Politik Mendompleng

Siapa yang tak tertarik dengan undangan makan malam di Istana Presiden? Gara-gara itu pula, belakangan ini, citra mahasiswa tak sebaik citra sebelum-sebelumnya. Pasalnya, isu seputar diundangngnya perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM-SI) tak membawa gebrakan yang nyata. Hal ini sontak membuat sebagian besar rakyat Indonesia kecewa. Terbukti, ramainya sejumlah media sosial mengecam keras acara makan malam di Istana Negara tersebut.

Di antara kecaman keras tersebut, berbagai kecaman dilontarkan seperti tuduhan hilangnya idealis mahasiswa, “pelacur intelektual” hingga kado pahit kebangkitan nasional. Ada pula yang menganggap setelah beredarnya foto “narsis” mahasiswa BEM-SI bersama Presiden Joko Widodo sebagai wujud dari ketidakberdayaan mahasiswa melawan penguasa.

Sumber www.digitaltrend.com
Sumber www.digitaltrend.com

Lewat akun media sosialnya, salah satu perwakilan BEM-SI pun memberikan penjelasan terkait isu yang berkembang soal makan malam di Istana Presiden. Bagi Andi Aulia Rahman, ketua BEM se-Universitas Indonesia yang juga mewakili BEM se-Indonesia menuturkan pertemuan (Selasa, 19/5/2015) merupakan salah satu langkah perjuangan mahasiswa. Langkah tersebut diambil sebagai jalur advokasi guna menyampaikan langsung aspirasi dan keresahan rakyat. Ia juga menegaskan bahwa apa yang dilakukannya masih dalam koridor gerakan moral dan intelektual.

Politik Mendompleng
Pada isu ini, penulis tak mau terjebak dalam kubangan pembelaan mana yang salah dan mana yang benar. Namun seperti diketahui bersama, bahwa identitas mahasiswa yang mutlak dimiliki adalah idealis. Sikap idealis yang tergadaikan tentu sangat melukai nurani rakyat. Terlebih, bagi aktivis-aktivis lain yang berjuang di akar rumput. Mau tidak mau, prejudice mahasiswa menjadi buruk karena tidak sesuai dengan budaya seorang mahasiswa bergelar aktivis.

Sudah menjadi rahasisa umum bahwa mahasiswa dalam menjalankan roda perpolitikannya mempunyai hubungan erat dengan seniornya. Bagaimanapun juga, apabila seniornya menjadi politikus ataupun pengurus partai yang memayunginya tentu sarana dan prasarana gerakan mahasiswa akan disupport. Mau tidak mau, pegkaderan pun akan terjebak pada ideologi partai pen-support yang diperjuangkan, bahkan melebih-lebihkkan sekaligus pembenaran tanpa dasar terhadap senior-seniornya.

Maka dari itu, tak dapat disangkal terjadinya pertemuan antara presiden dengan perwakilan BEM-SI sudah terjadi negosiasi sebelumnya. Penulis beranggapan kemungkinan negosiasi tersebut melalui berbagai cara yang kasat mata. Alhasil, pertemuan tersebut tak lebih dari sekedar seremonial semata mengingat jasa-jasa yang diberikan selama perjalanan begitu menggiurkan.

Adanya politik mendompleng bukan saja berdampak hilangnya kritis, namun juga mematahkan sendi-sendi idealis yang selama ini ditanamkan. Adanya foto bersama sepertinya tidak perlu dilakukan mengingat tujuan awal mahasiswa adalah perjuangan. Penulis akui bahwa beredarnya foto bersama yang tersebar di berbagai media massa baik cetak maupun online cukup memberikan kesan negatif. Selain menciderai kewibawaan mahasiswa, tentu juga berpengaruh terhadap menipisnya daya tawar mahasiswa yang sekian lama dijuluki sebagai agen perubahan.

Adanya politik mendompleng yang dialami aktivis mahasiswa juga menghambat bersatunya gerakan mahasiswa. Fenomena aktivis mendompleng bukan saja hanya mempengaruhi apa kepentingan dibalik aksi, namun juga lunturnya kebersamaan satu suara antar perguruan tinggi mahasiswa. Sebagai contoh, aksi yang rencananya akan dilaksanakan tanggal 21 Mei lalu terbukti hanya isapan jempol. Aktivis terpecah dan mengelompok sesuai kepentingannya masing-masing.

Mengikis Kemerdekaan Berpikir
Hal yang tak kalah menariknya soal terbelenggunya kemerdekaan tuk berpikir. Kita tidak bisa berbicara tidak untuk memungkiri bahwa apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi sikap, tutur kata dan tingkah laku terhadap jasa kebaikan orang lain. Dalam hal ini, pihak presiden kepada mahasiswa tentunya. Meskipun tak terbukti semua menerima hidangan makan malam, namun secara mental sudah dihantam. Berbeda dengan upaya BEM yang sedari awal menolak makan malam, tentu kejadiannya akan berbeda. Rasa ewuh pekewuh tak akan terjadi.

Di sinilah arti penting kebebasan bagi mahasiswa. Tanpa perjuangan dan pengorbanan tentu tak akan memberikan kepercayaan. Ada baiknya bila suatu saat nanti ada undangan lagi, penulis menyarankan agar pihak mahasiswa yang terlebih dahulu memberikan hidangan makan malam kepada sang presiden. Dengan begitu, semoga presiden dapat terketuk hati agar lebih mengerti bahwa tujuan mahasiswa bukanlah mencari makan. Lebih dari itu, mahasiswa ingin turut berjuang mengubah beberapa derajat pangkat bangsa Indonesia meskipun hanya bertambah seperseribu.

Tinggalkan komentar