Pengertian Difabel Menurut Para Ahli

Terkait istilah ‘difabel’, istilah ini pertama kali digagas oleh Mansour Fakih dan Setua Adi Purwanta. Istilah ‘difabel’ dinyatakan sebagai konsep transformatif karena mengganti peristilahan lama yang tidak humanis dan semata menganggap kecacatan sebagai sebuah tragedi personal. untuk mengetahui pengertian difabel memanga harus dibahas lebih mendalam.

Di mana kecacatan selalu diposisikan sebagai akar permasalaan serta penyebab atas hambatan aktivitas serta berbagai betuk ketidakberuntungan sosial yang terjadi. Problemnya, istilah ‘difabel’ kalah kuat dengan peristilahan internasional yang menggunakan penyandang disabilitas setelah publikasi WHO pada 1980.

Difabel sendiri mempunyai singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau differently able people, yakni orang-orang yang dikategori memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada umumnya. Istilah lainnya adalah differently able, yang secara harfiah pengertian difabel berarti sesuatu yang berbeda atau yang memiliki kekurangan.

Adapun konsep difabel itu sendiri merujuk pada persoalan-persoalan yang dihadapi manusia karena mengalami penderitaan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu yang lama yang mengakibatkan keterbatasan dalam bergerak atau menangkap suatu penjelasan.

Menghambat interaksi dan menyulitkan partisipasi penuh serta efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan manusia pada umumnya. Terdapat sebutan lain yang melekatkan dengan difabel yaitu kelompok berkebutuhan khusus, penyandang cacat, penyandang ketunaan dan difabel.[1]

Berkaitan dengan makalah ini, sasaran yang dituju dari difabel adalah tunarungu. Secara umum, tunarungu adalah orang atau mahasiswa yang memiliki gangguan pendengaran, termasuk berbicara. Dengan demikian, perlu adanya Khutbah Jumat  berbahasa isyarat untuk menyampaikan isi khutbah kepada jamaah tunarungu agar mereka juga mengerti tentang pesan yang disampaikan dalam khutbah jumat tersebut.

Menurut data PLD UIN Sunan Kalijaga mencatat ada 7 mahasiswa tunarungu yang muslim. Otomatis, dari 7 mahasiswa tersebut juga melaksanakan Shalat  Jumat di Laboratorium Agama Masjid Sunan Kalijaga. Adapun penerjemah bahasa isyarat berasal dari relawan PLD yang diberikan bimbingan khusus tentang bagaimana menggunakan kode-kode komunikasi untuk berbicara dengan mahasiswa tunarungu.


[1] M. Syafi’ie dkk, Potret Difabel Berhadapan dengan Hukum Negara, (Yogyakarta: SIGAB, 2014), hlm. 38.

Tinggalkan komentar