Menata Komunikasi, Menumbuhkan (Kembali) Kemanusiaan

Jika kita melihat berita akhir-akhir ini seperti tidak ada yang baru. Masih seputar pandemi Covid-19 dengan penekanan tema pelanggaran dan pendisiplinan. Sama sekali tidak ada yang baru dan kejadiannya sama saja, ada pelanggaran, si pelanggar mengelak, tetap dihukum, dan menjalankan hukuman.

Pada beberapa daerah juga sama saja. Saya sempat bertemu seorang kenalan dari Jawa Timur. Dia bilang ke saya bahwa masyarakat disana cenderung abai soal itu. Entah karena terlalu yakin atau memang jenuh dengan topik itu, teman saya pun mengaku kesal juga. “Disini tidak ada itu Corona” kata teman saya menirukan masyarakat disana.

Denda tidak memakai masker, menyapu jalanan, bahkan sampai mendoakan korban Covid-19 di kuburan adalah berita yang selalu menghiasi layar kaca kita akhir-akhir ini. Namun dalam skala kecil-menengah hal ini memang patut diapresiasi lantaran belum ada solusi yang lebih efektif.

Tapi masalah besar bukan pada area itu saja. Masyarakat terdampak Covid-19 utamanya yang berada dalam zona Merah juga mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Alih-alih disemangati dan dimotivasi, yang ada masih banyak cara komunikasi yang tidak tepat. Mengusir warga tertentu, pengucilan keluarga, disertai ancaman masih berlangsung.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita akan terus-terusan mendengar dan melihat hal ini di masyarakat maupun media arus utama kita sampai pandemi ini selesai? Kalau saya jujur, itu sama saja menghina diri sendiri. Hanya memunculkan stigma negatif yang kuat dan bertahan lama karena komunikasi yang tidak sejalan.

“Resesi” Komunikasi

Penting untuk diketahui bahwa saat ini komunikasi sendiri juga sedang mengalami “resesi”. Resesi yang saya maksud disini adalah berkurangnya peran komunikasi secara signifikan dikarenakan buruknya komunikasi dan kondisi dengan sifat bertambah dan berulang.

Adanya kasus-kasus di atas menunjukkan komunikasi yang ada belum efektif dan cenderung menambah masalah baru. Dari tingkat personal, kelompok sampai media bersuara sama suramnya untuk menggambarkan keadaan.

Tidak ada yang salah soal itu. Namun menjadi masalah dikarenakan terlalu banyak pihak yang akhirnya disalahkan, dikucilkan dan dikorbankan hanya demi isu dan konten. Singkatnya informasi yang ada saat ini justru menambah ketidakpastian. Namun terjebak dalam ranah tersebut juga sama saja mencari kebuntuan. Komunikasi yang sudah “membulat” ini bagaimanapun harus dicarikan solusi mulai dari level personal, kelompok sampai media massa.

Menata Kembali dengan Kemanusiaan

Mungkin ini saatnya bicara komunikasi dari sisi yang seharusnya proporsional, tidak memandang siapa tersangka, korban dan pahlawan. Menata masing-masing bidang komunikasi seperti komunikasi personal, kelompok, sampai di level media massa.

Mendahulukan kemanusiaan diatas kepentingan pragmatis saat ini merupakan salah satu jawaban yang bisa dipakai untuk menanggulangi kesuraman isu dan konten. Artinya berkomunikasi dalam hal ini juga harus menggunakan pendekatan tersebut.

Dalam hal ini saya mencoba untuk mengeksplorasi singkat pendekatan jurnalisme damai yang diperkenalkan Johan Galtung (2003) namun dengan gubahan dengan memperluas cakupan elemen komunikasinya. Artinya perspektif ini bukan saja bisa dilakukan oleh gatekeeper komunikasi (jurnalis), tapi diharapkan juga bisa dilakukan dari komunikator dan komunikan dari berbagai level seperti personal, kelompok, organisasi, sampai media massa dalam menumbuhkan kemanusiaan.

Aspek pertama yang harus menjadi prioritas adalah mendengarkan suara korban.

Hal ini penting untuk dilakukan mengingat kepedulian yang mungkin terus menurun. Dengan mendengarkan korban dan penyintas Covid-19 akan membukakan mata semua pihak tentang bahaya dan resikonya.

Suara para dokter yang berjuang di garis depan penanganan dan para korban yang terjangkit Covid-19 adalah yang seharusnya diutamakan. Mereka adalah korban isu dan konten media saat ini yang harusnya mendapat perhatian lebih daripada membicarakan para elit.

Aspek kedua adalah menghentikan isu yang terus menerus digodok untuk mencapai perpecahan.

Konspirasi seputar isu kesehatan, pelabelan sifat buruk tertentu kepada dokter maupun korban terinfeksi Covid-19 harus dihentikan karena justru hal itu menguatkan dan mempermanenkan stigma korban.

Selain itu isu ini sudah terbukti tidak berguna untuk masyarakat karena hanya menambah harapan palsu dan kecurigaan atas nama keamanan bersama. Kita bisa melihat bagaimana para korban berjatuhan namun tetap saja kepedulian akan korban masih terbilang minim.

Aspek ketiga adalah memberi kesempatan dan ruang komunikasi yang intens antar masyarakat dalam menguatkan para korban terjangkit Covid-19, para ahli kesehatan, masyarakat terdampak dan media massa.

Bagi saya, peran media massa tetap penting di masa pandemi ini terutama dalam mengekspos kegiatan warga dalam melawan chaos informasi yang saat ini terjadi. Sehingga komunikasi menjadi punya makna dan membibit kemanusiaan kembali seperti seharusnya dengan mengutamakan resolusi, rekonstruksi dan rekonsiliasi.

Daftar Pustaka:

Galtung, John. (2003). “Peace Journalism”. Routledge: Media Asia, 30:3, 177-180, DOI: 10.1080/01296612.2003.11726720

Tinggalkan komentar