 7 tradisi komunikasi?

Belajar ilmu komunikasi itu sebetulnya sangat menyenangkan. Bayangkan, ucapan dan tindakan manusia sebagai instrumen komunikasi sendiri memiliki banyak makna bahkan ketika manusia itu sendiri diam. Diam bisa berarti dia sedang berkomunikasi dalam tingkat keintiman tertentu.

Aneh? ya, karena faktanya banyak hal yang tidak terucap justru terwakili oleh tindakan. Perasaan misalnya, (^_^) sulit bukan untuk dikatakan? Tapi selalu menuntut anda melakukan sesuatu yang tidak jelas sekalipun, seperti membelikan bunga misalnya?

Nah tapi dalam ranah keilmuan, hal semacam itu haruslah didasarkan pada rasionalitas. Karena segala hal berupa ucapan dan tindakan sangatlah dipengaruhi oleh berbagai kondisi, lingkungan dan hal lainnya yang menaunginya. Itulah mengapa komunikasi itu sendiri pada dasarnya beragam dan mempelajarinya bisa sangat kompleks.

Untuk itulah mempelajari ilmu komunikasi yang paling dasar membutuhkan pengertian mendasar mengenai sebuah aksi komunikasi itu sendiri. Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan tentang tradisi dalam ilmu komunikasi supaya kita dapat memahami bagaimana komunikasi itu sendiri berjalan, memiliki fungsi dan dapat dijelaskan.

Apa itu tradisi dalam ilmu komunikasi?

Belajar ilmu komunikasi tentu tidak lepas dari pendekatan keilmuan lain yang membentuknya. Berbeda dengan keilmuan lain yang cenderung berdiri tunggal seperti filsafat atau sains, komunikasi merupakan sebuah ilmu yang terdiri atas banyak pendekatan. Pendekatan inilah yang terejawentahkan dalam bentuk tradisi, yang didalamnya terdapat klasifikasi mulai dari pandangan, bentuk kajian dan fungsi dari tradisi itu sendiri dalam ilmu komunikasi.

Tradisi inilah yang lalu menunjukkan akar-akar pembentuk kajian dalam ilmu komunikasi. Dengan mengetahui asal usul kajian komunikasi, kita dapat menentukan dimana sebenarnya minat kajian kita dalam ilmu komunikasi. Lebih dari itu kita dapat mengeksplorasi bidang kajian komunikasi melalui perspektif tradisi-tradisi tersebut.

Perlu dicatat bahwa sebetulnya tradisi dalam ilmu komunikasi bukanlah mengotak-kotakkan bidang kajian yang tidak ada hubungannya dengan ilmu komunikasi. Akan tetapi sebagai pijakan awal yang hendak dicapai dalam sebuah kajian terutama dalam kaitannya dengan penelitian. Artinya bisa saja antara satu perspektif dengan perspektif lainnya tidak saling terkait namun dapat dihubungkan dalam mendalami sebuah fenomena.

Tujuan mempelajari tradisi komunikasi itu bukan sekedar untuk mengetahui apa saa pendekatan dalamilmu komunikasi, namun secara luas kita mungkin bisa mempelajari dari mana kita berpijak saat ini dalam berkomunikasi. Beberapa orang yang memperlajari komunikasi pasti tahu bahwa satu orang dengan yang lain dalam berkomunikasi pasti berbeda-beda, ada yang suka berbicara, ada yang pendiam, ada yang kritis, ada juga yang “sok”. Intinya tak perlu menilai orang lain, tapi nilailah dirimu sendiri berdasarkan tradisi komunikasi itu  sendiri.

1. Tradisi Sosio – Psikologis

Komunikasi itu intim dan personal

Tradisi ini menurut Griffin (2012) kenyataannya banyak merefleksikan diri ke dalam teori lain. Griffin memandang seperti itu karena beberapa penelitian dan bahan kajian yang ia baca dari penelitian. Griffin malah berpendapat bahwa teori ini mempengaruhi tradisi teori komunikasi lainnya. Sepertinya lebih dikarenakan tradisi ini sendiri menjelaskan komunikasi secara mendasar, yaitu menyentuh ranah pribadi sebelum menyentuh ke banyak aspek.

Tradisi komunikasi yang satu ini sebenarnya melihat komunikasi dengan hati-hati dan sistematis. Mereka memandang bahwa hubungan sebab-akibat dalam hubungan antar pribadi bisa diprediksi ketika mereka saling berkomunikasi. Contohnya ketika ada orang yang bertanya dengan nada yang halus dengan orang lain, maka orang tersebut memiliki relasi yang baik dengan orang lain, begitu juga sebaliknya.

Teori dan penelitian yang ada dalam tradisi ini melihat kesejajaran empiris atau melihat sesuatunya secara sejajar (tidak timpang antar pribadinya). Tradisi ini juga didesain untuk meneliti prediksi pertemanan sekalipun sudah terjadi bertahun-tahun ataupun dalam jangka waktu yang lama. Intinya tradisi ini sangat berkaitan dengan pendekatan psikologis, relasional dan obyektif.

Selain itu tradisi ini lebih banyak melihat komunikasi dari segi perilaku dan tindakan (efek). Singkatnya tradisi sosio-psikologis ini dapat menjelaskan komunikasi utamanya yang terkait dengan komunikasi pribadi, interpersonal, hubungan dan dasar komunikasi yang paling dalam dari sebuah hubungan ke banyak hubungan.

2. Tradisi Sibernetika

Sistem adalah “Koentji”

Sibernetika berasal dari bahasa Yunani yang berarti (orang yang) menyetir atau yang memiliki kendali (Griffin, 2009). Bisa dikatakan tradisi ini memandang komunikasi sebagai ujung tombak arus informasi, proses, timbal balik sampai memegang penuh kontrol. Konsepnya mirip layaknya beberapa orang yang memegang komputer. Orang-orang yang memakai komputer inilah yang mendistribusikan, mengontrol, sampai memproses timbal balik informasi layaknya sebuah sistem.

Pendekatan ini muaranya adalah bagaimana melihat dan mengeksplorasi komunikasi dari segi yang sangat sistemik. Dengan begitu komunikasi dipandang sebagai sebuah alat yang terencana mulai dari perencanaan, pendistribusian, timbal-balik, bahkan fungsi dan kegunaannya. Semuanya dapat beradaptasi dan berevolusi sesuai dengan tingkat perbedaan dan rintangannya. Konsepnya mirip dengan cara berpikir biologis, dimana semuanya serba terhubung dan memiliki perbedaan evolusi sendiri. Dalam ya?

Griffin juga menulis tentang penelitian yang dilakukan oleh Malcolm Parks, seorang Profesor Komunikasi Universitas Washington. Ia mengajukan beberapa pertanyaan mengenai pertemanan. Mulai dari kontak persetujuan, jarak, komunikasi, kegemaran sampai dukungan kepada kawannya. Hasilnya menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki interaksi positif dan berkali-kali melakukan interaksi semakin banyak memiliki jaringan atau relasi, kedekatan dan memiliki komitmen baik dengan partner maupun temannya.

Pakar komunikasi dari tradisi ini yang paling dikenal adalah Niklass Luhmann, ahli komunikasi asal Jerman yang studinya banyak mengulas seputar sistem sosial.

3. Tradisi Retorika

Komunikasi itu Seni

Tradisi ini mungkin sudah lama dan paling tua dalam tradisi komunikasi. Sudah ada sejak zaman Plato, Aristoteles, Cicero, Quintillian dan sejumlah penulis era Romawi lainnya. Namun tradisi ini sendiri baru dibakukan sekitar abad ke 20 oleh sejumlah peneliti dan ilmuwan komunikasi.

Tradisi ini memandang bahwa komunikasi itu layaknya sebuah pengadilan. Di sisi lain memang tradisi ini berakar dari sebuah tradisi hukum. Jadi apabila kita orang yang dapat merangkai kata itulah orang yang bisa berkomunikasi dengan baik. Sedangkan dalam prakteknya bisa kita jumpai dalam berbagai kesempatan seperti pidato, pembelaan seseorang ataupun tradisi masyarakat seperti berpuisi atau berpantun. Itu karakteristik utama, sedangkan yang lebih spesifik ada di bawah ini:

-Komunikasi yang bersifat verbal memiliki kekuatan untuk merusak dan dapat mendirikan komunitas dengan hak banyak orang.

– Forum yang bersifat demokratis dipandang efektif dalam menyelesaikan masalah politik dan menjalankan segala fungsinya (komunikasi efektif berdasarkan forum bersama).

-Suara tunggal berusaha untuk mempengaruhi banyak orang dengan pendekatan persuasif. Mereka menganggap bahwa hal ini merupakan komunikasi yang efektif dan adaptif. Asas kerjanya mirip sekali dengan fungsi pembelaan atau advokasi.

-Retorika dipandang sebagai seni karena memiliki kekuatan dan kecantikan. Hal inilah yang berimplikasi bahwa komunikasi dipandang memiliki kekuatan untuk memenangkan massa berdasarkan “kata-kata”.

Tradisi ini erat kaitannya dengan keilmuan Yunani. Retorika sendiri memang lahir dari era Yunani kuno. Salah satu tokohnya adalah Aristoteles. Menurut Griffin, Aristoteles memiliki pandangan menarik di mana ia mendefinisikan teman sebagai “seseorang yang dicintai, dan di cintalah yang membalasnya” (one who love and is love in return). Contohnya ketika kita berteman, kita akan membuat teman kita nyaman dengan humor, tawa canda, dan sebagainya karena adanya cinta. Tradisi ini menarik juga karena usianya yang tua dan perspektif Aristoteles seperti hal di atas masih digunakan hingga kini.

4. Tradisi Semiotik

Komunikasi itu Simbol

Tradisi ini sebenarnya berkaitan erat dengan studi untuk mengenal tanda. Namun berdasarkan Griffin (2012) yang mengutip I.A Richards (Universitas Cambridge) dan Michael Monsour (Universitas Colorado, Denver) menyebut tradisi ini memiliki hubungan dengan tingkat keintiman.

Ini dikarenakan tingkat keintiman menentukan persepsi banyak orang. Sehingga orang memiliki persepsi tersendiri apabila melihat sebuah simbol. Sebagai contoh, apabila ada pasangan yang memiliki hubungan dekat, tanpa berkata pun sudah mengerti maksud dan tujuannya. Ini dibuktikan misal dengan penyingkapan diri, ekspresi emosional, kontak fisik, kepercayaan, kondisi yang kurang mendukung/ketidaknyamanan, aktivitas sampai kontak hubungan (seks).

Dalam menafsirkan tingkat keintiman inilah sifatnya menjadi multidimensional, tergantung orangnya. Terkadang hal-hal semacam ini tidak mudah dipahami kecuali dengan pendekatan maupun dialog. Menurut Monsour seperti yang dikutip oleh Griffin (2012) menyatakan bahwa untuk mengetahui tanda, diperlukan dialog untuk menentukan seberapa jauh tingkat keintiman seseorang dalam memberi dan menginterpretasikan sebuah tanda.

Artinya tradisi ini berkaitan bukan hanya masalah simbol, namun juga tergantung dengan kedekatan pemahaman akan sebuah fenomena. Karena sesuatu yang simbolis memiliki berbagai unsur mulai dari jejak, susunan, sampai nilai yang diselipkan. Tradisi ini juga erat kaitannya dengan situasi kondisi masyarakat yang berimplikasi dalam penafsiran akan simbol.

Jadi sebetulnya banyak hal yang bisa dieksplorasi melalui tradisi ini mengingat hampir semua bangsa memiliki tradisi “penyimbolan” masing-masing yang bisa jadi berbeda. Hal-hal inilah yang perlu untuk “didekati” untuk mengetahui maksud dari sesuatu yang hendak disampaikan dalam perspektif ilmu komunikasi.

5. Tradisi Sosio-Kultural

Komunikasi itu Konstruksi Realitas

Tradisi yang satu ini berasumsi bahwa apa yang orang katakan melalui bahasa dapat membentuk pemikiran bagi orang lain. Jelasnya bahasa dapat membentuk pemikiran seseorang dan bahkan dapat membentuk budaya. Ini dikarenakan struktur dari bahasa merupakan pembentuk dari budaya itu sendiri.

Tradisi ini sendiri berkembang dari keilmuan linguistik atau kebahasaan. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf dari Universitas Chicago menyatakan bahwa dunia nyata yang luas ini tanpa disadari dibangun atas nama kebiasaan bahasa dalam sebuah kelompok. Dengan kata lain bahwa bahasa membentuk semacam konstruksi realitas yang terbangun di masyarakat. Serta konstruksi realitas itulah yang membentuk masyarakat dan direpresentasikan dalam bentuk budaya.

Patricia Sias dari Universitas Negeri Washington menulis dalam penelitiannya bahwa hubungan merupakan sebuah mental yang dibuat agar komunikasi berjalan apa adanya dan terbentuk untuk mengubah setiap komunikasi itu sendiri.

Artinya ia menekankan bahwa dengan adanya komunikasi bukan hanya masyarakat yang terbentuk. Namun juga hubungan dan berpengaruh terhadap konstruksi sosial yang ada. Itulah mengapa ketika terjadi kendala dalam berbahasa, maka komunikasi non verbal dapat tetap menjadi komunikasi penghubung antar relasinya.

Clifford Geertz merupakan salah satu pakar ilmu komunikasi yang bergerak dari tradisi ini dalam penelitiannya. Jadi tidak mengherankan sebetulnya jika penelitiannya lebih banyak berfokus pada keadaan sosial di masyarakat ketika melakukan penelitian di Indonesia.

6. Tradisi Kritis

Komunikasi itu Refleksi atas Tantangan dan Ketidakadilan

Tradisi komunikasi yang satu ini sangat terkenal. Bahkan pengaruhnya dalam dunia komunikasi sangat terasa. Tradisi ini dimulai oleh “Frankfurt School” (Institute for Social Research at Frankfurt University) yang di kemudian hari dikenal dengan mazhab Frankfurt. Mazhab inilah yang paling banyak mempengaruhi tradisi kritis dalam ilmu komunikasi.

Buah pikiran mazhab Frankfurt ini lalu mengkristal dan menemukan puncaknya pada pemikiran Karl Marx (1871). Meskipun mazhab Frankfurt belakangan menolak argumen Marx soal determinasi ekonomi, namun basis utamanya sama yaitu membongkar relasi kuasa. Dalam ilmu komunikasi misalnya, pandangan kritis ini erat kaitannya dengan hubungan media dan alienasi sosio-politik (Ekonomi Politik Media), studi Wacana Kritis dan sejumlah studi kritis lain semisal feminisme dan studi budaya dan media yang akarnya juga dari tradisi ini.

Kontrol atas bahasa untuk menguatkan persepsi misalnya, dalam Tradisi kritis menganggap bahwa bahasa memiliki kontrol yang dominan. Sehingga terlihat ketidakseimbangan pemaknaan dalam setiap teks yang muncul. Peran media massa juga dipandang tumpul akan penindasan. Dalam tradisi kritisi ini media massa memproduksi ideologi yang dominan dan peran media massa tak ubahnya hanya menjadi alat kekuasaan untuk menancapkan pengaruhnya. Tradisi kritis ini melihat budaya industri yang hanya mementingkan aspek dominasi dan monopoli.

Tidak adanya kritik dan hanya menerima penemuan yang empiris. Maksudnya tradisi kritis melawan pemikiran yang hanya mementingkan kebenaran empiris. Tradisi ini berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa dikatakan bebas nilai dan  bisa diklaim siapa pun atau dengan kata lain setiap komunikasi dipandang sebagai sebuah subjektif ketimbang objektif.

Tradisi kritis sangat menekankan bahwa dalam komunikasi tidak ada yang bersifat netral. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari kita akan selalu punya kepentingan dan ideologi yang mempengaruhi dalam berkomunikasi. Ini dikarenakan salah satunya karena manusia membutuhkan aspek pemenuhan kebutuhan (ada juga yang menyebutnya sebagai aspek biologis) untuk melegitimasi hubungan. Cara berpikir dialektis adalah salah satu ciri pendekatan ini, terutama dalam melihat ketimpangan baik secara personal maupun konten (isi) dari sebuah komunikasi.

7. Tradisi Fenomenologi

Komunikasi itu seperti Pengalaman Diri

Tradisi ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan tradisi teori komunikasi lainnya. Tradisi ini muncul dari terminologi filsafat (jangan tertidur ya gaes… wkwkwkwk). Tradisi ini menempatkan persepsi dan interpretasi sebagai bagian dari pengalaman pribadi. Sehingga komunikasi dalam hal ini ditempatkan untuk memahami kepribadian orang lain.

Menurut Griffin (2012) tradisi ini sangat menekankan aspek experience (pengalaman) untuk mengetahui persepsi, bahkan individual. Cerita dan pengalaman seseorang sangat penting dan menentukan dalam aksioma (kebenaran) komunikasi. Carl Roger –psikolog- misalnya, mengistilahkan relasi antara kitab suci-nabi, Tuhan-manusia sebagai hal yang paling utama untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam berkomunikasi.

Tradisi ini agaknya berkebalikan dengan tradisi sosio-psikologis. Jika sosio-psikologis menekankan komunikasi sebagai sebuah keintiman, maka tradisi ini lebih luas dengan menyentuh aspek terluar dari personal itu sendiri berupa pengalaman dan persepsi. Hal tersebut hanya bisa didapatkan dari interaksi manusia bukan hanya secara pribadi, namun juga secara luas atau dikenal dengan istilah interpersonal.

Aspek pengalaman menentukan interpretasi atas komunikasi yang dilakukan. Ini dikarenakan belum tentu dua orang memiliki pengalaman dan kisah yang sama. Tradisi ini juga dapat menjawab mengapa rasanya (terkadang) susah sekali memahami orang lain dan bagaimana masalah tersebut bisa diatasi atau dapat tertangani.

Itulah (tujuh) 7 tradisi komunikasi. Ingat ya, tradisi bukan berarti mengotak-kotakkan ilmu komunikasi, melainkan menunjukkan asal-usul pendekatan dan topik dalam ilmu komunikasi. Kamu sendiri suka topik apa di ilmu komunikasi?

 

Daftar Pustaka/Referensi

Griffin, EM, (2012). A First Look at Communication Theory Eight Edition. New York: McGraw-Hill.

7 tradisi komunikasi littlejohn pdf

7 tradisi komunikasi griffin

makalah 7 tradisi komunikasi

7 tradisi komunikasi dan contohnya

7 tradisi komunikasi dan penerapannya

Tinggalkan komentar