Tanggung Jawab Penuh

Tanggung Jawab Penuh
Pixabay.com

Di umur 24, saya pernah berjanji jika Allah berikan saya umur 25, saya baru akan serius untuk mencari ilmu tentang pernikahan. Sebuah ilmu yang kata Ayahanda M.H. Ainun Najib (Cak Nun) sebenarnya sangat dibutuhkan di dunia akademik maupun sosial; sebut saja Fakultas Rumah Tangga.

Memang bisa dikatakan demikian, mengingat ilmu rumah tangga merupakan ilmu yang sangat vital. Ilmu yang penerapannya dilakukan seumur hidup; dalam istilah orang Jawa “sakjeke urip”.

Bila diibaratkan, rumah tangga adalah bagian dari negara-negara terkecil. Maksudnya, bila ada seribu rumah tangga dan setiap rumah tangga mempunyai pondasi yang kokoh, tentu negara tersebut juga akan kokoh.

Tangung Jawab Besar

Berbicara tentang ilmu rumah tangga, tentu tak terlepas dari peran tanggung jawab. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk bisa lebih bertanggung jawab.

Dua tahun lalu, tepatnya ketika mengikuti panitia Idul Adha di Masjid UIN Sunan Kalijaga, saya ditugasi untuk mencari pembicara. Waktu itu terpilih Prof. Machasin, M.A seorang guru besar Sejarah Islam.

Ketika khutbah Idul Adha selesai, saya pun mengajak beliau untuk segera ke kantor sekedar makan bersama dan mengucapkan terima kasih.

“Prof, monggo ke kantor dulu…” kataku mengajak beliau.

“Di mana ya istri saya, saya menunggu istri saya sebentar ya…”, jawabnya.

“Baiklah prof….”, jawabku singkat.

Waktu itu masjid sangat ramai sehingga kami pun juga sangat kesulitan untuk melihat istri beliau. Namun selang beberapa menit, Alhamdulillah sudah bertemu. Kami pun menuju ke kantor.

Terbukti, melalui kepribadiannya, beliau merupakan teladan yang baik. Dia bertanggung jawab kepada istrinya meskipun hanya hal-hal kecil sepele; menunggu istrinya untuk menemani datang ke kantor. Dia tidak meninggalkan istrinya bingung, cemas sendirian.

Di sisi kehidupan lainnya, Prof. Machasin juga merupakan akademisi yang mempunyai akhlak luhur bukti ilmu pengetahuannya yang luas.

Pernah suatu ketika, kami sedang berdiskusi di sebuah forum, ada sekitar 10 ormas Islam yang hadir di sana. Seperti biasa, kami membahas tentang problema-problema yang menyangkut umat Islam.

Seorang penanya diberikan kesempatan di forum tersebut. Beliau pun menjawab dengan keluasan ilmu yang dimiliki beliau. Namun, tiba di tengah penjelasan, orang tersebut memotong pembicaraan beliau.

Suasana pun menjadi sedikit tegang lantaran ada beberapa orang yang kurang terbuka di dalam menerima perbedaan. Beliau pun memilih mundur dan menutup forum tersebut.

Dengan luasnya ilmu pengetahuan, beliau bertanggung jawab sekalipun hanya di dalam forum. Prinsipnya, beliau sangat menghindari perdebatan meskipun beliau benar. Masha Allah.

Mempermudah Peran Istri

Sebenarnya, ada banyak cara untuk bertanggung jawab. Sepertihalnya yang dilakukan abang saya ketika beliau menjadi suami, dia benar-benar bertanggung jawab secara lahir batin.

Tanggung jawab seperti keuangan, tempat tinggal dan hal-hal bathiniyah lainnya tentu sudah dilakukan. Namun kiranya ada banyak hal selain itu, seperti contoh-contoh kecil ketika sudah mempunyai rumah baru.

Seorang suami seharusnya bertanggung jawab mempermudah semua peran istri. Saya melihat rumah abang saya sangat tertata rapi, bila dia menyukai tanaman, dia siapkan kran air dan selang agar istrinya bisa menyiraminya setiap hari dengan mudah.

Bila di dalam rumah tersebut sudah dilantai keramik, maka suami menyediakan alat penyedot debu agar si istri bisa membersihkan rumahnya dengan mudah dan menyenangkan.

Begitupula dalam hal pembelian perabot rumah tangga, baginya hanya yang berkualitas-kualitaslah yang harus dibeli. Maknanya, adanya kualitas tentu akan ada harga. Namun hal itu lebih baik, satu berkualitas dipakai selamanya daripada murah cepat rusak yang akhirnya hanya tambah ngregeti rumah.

Tanggung Jawab Penuh

Beliau juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Apa saja yang perlu dipelajari, dia pelajari tanpa malu. Bila dia menjumpai makanan yang lezat sebuah restoran, dia bukan hanya sekedar makan, tapi dia juga melihat, bertanya bagaimana cara membuat makanan tersebut.

Pun bila soal kendaraan. Beliau merupakan suami yang menganggap bahwa kemewahan bukan untuk kemewahan. Kemewahan baginya adalah bagian dari tanggung jawab, dalam artian tanggung jawab untuk memuliakan istrinya. Punya mobil no problem jika bertujuan untuk memuliakan istrinya agar tidak kepanasan.

Tiga bulan sebelum kepergiaannya, dia abang saya juga masih sempat memikirkan tentang kemudahan-kemudahan untuk istrinya. Abang saya ini memang rajin menabung dan berinvestasi sehingga dia menyiapkan surat-suratnya; semua demi kemudahan istrinya bila dia sudah tidak ada.

Di kala sang surya mulai tenggelam, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beliau meninggal dengan keadaan yang sangat mudah, bahkan beliau tidak membuat repot keluarga besarnya. Beliau adalah inspirasi bagaimana menjadi suami sejati. Tidak menyusahkan di kala hidup maupun menjelang akhir kepergiaannya.

Dia bertanggung jawab penuh di awal dan di akhir meskipun awal dan akhir itu sangatlah rapuh.

Tinggalkan komentar