Mengenang Tuturan Warisan Pembredelan

  • Joseph Sebastian Nazareno Silaen
  • Lulusan dari Univeritas Negeri Yogyakarta, Jurusan sejarah
  • Menyukai Dunia Sejarah

Film R.A. Kartini buatan 1983 menjadi awal, film ini mendapatkan sumpah serapah dari sebuah bioskop. Film buah karya Sumanjaya ini memang menuai pujian dan serapahan dari penikmat film.

Pada suatu sisi, film ini mampu membentuk karakter Kartini yang begitu manusiawi dengan kedalaman pemikirannya. Bahkan, diskusi dengan suaminya bisa dikatakan Best Moment dibandingkan film kepahlawanan yang kebanyakan berbau maskulinitas.

Pembredelan
pixabay.com

Ketika stigma negatif muncul, terlihat bagaimana sosok Kartini begitu frontal bendiri sendiri pada pemikirannya. Dan “mungkin”, pemikirannya dipandang melecehkan agamanya. Bisa dikatakan, di luar Jakarta film ini banyak menuai pandangan negatif di daerah pantura.

Bahkan, Anda bisa mengatakan kreativitas sineas film masih didominasi masyarakat yang “suka-suka” menilai film. Lebih dari sekedar itu, seorang sutradara level Teguh Karya harus pintar meramu film untuk dilempar kemasyarakat.

Berbicara film, setelah Soeharto duduk sebagai Presiden, maka awal dari kemajuan film menjadi utama. Sekilas film kita pada masa “Orde Baru” terbagi pada dua hal; pertama meraih pasar tinggi; kedua adalah mengembangkan ideologis.

Pada Orde Barulah, di mana banyak artis film mulai banyak di Indonesia termasuk kerja sama dengan sejumlah negara. Pada kondisi yang sama, artis dari luar negeri yang keturunan Indonesia mulai mendapatkan tempat.

Frans Tumbuan, Rima Melati, atau Barry Prima adalah beberapa artis yang mendapatkan porsi banyak  setelah Orde Baru berdiri. Jika Frans Tumbuan adalah pemain film drama, Barry Prima lebih berpesan sebagai jagoan film yang hebat dari berbagai judul film laga.

Judul-judul yang eksis selama rentan waktu 1970an- sampai 1990an awal, Anda bisa menggeneralisasi film ini masuk ke dalam jenisnya. Film yang laga (masuk ke pendekar dan martial arts), film drama, film perjuangan (dalam film ini adalah berbicara pahlawan ketentaraan), film hantu, dan film judul “berpanas-panasan”.

Karya Bisa Ditentang

 “Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Demikianlah pesan dalam beberapa film Warkop di penghujung film. Novel berjudul “Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi’ yang terbit pada 1995 karya Seno Gumira Ajidarmamenjadi contoh salah satunya.

Melihat sejarang larang meralang, peningkatan larangan justru meningkat pada negara Indonesia sudah mulai berdiri. Pada masa Orde Lama, ada film “Pagar Kawat Berduri” yang dicekal pada tahun 1961.

Film ini bercerita sederhana mengambil latar belakang 1945-1950-an. Parman, seorang pribumi mempunyai kawan bernama Koenen seoarang pejabat Belanda.

Ketika Indonesia merdeka, dimulailah Revolusi Fisik. Parman dituduh sebagai Pengkhianat karena memiliki teman orang Belanda. Ketika itu, Toto dan Herman akan dibunuh, sebab Parman berusaha membujuk Koenen memberikan informasi.

Bujukan antar teman berhasil, Parman yang tahu rencana militer Belanda langsung berinisiatif meloloskan temannya. Dengan berbekal catut untuk memutus pagar duri kawat, Parman menyuruh Herman dan Toto kabur sebelum pasukan Belanda menangkap mereka.

Dalam pelarian tersebut, Toto ditembak sedangkan Herman lolos. Pada akhir film itu, Parman dijemput dan para pejuang mengetahui bahwa Parman bukan pengkhianat.

Film “Pagar Kawat Berduri” memang sempat dicekal oleh PKI yang dengan berbagai alasan. Pada saat itu, Soekarno yang memutuskan menyelamatkan film ini walaupun tidak diputar di Bioskop.

Dalam ranah tulis menulis, bahkan sosok seorang Mohammad Hatta pernah mengalami pelarangan buku beredar. Tepatnya pada tahun 1960, ketika itulah untuk mengkritik terbitlah buku tulisan Mohammad Hatta berjudul Demokrasi kita.

Pada suatu sisi, kondisi ironis yang ditulis seorang yang punya porsi besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pada sisi yang lain, pelarangan atau biasa disebut bredel mulai menjadi senjata pasca kemerdekaan paling ampuh.

Sosok Pramoedya Anata Toer beberapa kali dibredel dalam karya sastra, bahkan berbicara penulis secara total. Pembredelan karya Pramoedya “mungkin” menjadi yang pertama dilarangnya karya di atas negerinya sendiri, oleh pemerintah negerinya.

Buku berjudul “Pemburuan” menjadi karya pertama yang diberdel karena termuat mengenai pandangan komunisme. Lebih dari itu, dibalik dia yang sering membela Soekarno, dia pun pernah dipenjarakan karena terlalu mengkritik pemerintah.

Bahkan pada zaman Soekarno, hal yang berbau Barat menjadi musuh yang utama. Film Barat bahkan sempat menjadi produk terlarang. Alasan Soekarno memang memiliki arti yang lebih politis dibandingkan berbau konsep budaya.

Saya malah mencermati, bahwa kebijakan ini akan terjadi pada bangsa yang mengalami postcolonialism. Baik dalam sistem politik maupun dalam kehidupan masyarakat bisa menghadirkan situasi yang cukup sama.

Pada masa kolonial, kita melihat bahwa banyak sekali media maupun penulis yang ditangkap karena tuduhan menyebarkan berita palsu atau sebagainya. Gerakan politik dari sejumlah orang yang terpelajar pun tidak menjadi daftar orang diawasi.

Pemerintah Kolonial sampai membuat unit kerja kepolisian untuk menyelidiki aktivitas organisasi politik maupun non politik pada 1920-an. Sebuah unit yang bertugas dalam menyelidiki dan pengintaian orang-orang yang menjadi target dalam operasi.

Dalam pelaksanaan memang bisa dikatakan sebagai unit yang menjadi tumpuan pemerintah dalam mengontrol segala organisasi. Kebanyakan tuduhan-tuduhan yang menjadi beban kepada pemimpin organisasi dihasilkan dari operasi yang dijalankan unit ini.

Orang-orang yang terlibat bukan orang yang sembarang, baik orang Belanda, Eropa, atau Pribumi sekalipun harus memiliki kualitas dalam mengamati dan kejelian mencari informasi. Terlepas dari pada itu, masih ada sekumpulan pribumi yang masih punya nyali besar dalam melakukan sabotase data dengan menimalisir pelanggaran yang dilakukan organisasi.

Dari semua organisasi zaman pergerakan yang memiliki kasus serupa dengan Orde Lama adalah kasus Raden Mas Tirto Adhisuryo. Bangsawan Jawa ini ikut dalam majunya Medan Prijaji, sebuah surat kabar yang cukup berani di masa pergerakan.

Didirikan pada 1907, Medan Prijaji menjadi sebuah media yang melawan sesuatu yang lumrah dikatakan umum. Media pertama milik Pribumi sekaligus anggotanya.

Ketika pendidikan modern masih merupakan sesuatu yang mewah, maka kaum terdidik adalah golongan mapan dalam segi sosial.  Pada msa pergerakan, media ini awalnya dimiliki kaum Eropa, namun dengan terbitnya media seperti Medan Prijaji menjadi sesuatu pembeda.

Akibat sikap yang terlalu menekan setiap kebijakan politik diambil pemerintah, Tirto Adhisoerjo ditangkap lalu dihadapkan pada pengadilan. Medan Prijaji mendapatkan tekanan cukup besar akhirnya gulung tikar pada Agustus 1912.

Perlu diketahui, Medan Prijaji merupakan media yang cukup mapan pada masanya, pada rentan waktu 1909-1912, pelanggan surat kabar ini mencapai angka 2000 pembaca.

pada kondisi yang sama, pada rentan 1950-1967 merupakan posisi sulit dalam memandang kebebasan berpendapat. Suhu di pemerintahan saja bisa dikatakan saling tidak mempercayai. Kabinet beserta pimpinan malah silih berganti.

Beberapa orang yang mengkritisi pemerintahan harus mempertanggung jawabkan dalam penjara. Sosok Hatta, Syahrir, bahkan Mocthar Lubis mendapatkan pembatasan hak (walaupun pelaksanaannya berbeda).

Karya dan Dampak Kekuasaan Soeharto

Perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto menjadi awal yang baru dalam situasi saling menghargai karya di Indonesia. Bisa dikatakan arus karya luar dan dalam negeri mulai mendapatkan tempat.

Film-film luar yang sempat dilarang masuk ke Indonesia mulai muncul ke bioskop-bioskop Indonesia. Pada masa Orde Baru, film Indonesia mulai berkembang dalam skala jumlah maupun genre. Film-film tersebut mulai dari horor, asmara, kepahlawanan, silar, fiksi sampai humor mulai ada dibioskop.

Walaupun secara kualitas peralatan dan pendanaan tidak segila yang terjadi Hongkong, lebih-lebih Amerika namun menilik ucapan Willy Dozan, aktor laga dalam wawancara suatu acara TV bahwa di Hongkong dapat memiliki dana sebesar 1 milliar rupiah untuk membuat sebuah karya.

Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, malahan menghabiskan 300 juta saja untuk film laga saja sudah cukup mewah. Berbicara efek, Film Indonesia pada 1970-1980-an memiliki teknologi yang cukup baik pda zamannya. Mulai dari efek gambar bayangan angin atau cahaya api di pukulan tenaga dalam sampai keadaan alam.

Tidak semua film dapat berkembang dengan baik, bahkan film dari luar saja harus ikut dengan sejumlah aturan yang dibuat. Dalam posisi ini Departemen Penerangan menjadi alat  dalam penilaian kualitas segala karya.

Semua karya baik film,buku, sampai media harus melalui dinas yang kerja paling “wah” selama orde baru. Pada tahun 1982 film yang dibintangi artis senior macam Mel Gibson dilarang tampil baik Bioskop maupun Televisi. Film yang berjudul “The Year of Living Dangerously”.

Adapun film yang mengambil latar Indonesia atas situasi politik Indonesia pasca G30S, sangat berbeda dengan situasi yang ditulis sejarawan sipil maupun militer saat itu. Bahkan berbicara dalam film ada “Pengkhianatan G 30 S/PKI” yang menjadi citra film yang memiliki latar belakang sejarah.

Uniknya, film-film berlatar belakang sejarah, baik dalam peristiwa yang terjadi maupun pembabakan yang berkenaan dengan sejarah lebih mengedepankan kekuataan militer.

Bahkan dalam kisah pendekar silat sekalipun, Anda akan menemukan tokoh utama tampil begitu kuatnya. Berbicara film yang sedikit adengan perang, namun memiliki tema Sejarah sangat sedikit. Selain R.A. Kartini, ada pula film November 1828 yang bisa dikatakan film berat karena lebih bermain dialog yang waktunya cukup lama.

Bahkan, seorang teman saya mengatakan, bahwa film November 1828 adalah film yang menjelaskan bahwa jagoan harus dtang sedikit terlambat untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Dibalik euphoria, ada sekulumit kisah yang menarik, bahwa pada pemerintahan Soeharto, banyak sineas film dapat berkembang. Pada situasi yang sama ada pemabatasan yang begitu kuat. Dalam table dibawah adalah contoh film yang dilarang atau diminta diganti dengan berbagai alasan.

 

FIlM TAHUN ALASAN
Tiada Jalan Lain 1972 Karena produsernya, Robby Tjahjadi,terlibat dalam kasus penyelundupan mobil mewah .
Romusha 1972 Dianggap dapat mengganggu hubungan dengan Jepang.
Inem Pelayan Seksi 1976 Diganti dari judul semula Inem Babu Seksi
Wasdri 1977 Skenarionya dianggap bisa menyinggung pejabat Kejaksaan Agung, karena Wasdri, buruh angkut di Pasar Senen, Jakarta, hanya diberi upah oleh seorang istri jaksa hanya separuh dari yang biasanya ia terima.
Yang Muda Yang Bercinta 1977 Dianggap mengakomodasi teori revolusi dan kontradiksi dari paham komunis.
Bung Kecil 1978 Isinya tentang orang muda yang melawan feodalisme.
Bandot Tua 1978  Dipangkas habis-habisan dan diganti judulnya menjadi Cinta Biru, karena kata “Bandot” dinilai bermakna negatif.
Jurut Maut 1978 Tidak jelas
Kuda-kuda Binal 1978 Tidak jelas
Petualangan-petualangan 1978 judulnya diharuskan diubah dari “Koruptor, Koruptor”. Film ini mengisahkan berbagai bentuk korupsi besar-besaran.
The Year of Living Dangerously 1978 Film Australia tentang Jakarta di bawah Orde Lama pada tahun 1965.
Buah Hati Mama 1983 memuat dialog tentang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Bagian ini digunting habis.
Tinggal Landas 1984 Sutradaranya, Sophan Sophiaan, diminta menambahkan kata Buat Kekasih menjadi Tinggal Landas buat Kekasih karena saat itu posisi Indonesia tinggal lepas landas.
Pembalasan Ratu Laut Selatan 1988 Karena eksploitasi seks.

 

Kanan Kiri OK 1988 Diharuskan berganti judul dari Kiri Kanan OK karena kata ‘Kiri’ memberi kesan PKI.
Nyoman dan Presiden 1989 Diminta agar judulnya diubah menjadi Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, atau Nyoman dan Indonesia. Film ini akhirnya berjudul Nyoman Cinta Merah Putih

 

Sekiranya dalam wilayah film dapat ditemukan kasus pembatalan dan usaha turut andil dalam proses kreatif lumayann banyak (walaupun cuma judul). Sedangkan dalam ranag buku serta surat kabar, orde baru menempati urusan pengawasan pada tingkat cukup tinggi.

Dalam bukunya berjudul Pers di Masa Orde Baru. Buku yang berasal dari terjemahan judul aslinya, The Press in New Order, merupakan hasil penelitian David T. Hill terhadap pertumbuhan pers Indonesia 1991-1994 di puncak kekuasaan Orde Baru. David T. Hill menjelaskan bahwa Soeharto menjadi sosok yang luar biasa dalam media pasca tahun 1965.

“Begitu naik ke tampuk kekuasaan di awal pemberontakan 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto dan Orde Baru yang ia proklamirkan sendiri langsung membelenggu surat-surat kabar yang ada di negeri ini.

Dalam upaya pemberantasan yang tak ada tandingannya di Negara ini, nyaris sepertiga dari seluruh surat kabar ditutup.” Begitu kutipan dari tulisan wartawan ini, dalam pelaksanaanya memiliki pelaksanan yang sama malah cendrung langsung.

Di zaman orde baru sistem pers di Indonesia mengalami pengekangan dari pemerintah, atau sering disebut sistem pers otoritarian. Pada masa ini media yang tidak mampu bekerja sama dengan pemerintahan Soeharto akan ditarik izin penerbitannya atau akan dilakukan pembredelan.

Peristiwa pengekangan ini diawali dengan Peristiwa Malari pada 15 Januari 1974, yang mengakibatkan kerusuhan. Pemerintah beranggapan pers turut bertanggung jawab atas peristiwa ini karena mereka jugalah yang memanaskan situasi politik lewat pemberitaan mereka.

karena peristiwa itu, 12 surat kabar dibredel, yaitu:  Harian Nusantara, Harian KAMI, Harian Indonesia Raya, Harian Abadi, Harian The Jakarta Times, Harian Pedoman, Harian Suluh Berita, Minggua Wenang, Mingguan Pemuda Indonesia, Majalah Ekspres, Mingguan Mahasiswa Indonesia dan Mingguan Indonesia Pos. Sejak saat itulah, media sangat dikontrol ketat oleh pemerintah. Media yang dianggap “melawan” pasti menjadi korban pembredelan kala itu.

Pengekangan ini bertentangan dengan fungsi dari pers, yang juga disebut-sebut sebagai tonggak demokrasi. Pers yang menjadi menjadi sarana komunikasi antara rakyat dan pemerintah, berubah perannya menjadi corong bagi pemerintah.

Contoh paling nyata adalah TVRI yang menjadi saluran televisi pemerintah, yang mana selalu menyiarkan kebaikan pemerintah tanpa mampu mengkritisi kinerjanya. Selain pembredelan, pengekangan pers juga dilakukan dengan diberlakukannya SIUPP ( Surat Izin Untuk Penerbitan Pers) dan dibentuknya Mentri Penerangan yang diketuai oleh Harmoko.

Pada sisi lain pengekangan ini tak menyurutkan semangat pers kala itu untu melakukan kontrol pada pemerintah. Adapun beberapa media yang akhirnya menjadi korban pembredelan karena dianggap telah melakukan ‘pembangkangan’ adalah Tempo, deTik dan Editor.

Media tersebut mengalami pembredelan, karena telah melaporkan investigasi mereka tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat negara pada saat itu. Peristiwa pembredelan tiga media tersebut seakan menjadi peringatan bagi media massa lainnya untuk bersikap dalam pemberitaannya. Pembredelan media adalah salah satu jalan untuk menutup sisi lain sebuah rezim kala itu. Media yang tidak sesuai, pasti akan dilakukan pembredelan dengan cara apapun.

Pembredelan yang dilakukan pada 21 Juni 1994 ini, menjadi penanda bahwa kuasa pemerintah atas pers sangatlah besar.Namun setelah jatuhnya Orde Baru, kekuatan pers kembali menguat, bahkan cenderung bebas.

Hal tersebut terjadi karena tidak ada lagi pengekangan media oleh pemerintah. Hal terssebut tertuang pada Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999. Kasus yang paling besar saat Orde Baru berkuasa adalah pebatasan buku.

Dalam lebih dari 30 tahun memimpin Republik ini, pelaranga, pembakaran, dan msih banyak lagi kasus lainnya menjadi warna dalam Orde baru. Menurut Tempo ada sekitar 2000 judul buku yang dibatasi. Baik karena konten judul maupun tulisan menjadi permasalahan yang akan diungkit. S

edangkan menilik ke Belanda, mereka mulai membuka diri, bahkan seorang warga Belanda yang ditemui Wartawan RCTI pada April 2006 di sebuah Pasar Malam Seni. Ketika ditanya apa karya Pramoedya Anata Toer dilarang di sini? dengan kalimat Bahasa Indonseia dengan Fasih dia menjawab,  “Ooo, di negeri Belanda tidak ada buku yang dilarang ” .

Tidak ada catatan yang pasti, berapa judul yang dimusnahkan pada periode 1 Oktober hingga 6 Desember 1965 setelah meletusnya Peristiwa G30S. Karena semua dokumentasi buku telah musnah. Sebagian besar dibakar habis.

Baik oleh penguasa, maupun oleh pemiliknya sendiri yang ketakutan ketahuan memiliki atau menyimpannya. Tapi diperkirakan lebih dari 500 judul buku telah “dinyatakan” sebagai terlarang. Baik secara langsung, maupun dengan “hanya” menyebutkan nama sang pengarang saja.

Jumlah buku terlarang kian membengkak setelah tak lama kemudian, pada Maret 1967, Orde Baru mengeluarkan sebuah kebijakan yang merupakan tindak lanjut upaya penumpasan semua pengaruh G30S, khususnya di bidang mental ideologis.

Saat itu, Tim Pelaksana/Pengawasan Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dan Marxisme-Mao Tse Tungisme mengeluarkan sederetan daftar buku dan majalah dalam dan luar negeri. Daftar tersebut melibatkan ratusan buku yang terlarang untuk disimpan, diedarkan dan diperdagangkan di wilayah hukum DKI Jaya. Total yang masuk dalam daftar berjumlah 174 judul.

Karya sastra hanya berjumlah 13 judul, termasuk di antaranya beberapa karya Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Rekor ini secara perlahan, tapi pasti, terus menanjak. Baru pada dekade 1980-an grafik menunjuk kurva yang agak mendatar, yaitu rata-rata ada 14 buku yang dilarang per tahun. Rekor 1980-an hanya disamai oleh tahun 1986. Pada tahun itu ada 26 buku dinyatakan terlarang.

Agaknya sejarah merupakan wilayah yang rawan untuk selalu dibatasi, meski itu berada dalam ruang akademis. Antara lain Di Bawah Lentera Merah yang merupakan tesis sarjana muda Soe Hok Gie pada Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

Juga buku Tan Malaka yang merupakan disertasi doktor ahli sejarah Harrye Poeze yang kini menjabat sebagai Direktur KITLV di Belanda.

Sejahrawan, Sastrawan, Sineas dan Pembredelan

Reformasi menjadi awal keinginan sat Orde Baru sudah jatuh, dengan membuka lembaran baru bagi Bangsa Indonesia.

Usaha memperbaiki diri atas batasan yang dahulu kembali dibuka selebar-lebarnya. Tempo sebagai media yang dahulu dikengkang, kini berdiri kembali. Bahkan sekarang menjadi salahsatu media yang besar dalam skala Indonesia. Namun apa benar tujuan-tujuan demokrasi menjadi  diselesaikan.

Menilik kembali mulai 1998-2016, banyak kasus yang menguncang demokrasi kita. Bahkan kita masih mendebatkan segala yang dinilai keteteran dimasa sekarang. Masyarakat lalu memilih pemerintahan yang lama sebagai solusi yang paling baik untuk menyelesaikanya.

Terutama berbicara hak cipta menjadi masalah tersendiri. Kemarin saya mendengar kasus Simposium Tragedi 1965 berakhir dengan gondok-gondok dibanyak pihak. Belum lagi kasus ini selesai ada kasus bredel dari pihak Kampus Universitas Achmad Dahlan Yogyakarta terhadapa Pers Mahasiswanya bernama Poros.

Entah karena pemberitaan yang dinilai tidak menguntungkan kampus. Maka ada tindakan sepihak yang dilakukan kampus. Kasus pemeberdelan media mahasiswa menjadi warna baru dalam pendidikan tingkat tinggi.

Masalah walaupun kasus Poros atau Simposium, memancing dukungan dari pihak yang dipandang baik. Tapi jika belum ada kejelasan tentang siapa penampung aspirasi yang sekian banyak akan sia-sia saja.

Dalam seminggu terakhir, tentara mulai gerah dengan situasi ini, dengan menilik kembali TAP MPRS XXV/1966 menjadi faktor utama. Lagi-lagi buku yang bertema PKI yang menjadi subjek buku dilarang terbit. Bahkan dalam tingkat film atau diskusi menjadi larangan yang masif.

Yogykarta pada 2015 saja, 3 kampus besar menjadi sasaran UIN Sunan Kalijaga, UGM, dan Universitas Sanata Dharma pernah diminta menghentikan film yang berjudul Senyap. Film yang menceritakan nasib buruk orangtua yang renta dan mengingat anaknya yang menjadi korban kasus 1965.

Dalam ranah tulis-menulis, Buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa belum lagi buku Lekra tak membakar buku karya Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri malah tidak diterima di toko buku besar pada akhirnya dijawab surat vonis pelarangan dari Pemerintah No.141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009.

Tapi toh Bredel dan larang melarang keluar buku sudah harus keluar dari sifat kita, dengan keputusan MK yang membatalkan UU No 4/PNPS/1963, sejumlah undang-undang yang melarang penyebaran paham komunis malah tembang pilih.

Karena kebanyakan dugaan yang dikenai malah didasarkan penokohan atau memang ilmu yang memimiliki persingungan. Sebagai contoh seorang yang menulis tugas Pramoedya dengan Buku berjudul Sang Pemula.

Dengan penelusuran Pramoedya yang dekat dengan ini dan itu maka bisa saja duga terjadi. Bahkan “mungkin” menulis resensi tentang Pramoedya atau sejarah buruh Kereta Api tahun 1920-an menjadi sebuah yang dilarang padahal hanya menulis karya sejarah.

Terakhir, menilik kembali amanat UUD 1945, Negara memang selayaknya bertugas menjamin hak berpendapat, mendapatkan informasi, serta mengembangkan diri.

Tinggalkan komentar