Hari Santri dan Nasionalisme Era Kekinian

Jangan Anda mengira bahwa dengan Anda membaca tulisan saya, menandakan bahwa saya seorang santri pondok.

Anda kurang tepat, saya bahkan bukan lulusan pondok manapun sekalipun rumah saya dekat pondok. Saya hanyalah pelajar biasa yang mencoba memahami apa itu Hari Santri Nasional dan kaitannya dengan sejarah nasionalisme bangsa.

22 Oktober Hari Santri Nasional
alhamidiyah.ac.id

Baru tahun lalu, presiden kita bapak Joko Widodo meresmikan hari santri nasional yang jatuh setiap tanggal 22 Oktober. Hari itu dikenal para santri dengan Resolusi Jihad NU yang dirumuskan oleh Kyai Khos seluruh pulau Jawa dan Madura.

Dipimpin oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, yang isinya membuat Bung Tomo dan rakyat Jawa Timur khususnya bergelora untuk melawan penjajahan setelah kemerdekaan.

Sayang, saya tidak mendapati buku sejarah yang bisa dijadikan rujukan kejadian ini. Saya hanya mendapati sebuah film yang menjelaskan, kapan dan di mana kejadian itu berlangsung. Film Sang Kyai adalah satu-satunya referensi yang saya punya.

Entah penulis kurang membaca atau memang bukunya tidak ada, tapi sejarah mengenai Resolusi Jihad itu kenyataannya tidak banyak yang mengetahuinya di era digitalisasi ini.

Penulis hanya takut apabila kita sebagai bangsa melupakan perjuangan para pahlawan, khususnya para Kyai dan Alim Ulama kita dahulu. Mereka tidak dibayar demi perjuangan bangsa. Berbeda dengan saat ini yang banyak menyerukan kata berjuang, tapi penuh kepentingan di dalamnya.

Suku, Agama, Ras atau Nasionalisme?

Kita sekarang dihadapkan masalah yang cukup pelik belakangan ini. Masalah konflik tiada ujung dengan thethek-mbengeknya yang seolah-olah tak bisa diselesaikan.

Cukup muak juga penulis melihat pemberitaan atau pesan BC dari sejumlah aplikasi media sosial akhir-akhir ini yang seolah dirangsang untuk “menciptakan konflik”. Kalimat kebencian dalam dunia politik yang lalu merembet ke masalah agama, kesukuan dan rasial masih menjadi topik hangat belakangan ini.

Konflik lokal ini yang menurut penulis cukup mengkhawatirkan. Mengingat mereka hanya men-share sesuatu tanpa tahu sumber aslinya. Seolah-olah ketika ada api muncul, hutan di Riau siap menjadi bahan bakarnya.

Artinya siapa saja siap menjadi korban pesan BC dan indoktrinasi via media sosial. Bahkan mahasiswa yang mendalami ilmu komunikasi sekalipun bisa jadi korban sekaligus pemantik api. Etika komunikasi seakan lenyap digantikan sarkasme yang (memang) lebih memikat.

Itu baru yang terjadi di dalam negeri. Skala yang terjadi baru sekedar “pesan” dan aksi demonstrasi. Kekhawatiran yang terjadi adalah pemantik-pemantik ini bisa melahirkan pribadi yang secara personal dapat mengambil sikap sendiri.

Lebih mengkhawatirkannya lagi jika mereka melakukan sesuatu yang justru merugikan agama itu sendiri. Lebih tepatnya mengatasnamakan agama sebagai dalil pembenaran atas suatu tindakan.

Sekarang lihatlah kawan apa yang terjadi di Timur Tengah. Persoalan agama, suku dan ras malah justru menjadi penyumbang konflik. Tidak pandang bulu, negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) masih menjadi teror bagi negara, bahkan agama lain yang tidak sepaham.

Suku Kurdi sekarang punya wilayah berkat Peshmerga, yang juga ingin membentuk negara khusus suku Kurdi. Sesama orang Arab saja mempertaruhkan jiwa dan raganya hanya untuk melindungi ideologi politiknya (Pemerintah Suriah versus Pemberontak Pemerintah). Selain itu bangsa Israel tetap keukeuh menggusur orang Palestina demi permukiman Yahudi.

Tidak ada penyederhanaan masalah dalam kasus ini. Kata cinta nan romantik tak dapat menghapus semua garis air mata dan senyuman seorang yang terkena konflik dan perang.

Hanya ada kekakuan hati dan rasionalisme buta yang ditunjukkan hanya demi sebuah eksistensi. Tak ada manfaat bagi sesama, hanya bermanfaat bagi jiwa pribadinya saja. Itulah kenyataan yang kita hadapi belakangan ini.

Anehnya, virus ini mulai menjangkiti sekelompok orang di tanah air. Mengatasnamakan negara yang berbasis agama dan siap menuju ke Ma’rokah (Suriah) membuat beberapa orang tertarik dan bergabung.

Tanpa keahlian perang; yang ada hanya tekat atau nekat. Mereka berangkat ke sana dengan dalih menolong penduduk di sana. Padahal mereka hanya memperjuangkan sebuah ayat dengan penafsiran mereka sendiri. Kata nasionalisme digantikan dengan kata “cinta agama atau mati”.

Sihir terorisme yang mengatasnamakan agama kian menjadi. Bagi mereka yang tidak bisa berangkat ke sana, lalu melakukan teror di dalam negeri. Tentu semua masih mengingat teror di MH Thamrin atau penusukan anggota polisi di Tangerang baru-baru ini.

Mereka tidak segan mengangkat senjata. Meneror manusia tak berdosa yang baru melepas lelah dengan secangkir kopi di tangan mereka. Inikah yang mereka namakan Jihad?

Bagi mereka agama dan nasionalisme adalah dua hal yang berbeda. Agama sebagai kekuatan utama mereka letakkan sebagai panji-panji perjuangan. Semua yang ada dalam wilayahnya harus tunduk.

Tidak ada toleransi bagi yang tidak sependapat dengan mereka. Sedangkan nasionalisme hanyalah kepanjangan tangan dari kekafiran. Inilah yang berusaha mereka perangi sampai saat ini. Memerangi kekafiran sama saja menegakkan Tuhan beserta hukumnya.

Logika semacam inilah yang kita lihat saat ini. Nasionalisme mulai pudar dan digantikan sebuah paham baru yang malah menihilkan rasa kesatuan.

Bagi mereka agama hanya satu, bangsa hanya satu, dan pluralisme itu kafir. Sangat kontras dengan apa yang diperlihatkan kanjeng Nabi sampai pejuang kita terdahulu. Artinya agama saja tanpa rasa kesatuan justru melahirkan konflik baru.

Menjaga Persaudaraan Bangsa

Melihat peliknya pemahaman agama dan nasionalisme, saya jadi teringat dengan sebuah buku pelajaran agama saat SMK. Buku itu salah satunya membahas tentang cinta tanah air dan menyebut suatu petuah dari kanjeng Nabi Muhammad SAW : “Hubbul wathoni minal iman” (membela tanah air adalah sebagian dari iman).

Artinya Kanjeng Nabi SAW sendiri mengajarkan bahwa tanah air sendiri layak untuk diperjuangkan, bukan hanya agama. Bahkan membela tanah air sendiri adalah bagian dari pilar agama itu sendiri.

Tidak salah orang menyerukan nasionalisme bangsa karena itu juga bagian dari membela tanah air. Belajar dari konflik di Timur Tengah akhir-akhir ini semakin membuka mata kita, bahwa agama saja, suku saja, atau ras saja tidak cukup untuk menguatkan sebuah negara. Negara kuat karena ada rasa saling memiliki. Itulah yang menjadi cita-cita pendiri bangsa.

Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj yang saya pernah baca di salah satu koran tanah air mengatakan bahwa ukhuwah wathoniyah (persaudaraan bangsa) lebih penting daripada ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam). Ini dikarenakan tidak mungkin umat Islam dapat dengan mudah melaksanakan ibadah tanpa adanya negara.

Ketika Anda melihat film Sang Kyai, Anda pasti melihat satu scene di mana Sang Hadratussyaikh ditanya tentang berjihad. Bagaimana berjihad atas nama negara, bukan untuk Allah dan bukan pula untuk agama?

Pertanyaan yang konon katanya ditanyakan oleh Presiden RI, Soekarno melalui salah satu bawahannya tersebutlah yang menjadi cikal bakal Resolusi Jihad NU. Resolusi Jihad ini dibuat juga dalam rangka agar para santri dan masyarakat umum terutama umat Islam tidak ragu dalam mengambil keputusan perang.

Perang di era sekarang telah berubah. Jika dahulu kita berperang melawan penjajah, saat ini kita berperang melawan segala bentuk terorisme. Pada dasarnya sama, namun kita seolah melawan saudara se-iman.

Namun tentunya kita juga ingat bahwa Islam tidak mengajarkan bunuh diri, apalagi membantai manusia yang tidak berdosa, anak-anak dan wanita.

Kita saat ini melawan mereka bukan dalam rangka Islam versus Islam. Tapi dalam rangka mempertahankan keutuhan NKRI yang dikehendaki oleh seluruh anak bangsa, wa bil khusus para Kyai dan Alim Ulama’ terdahulu.

Merekalah yang pertama kali mengajarkan arti jihad dan nasionalisme yang sesungguhnya dengan tetap berpegang teguh kepada sendi-sendi agama.

 

Selamat Hari Santri Nasional!

Tinggalkan komentar