Melanggengkan Jurnalisme Bencana

Indonesia kembali berduka. Bencana alam tanah longsor yang menimpa Dusun Jemblung, Desa Sampan, Kecamatan Karangkobar Banjarnegara Jawa Tengah masih menyisakan banyak tanya (Jumat, 12/14/2014). Jurnalisme media masih mencari berita terkait bencana ini.

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif menyebutkan sampai saat ini sudah ada 79 jenazah yang ditemukan dan kemungkinan akan bertambah (Kompas, 17/12/2014).

Jurnalisme Bencana
nasional.republika.co.id

Banyaknya korban bencana diatas menjawab betapa pentingnya kuasa media dalam menerapkan dan merawat prinsip jurnalisme bencana. Sayangnya, media lebih memilih prioritas rating daripada substansi media sebagai pencerdas kehidupan berbangsa.

Fungsi media sebagai edukasi hanya sebatas seremonial selepas ratusan bahkan ribuan korban berjatuhan.

Kiranya, media perlu gencar melakukan kampanye waspada bencana sepanjang waktu mengingat Indonesia adalah negara rawan bencana. Medialah salah satu bagian terpenting dalam kontribusi early warning system yang seharusnya bekerjasama dengan BNPB dan komunitas-komunitas pecinta alam lainnya.

Melalui langkah tersebut, masyarakat akan selalu siap siaga di berbagai daerah titik-titik rawan bencana. Inilah fase prabencana yang seharusnya ada dalam jurnalisme bencana!

Tak dapat dipungkiri, media sebagai pusat informasi masyarakat semestinya menyajikan data yang akurat terkait wilayah, sumber bencana dan bagaimana langkah cepat dan tepat untuk menyelamatkan diri. Termasuk bagi para korban luka berat, ringan maupun pengungsi yang harus segera dievakuasi ke tempat yang lebih aman dan terkendali.

Kewajiban jurnalis tetaplah mengutamakan pertolongan secepatnya terhadap korban baik melalui pertolongan langsung ataupun melalui indepth news. Cek and ricek hendaknya menjadi prinsip tahap terjadinya bencana pada jurnalisme bencana!

Melihat kondisi real saat ini, dapat dibilang media hanya memberitakan tragedi bencana yang sifatnya mendramasir dan selalu diulang-ulang, padahal korban memerlukan bentuk nyata rehabilitasi. Media semestinya menjadi jembatan penghubung pulihnya mental korban akibat trauma sekaligus memastikan kecukupan materi.

Selanjutnya, pendataan kerugian korban sangat penting dilakukan agar kedepannya mampu bangkit menata masa depan. Fungsi hiburan terlalu naïf jika ditafsirkan sebagai langkah untuk memelintir data sehingga masyarakat tak bisa mengambil hikmah disetiap bencana.

Demi meminimalisir banyaknya korban bencana serupa, fungsi kontrol sosial dalam framing media seyogyanya memihak rakyat kecil. Bila menyaksikan media saat ini, justru cenderung memberikan ruang lebih kepada penyelenggara negara yang kian menyudutkan dan menambah luka korban bencana.

Alhasil, media tak berimbang dan biasnya menjadi tangan panjang penguasa seolah-olah bencana terjadi seratus persen kesalahan korban bencana. Tahap pasca bencana inilah idealisme sebuah  media diguncang habis-habisan!

Pada dasarnya, seperti yang dijelaskan Fajar Iqbal (Harian Joglo Semar, 2010) bahwa  jurnalisme bencana bukan hanya sekedar meliput berita bencana, namun pemberitaan tentang bencana alam yang seharusnya dilaporkan secara proporsional dan tidak mendramatisasi.

Besar harapan masyarakat terlebih bagi para korban bencana alam agar pelaku media melaksanakan fungsinya sesuai prinsip jurnalisme bencana.

Juga, pemberitaan bertahap mulai dari prabencana, bencana sampai pascabencana meskipun di tengah hingar bingar pergantian tahun. Jika tidak, benarlah apa yang diungkapkan Ahmad Arif (2010) dalam bukunya bertajuk Jurnalisme Bencana adalah Bencana Jurnalisme!

 

Tinggalkan komentar