Hoax dan Kepentingan Politik Ekonomi New Media

Hoax dan Kepentingan Politik Ekonomi New Media
Hoax dan Kepentingan Politik Ekonomi New Media

Menarik bila membaca keseluruhan dari artikel Dr. Hamdan Daulay, M. Si., MA bertajuk Mencegah Konflik di Tahun Politik. Sebuah refleksi mendalam tentang keadaan real hari ini yang mencerminkan jauhnya pergeseran budaya bangsa Indonesia.

Sekilas, memang adanya berita-berita palsu yang beredar di media sosial tidak terlalu mengkhawatirkan bagi sebagian masyarakat yang sudah memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Namun, tahukah bahwa berita-berita di media sosial itulah penyebab utama adanya kerusuhan, pertengkaran bahkan pembunuhan di tengah-tengah masyarakat hari ini.

Terhangat, tentu masih segar di ingatan kita betapa hiruk-pikuknya kegaduhan menjelang pesta demokrasi tahun ini. Bukan hanya soal “seksinya” jabatan menjadi presiden yang akan memimpin lebih dari 230 juta penduduk, lebih dari itu, hari ini yang dipertontonkan oleh media justru bagaimana cara meraih kekuasaan tertinggi tersebut dengan berbagai cara. Hitam, putih maupun abu-abu semua dipertontonkan.

Lalu, apa maksud dibalik kejadian semua ini? Kepentingan apa yang bermain di balik rentetan kasus-kasus yang sempat mengerutkan dahi masyarakat?

Relasi Kekuasaan dan Kekayaan

Dari kacamata penulis, adanya kegaduhan sosial yang marak akhir-akhir ini sebenarnya tidak berasal dari dua kubu Jokowi maupun Prabowo. Justru, menurut penulis, kehadiran medialah yang sebenarnya membuat semakin panas hubungan antara dua kubu tersebut.

Mengutip dari buku Vicent Moscow mengenai Politic Economy New Media; bahwa sejak lahirnya new media tidak bisa dilepaskan dari dua kepentingan, yakni kepentingan politik dan ekonomi. Kepentingan politik menyangkut tentang kekuasaan, seperti halnya dalam hal media adalah eksistensi media itu sendiri. Kaitannya, nantinya akan mengarah ke salah satu kubu.

Sedangkan dalam hal ekonomi, media berprinsip harus memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari aktivitas produksi konten baik video maupun tulisan. Hal inilah yang akhirnya akan menggoyahkan tingkat keobjektifitasannya sebuah media.

Sebagai contoh, Jawa Post News Network (JPNN) belum lama ini membuat salah satu berita mengenai KH. R. Najib Abdul Qadir Al Munawwir Pemimpin Pondok Krapyak Yogyakarta yang isinya kurang lebih merekomendasikan salah satu nama dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menjadi calon wakil presiden.

Setelah ditelusuri, ternyata berita berjudul ‘Jika 2 Hari Ini Jokowi Tak Pilih Cak Imin, PBNU Angkat Kaki’, Minggu (5/8) tersebut hoax. Kurang lebih selama sepekan, pihak dari JPNN mengedit tulisan tersebut dan meminta maaf kepada masyarakat dan membuat berita baru.

Bila ditelisik lebih jauh, siapa yang bermain di JPNN tersebut akan menjawab kepentingan siapa yang menjadi prioritas. Baik kepentingan sebuah partai politik, nama individu atau bahkan medianya sendiri. Tak ayal, media pun memiliki kepentingan berupa kekuasaan (dalam hal ini branding). Sejak adanya berita palsu tersebut, tentu saja JPNN akan naik ranking dalam search engine. Ribuan link aktif dari berbagai situs berautority akan mengarah ke website tersebut.

Dari kepentingan ekonomi itu sendiri, sebuah media tentunya akan tetap mempunyai eksistensi manakala mempunyai ekonomi yang kuat. Semenjak adanya berita hoax di JPNN tersebut, pengguna internet (user) akan berlomba-lomba menjawab rasa penasaran mereka untuk mengunjungi laman website tersebut. Di sinilah salah satu keterkaitan antara berita hoax dan kepentingan politik.

Kini, di tengah kebutuhan menghidupi para awak media, hadirnya new media juga dituntut untuk memberikan poduksi berita yang sejujur-jujurnya. Sampai kapan new media akan mejadi pengadu domba?

Tinggalkan komentar