Membersihkan Dosa-dosa Berita Hoax

Tulisan ini sebenarnya menyambung tulisan saya sebelumnya tentang fenomena numpang iklan. Hanya yang ini lebih berkonsentrasi ke pemberitaan online yang akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Tidak disangka pesan hoax ini semakin tidak terkendali dan bisa merusak akal sehat kita.

Berita hoax
robi gandama pict

Merusak akal sehat? Apakah saya seekstrem itu menganalogikan berita hoax dengan konten seksual misalnya? Bagi yang bisa memahami dampak dari konstelasi media saya pikir tahu apa yang saya maksudkan. Saya pikir dengan perkembangan teknologi yang pesat di tanah air wajar analogi tersebut terlontar.

Hal ini sayangnya ditambah dengan tingkat membaca di masyarakat yang terbilang minim. Tak heran jika di berbagai survey yang digelar baik dalam maupun luar negeri, menobatkan Indonesia sebagai negara yang punya selera chatting tertinggi di dunia -kalau tidak mau dikatakan bawel/cerewet-.

Memang kita bisa berbangga sebagai negara dengan tingkat adaptasi teknologi salah satu yang paling tinggi di dunia. Namun hal ini tidak diimbangi dengan literasi dan etika.

Karena ketidakseimbangan teknologi dan pendidikan inilah yang menjadikan berita hoax menyebar dengan cepat layaknya virus komputer.

Memang, masyarakat tidak bersalah dalam hal ini mengingat mereka hanya membaca, lalu karena dianggap bagus lalu menyebarkannya. Namun, banyak juga yang memang menyebarkannya tanpa pikir panjang karena dianggap menarik dan menganggap berita tersebut benar adanya.

Kondisi politik dalam negeri kita tercinta juga bisa dikatakan agak labil akhir-akhir ini. Pertarungan ekonomi politik medianya juga sangat terasa. Sayangnya beberapa oknum lalu meniru gaya bertarung media berbasis berita (politik) ini ke dalam perspektif lain.

Jadilah media sekarang mengemas fakta dan opini secara tidak berimbang. Antara media yang reliable dan yang palsu hampir tidak bisa dibedakan karena faktor ini.

Adanya sejumlah kepentingan baik politik, agama maupun material inilah yang dimanfaatkan oleh sekumpulan oknum untuk menyebarkan berita yang lebih dari kata “sensasional”. Logika berita gosip ala entertainment yang menghibur dan penuh sensasi, dipadukan kasus politik dengan agama sebagai bumbu utamanya.

Kemudian menyasar seseorang yang dianggap musuh ataupun lawan dengan memutarbalikkan fakta dan mulai mempengaruhi opini publik.

Siapa dan Apa Dampaknya?

Saya pernah berdiskusi dengan salah satu saudara sepupu saya tentang hal ini. Kebetulan saudara sepupu saya ini berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta berorientasi IT di Yogyakarta. Jurusannya tidak jauh-jauh dari ranah IT itu.

Pernah dia dengan salah seorang dosennya menguji salah satu situs pemberitaan berbasis agama. Menguji dalam hal ini yang saya maksudkan adalah ingin melihat siapa provider dan pembuat situsnya.

Singkat cerita sepupu saya dan dosennya berhasil melacak provider dan pembuat situsnya. Kejutan pun terjadi, ada sebuah fakta mengejutkan. Pemilik website penyebar berita hoax tersebut ternyata juga memiliki website lain berupa situs judi online!. Saya kaget mendengarnya, ternyata tidak seperti yang saya kira sebelumnya. Namun itu belum semuanya.

Baru-baru ini saya melihat berita VOA Indonesia yang sering disiarkan salah satu televisi swasta nasional. Di Amerika Serikat saja, ada seseorang yang baru baru ini tertangkap polisi setempat karena memiliki ratusan situs berita hoax.

Ia berhasil mengumpulkan $20.000 sampai $40.000 per bulan atau setara 2 miliar sampai 4 miliar sebulan hanya dari pemberitaan hoax tersebut.

Luar biasa pikir saya. Cerdas sekali orang sekarang memanfaatkan peluang bahkan dari yang kotor sekalipun. Ternyata ranah komodifikasi yang pernah saya pelajari lebih luas lagi sekarang pemaknaannya.

Bukan sekedar penyimpangan makna yang terjadi, melainkan penyimpangan etika dan keuntungan yang sangat amoral dan tidak wajar. Berita hoax bukan hanya untuk menyerang pihak yang tidak disukai, namun juga digunakan untuk meraih keuntungan.

Orang yang membuat berita hoax ini sepertinya paham betul seluk beluk pembuatan website. Bisa memanfaatkan situasi dan kondisi apapun untuk bergerak.

Mengerti masalah IT, namun nihil dalam pengetahuan kode etik maupun dampaknya. Ideologi yang ada dalam pikirannya adalah “menyerang dan uang”. Tidak ada lagi selain kedua hal itu.

Media memiliki empat fungsi, di antaranya informasi, hiburan, edukasi dan kontrol sosial. Dua faktor terakhir adalah yang tidak dimiliki berita hoax. Sama sekali tidak ada nilai edukasi yang bisa dijadikan pembelajaran bagi masyarakat. Mirip informasi dalam acara gosip (infotainment) yang lebih mendahulukan unsur hiburannya.

Namun faktor keempatlah yang paling berbahaya jika dibandingkan dengan ketiga fungsi media, yaitu kontrol sosial. Berita hoax tidak memperhatikan kode etik jurnalistik dan asal buat. Inilah yang dikhawatirkan berita hoax dapat membodohkan dan memecah belah masyarakat.

Selain itu akan dalam jangka panjang akan lahir generasi muda yang mudah kagetan, bertindak sendiri, lalu ikut menebar makian dan kebencian.

Mudah Dikenali (Sebenarnya)

Kekuatan berita hoax sebenarnya ada pada jenis pemberitaan dengan penekanan tertentu tanpa adanya kontrol sosial. Mengejar nilai kepentingan dan komersial adalah hal utama yang dicari.

Namun mengidentifikasi dengan statement semacam ini tentu membingungkan bagi siapa pun yang belum atau sama sekali tidak pernah belajar tentang studi media atau semacamnya.

Nah, di bawah ini merupakan ciri-ciri umum yang terdapat dalam berita hoax. Saya di sini akan membaginya berdasarkan 1. Isi beritanya 2. Frame berita 3. Medianya.

1. Isi Berita

Dari segi isi beritanya, ada beberapa hal yang mengganjal dalam setiap pemberitaan hoax. Di bawah ini adalah ciri-ciri umumnya:

  1. Judul berita yang muncul didominasi kalimat provokatif. Inilah yang dapat membuat massa atau netizen tertarik untuk menyebarkannya tanpa klarifikasi.
  2. Memutarbalikkan fakta yang sesungguhnya adalah hal utama yang menjadi ciri khas berita hoax.
  3. Memihak secara fanatik kepada salah satu orang yang dijadikan ikon, dan membuat berita yang menjatuhkan untuk lawannya. Memihak salah satu calon saja sudah bisa ditebak isi beritanya. Jadi baik judul maupun Isinya pun jadi sudah kelihatan tidak berimbang.
  4. Tidak utuh, yang saya maksudkan di sini berita hoax terkadang hanya mengAndalkan satu atau dua kalimat hasil wawancara saja sudah membuat kesimpulan keseluruhan. Inilah yang membuat berita hoax tidak berimbang.
  5. Penekanan opini si pembuat berita lebih banyak ditekankan ketimbang faktanya
  6. Fakta yang disajikan hanya fakta yang dipilih untuk menguntungkan satu figur tertentu saja.
  7. Fakta yang tersaji sebenarnya rapuh, masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Bahkan faktanya kelihatan dibuat-buat, seolah memang terjadi. Bahkan fakta yang dihadirkan dalam berita hoax ini sangat ganjal dan aneh.
  8. Menghilangkan salah satu fakta, padahal yang benar semua fakta harus dihadirkan oleh wartawan. Kelihatan sekali keberpihakannya kepada siapa yang diusung.
  9. Sangat mengAndalkan pihak kedua atau ketiga dalam membenarkan kejadian atau fakta yang . Biasanya pihak kedua dan ketiga ini adalah orang yang jarang dikenal publik namun “katanya” dekat dengan pihak pertama. Tidak jarang juga saya menemui beberapa berita malah menghadirkan fakta berupa kesaksian paranormal atau orang “pintar”.
  10. Dalam beberapa berita hoax yang saya lihat, ada semacam berita yang intinya mengajak massa atau netizen untuk bertindak dengan kalimat yang provokatif. Ini biasanya ciri yang lebih spesifik.
  11. Sering memanfaatkan momen besar nasional seperti pemilu, kasus, insiden, terorisme dan isu-isu hangat. Bahkan dalam kondisi tenang pun mereka sering mengacau dengan melempar bola panas.
  12. Tidak disertai video hasil wawancara, kalaupun menyertakan biasanya hasil wawancara dari sumber berita yang betul-betul resmi lalu di edit sedemikian rupa agar kelihatan meyakinkan. Beberapa media pemberitaan online resmi yang berada dalam naungan Dewan Pers baru-baru ini sering menggunakan konsep selipan video di akhir berita ini agar berita dan fakta wawancara yang terdapat dalam video tersaji selengkap-lengkapnya.

2. Frame Berita

Frame artinya bingkai. Dalam berita terdapat sudut pAndang tertentu yang dimunculkan redaktur untuk membedakan pAndangan antara satu media dengan yang lain. Namun dalam pemberitaan hoax, ada ciri-ciri yang terbilang unik jika dibandingkan dengan pemberitaan media online resmi, seperti :

  1. Menghilangkan salah satu fakta, padahal yang benar semua fakta harus dihadirkan oleh wartawan. Bahkan ada kesan menutupi fakta yang lain.
  2. Sudut pAndangnya bisa dibilang sempit, langsung menyerang seseorang yang tidak disukai. Kesan kebenciannya sangat terasa.
  3. Hanya terdapat satu sudut pAndang berita. Katakanlah ada dua atau tiga biasanya hanya mengulang berita yang utama.
  4. Tidak ada kata atau kalimat yang benar-benar mengedukasi pembacanya. Murni kepentingan yang dibalut kata –kata memojokkan dan kebencian.
  5. Antara berita hoax satu dengan yang lain arahnya sama, yaitu menjatuhkan citra maupun karakter yang diangkat. Inilah yang terkadang membuat saya berpikir (mungkin) si pembuat berita hoax ini kebanyakan adalah orang yang sama.
  6. Sering sekali menggunakan penekanan SARA dan gender sebagai bumbu beritanya agar kelihatan menarik dan terlihat tajam. Padahal berita seperti ini sifatnya memecah belah masyarakat maupun netizen yang membacanya.
  7. Bersifat memecah belah berdasarkan isu tadi (SARA dan gender), tidak ada kata atau kalimat yang bersifat menyatukan semua golongan.
  8. Kalimat yang ditulis mirip dengan berita infotainment, ada tekanan tertentu yang terlihat sensasional.

3. Medianya

1. Jika dilihat lebih dalam, tidak ada susunan pengurus redaksi maupun alamat redaksi si pembuat berita. Kalaupun ada, biasanya fiktif.

2. Dalam beberapa kasus tidak ada nama redaktur atau si pembuat berita. Padahal sesuai etika jurnalistik, siapapun wartawan harus mempertanggungjawabkan berita yang ia tulis. Sehingga bisa dikatakan penulisnya fiktif.

3. Tidak terdaftar dalam Dewan Pers nasional ataupun lembaga pers resmi.

4. Sangat aktif di media sosial seperti Instagram, Path, Facebook, Twitter, dan sebagainya.

5. Sering menggunakan server .co.id dan jasa blog ketimbang .com. Biasanya domain .com dinaungi instansi/yayasan yang jelas.

Cara Melawannya

Berita hoax tidak akan bergerak kecuali kita sendiri sadar akan bahaya dan mampu memilah berita yang benar dan sesuai dengan faktanya. Ciri-ciri di atas merupakan patokan utama untuk memilah berita.

Namun tidak semua orang punya keahlian di bidang ini. Terkadang kaum intelektual dan ilmuwan di bidang komunikasi saja bisa terjebak dalam lingkaran hitam berita jenis ini.

Lebih parahnya kaum intelektual inilah yang terkadang menyebarkan berita yang tidak benar dengan berbagai alasan yang juga kelihatan “intelektual”. Padahal melihat dampaknya itu tadi, seharusnya kaum intelektual juga sadar apa yang harus diperbuat -kalau tidak mau bodoh-.

Literasi media adalah jawaban utama yang mungkin bisa menjadi solusi jangka panjang. Namun sayangnya literasi media saat ini hanya bergerak di media televisi atau radio. Belum menyentuh media internet yang pergerakannya jauh lebih dinamis dan susah dikontrol.

Pemblokiran halaman internet seperti yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (KEMENKOMINFO) pun tidak sebanding dengan jumlahnya yang banyak dan beragam.

Pekerjaan yang (mungkin) membuat lelah pihak terkait. Ini ditambah dengan klaim sejumlah media yang berani mengaku atas nama kebebasan pers. Membuat Dewan Pers seperti tidak berdaya, padahal merekalah ujung tombak utama pemberantasan berita hoax ini.

Mau tidak mau, literasi media harus disosialisasikan secara menyeluruh. Kita patut mengapresiasi pemerintah yang baru saja mengesahkan UU yang mengatur pemberitaan seperti ini. Namun untuk netizen secara pribadi, ada beberapa cara yang bisa dicoba untuk mempersempit penyebarannya:

  1. Selalu cek kebenaran beritanya. Patut curiga dan kritis dalam segala pemberitaan adalah suatu kewajiban jika melihat atau membaca berita hoax.
  2. Selektif dalam memilih berita maupun medianya. Jangan mudah percaya pada media pemberitaan yang belum pernah terdengar sebelumnya.
  3. Jangan sembarangan men-share beritanya, apalagi dengan kemasan provokatif.
  4. Konfirmasi kepada penyebar beritanya, jangan takut untuk bertanya kebenaran beritanya agar saling mengoreksi dan mempersempit berita hoax ini.
  5. Jika penyebarannya melalui media sosial, bisa Anda laporkan atau blokir halamannya. Beberapa situs media sosial maupun aplikasi seperti Instagram, Facebook, Twitter dan lain sebagainya memiliki fitur untuk menangkal berita seperti ini.
  6. Jika Anda terganggu namun sudah bosan untuk menanggapinya, abaikan saja berita hoax tersebut. Jangan pernah mengomentari berita seperti ini karena hanya membuat lelah dan membuang waktu.
  7. Lihatlah momen di sekitar Anda ketika berita tersebut menyebar. Ini membuat Anda lebih waspada terhadap berita hoax yang sering sekali memanfaatkan momen tertentu seperti pemilu, kasus, insiden, terorisme dan lain sebagainya.
  8. Laporkan ke pihak yang berwenang apabila Anda benar-benar mengetahui pelakunya.

Cara-cara di atas bisa dicoba maupun diaplikasikan untuk melawan berita hoax ini. Setidaknya mempersempit gerakan mereka yang kian aktif akhir-akhir ini. Lebih penting lagi, selalu tingkatkan kualitas diri dengan membaca buku maupun mencari informasi dari sumber yang benar-benar bisa dipercaya. Stop kebodohan!

Tinggalkan komentar