Kasus Penusukan Syekh Ali Jaber, Framing Media dan Kemanusiaan

Framing PhoMinggu kemarin (13 September 2020) pada waktu malam hari kita dikejutkan oleh sebuah berita penusukan terhadap Ali Saleh Mohammed Ali Jaber atau yang akrab dipanggil Syekh Ali Jaber, ulama asli Madinah yang cukup kondang di tanah air. Kejadian tersebut terjadi di Lampung ketika disana diadakan acara wisuda perdana tahfidz  Taman Pendidikan Qur’an (TPQ). Ketika itu Syekh Ali Jaber saat itu sedang menilai santri dengan posisi duduk dan singkat cerita mereka berdua lalu hendak berpotret dengannya dan orang tuanya, disamping akan diberi hadiah (dikutip dari berbagai sumber).

Namun ketika hendak berpotret itulah kejadian selanjutnya tidak diduga, seorang pelaku yang berinisial AA (20) naik ke panggung dari sebelah kanan dan langsung melakukan penusukan di depan jamaah ramai. Beberapa jamaah mengira ia hendak memberikan handphone untuk berfoto dengan korban. Tak disangka justru penusukan yang terjadi, sehingga pelaku langsung diamankan panitia dan jamaah sekitar. Singkat cerita tersangka diamankan polisi, namun setelah itu muncul informasi liar bahwa polisi menyatakan bahwa tersangka menderita gangguan jiwa. Sampai opini ini ditulis, Polisi sudah membantah hal tersebut dan masih dilakukan pendalaman mengenai motif penusukan. Kenyataannya informasi mengenai tersangka menderita gangguan jiwa keluar dari keluarga tersangka, yang juga masih didalami oleh pihak yang berwajib dikarenakan alasan tersebut tergolong mencurigakan jika memperhatikan gelagat tersangka (Tirto.id, Duduk Perkara Penusuikan Ali Jaber: Lemahnya Perlindungan Ulama?, 14 September 2020).

Wajar jika lalu banyak pihak lalu meributkan bukan beritanya, melainkan spekulasi motifnya yang sudah terlanjur ditelan mentah. Hal ini juga mengingat selama ini Syekh Ali Jaber dinilai banyak kalangan merupakan salah satu ulama garis moderat yang belum pernah mengeluarkan statement kontroversial. Malahan dia dikenal dekat dengan anak-anak terutama di beberapa acara maupun kompetisi religi televisi swasta nasional. Tentu spekulasi yang beredar seperti kondisi dan motif pelaku sudah terlanjur dibesar-besarkan sejumlah orang tidak bertanggung jawab sementara ada kasus lain yang lebih besar dan seharusnya mendapatkan perhatian yang sama. Dalam hal ini penulis tidak mencoba membandingkannya namun lebih sebagai refleksi atas rentetan kejadian yang terjadi.

Ketika Framing Media Bermain Peran

Jika anda marah atas kejadian ini, ya anda berhak marah. Namun jika melihat rentetan kasusnya, anda mungkin perlu berpikir jernih. Syekh Ali Jaber adalah seorang Ulama yang juga Public Figure yang dihormati utamanya di kalangan umat Islam. Public Figure memang mendapat atensi publik lebih dikarenakan ia selalu muncul di setiap acara dan media yang selalu menyiarkannya. Tanpa terkoneksi atau tidak kita memang seolah-olah dibuat untuk terhubung dengan tokoh tersebut bahkan secara emosional. Hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana media membingkai sebuah isu atau sering disebut framing. Menariknya banyak media mainstream membingkai kasus ini dengan menonjolkan kesan bahwa pelaku menderita gangguan kejiwaan. Pembingkaian ini menarik dikarenakan dapat memancing rasa penasaran publik seperti apakah pelaku benar-benar tidak sadar dalam melakukannya, atau ada dendam tertentu dan sebagainya.

Namun jika kita mengamati rentetan kasus, kita patut untuk bertanya. Ada banyak kasus penusukan atau pembacokan yang berujung kematian pada korban, mengapa kasus-kasus ini justru tenggelam? Mengapa harus menunggu public figure yang menjadi korban dan kita bereaksi? Artinya dalam hal ini ada kesalahpahaman yang harus diluruskan. Hal ini mengingat banyak korban serupa diluar sana yang mungkin tidak mendapat keadilan yang sama dalam hal memperoleh atensi publik dan spekulasi motif yang sama seperti kasus diatas. Kita harusnya mencermati bahwa kasus yang berulang ini ironisnya banyak, namun justru sedikit yang terekspos dan bahkan tidak jarang pula luput dari media dan atensi publik. Dikutip dari katadata.id, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyatakan bahwa kasus kriminalitas justru meningkat 19,72 persen jika dibandingkan awal tahun atau sebelum pandemi. Kasus yang dominan adalah gangguan seperti penemuan mayat dan bunuh diri (katadata.id, Kriminalitas Meningkat Selama Pandemi Corona, Sebanyak Apa?, 22 April 2020). Meskipun tidak ada data rinci mengenai hal tersebut, dari jumlah ini seharusnya kita berkaca bahwa saat ini tidak tepat apabila kita ikut tenggelam dalam hal meruncingkan satu kasus dan seolah menutup mata kasus lain. Kenyataannya kejahatan di saat pandemi ini meningkat dan bisa dalam bentuk apapun dengan korban siapapun. Entah itu diekspos oleh media atau tidak, rasa-rasanya sangatlah bias jika kita hanya membicarakan satu kasus ini.

Melihat Kasus dengan Kemanusiaan

Artinya seharusnya kita bukan lantas asyik untuk membicarakan spekulasi motifnya, melainkan kemanusiaan yang harus dijunjung semua pihak. Kejahatan bukanlah hanya soal motif, namun kejahatan ada karena faktor yang menaunginya. Siapapun bisa terkena kejahatan dari pelakunya tanpa pandang apakah seseorang itu pejabat, ulama, public figure atau bahkan orang tertindas yang sudah tidak beruntung nasibnya terlebih dahulu.

Pada masa sekarang yang serba mulai sulit ini kejahatan mudah berevolusi dari faktor apapun. Faktor ekonomi, sosial, politik, fisik sampai provokasi bisa saling mempengaruhi. Ini dikarenakan secara biologis manusia membutuhkan apapun untuk hidup atau sering disebut Thomas Hobbes (1651) sebagai “Homo Homini Lupus” (Manusia adalah serigala bagi sesamanya). Secara mendasar manusia adalah juga memiliki kesadaran sosial atau sering disebut dengan “Homo Homini Socius” (Manusia adalah penting bagi sesamanya), namun seiring perjalanannya manusia jugalah yang membutuhkan manusia lain untuk hidup. Walhasil manusia menjadi bersaing dan saling curiga dengan siapapun. Dalam konteks sekarang kita harus melihat kasus ini secara proporsional, kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus kejahatan yang sama dengan apa yang ada di sekitar kita. Media hanyalah salah satu alat untuk menyampaikan informasi yang didalamnya dimungkinkan menyimpan banyak bias dan harus dikritik terus menerus. Bukan lantas kita tenggelam pembingkaian media dan memperkeruh dengan memperbesar spekulasinya, sementara banyak orang tertindas di negeri ini yang juga butuh atensi publik maupun media itu sendiri.

Tinggalkan komentar