Subsidi Kuota Internet untuk Belajar saat Pandemi, Cukupkah?

Subsidi Kuota Internet untuk Belajar saat Pandemi Apakah Cukup

Kesuksesan pendidikan salah satunya ditentukan oleh suksesnya penyelenggara pendidikan dalam mendidik siswanya. Penyelenggara, stakeholder maupun pendidik otomatis saat ini otomatis memikul beban berat saat ini dalam melaksanakan pendidikan. Hakikat pendidikan sendiri mencakup mendidik, mengajar dan melatih (Hangestiningsih, Zulfiati dan Johan, 2015:7). Namun dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, hakikat pendidikan tersebut sulit untuk tercapai.

Kebijakan pendidikan adalah yang paling ditunggu supaya semua lini pendidikan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah baru-baru ini menggelontorkan dana yang tidak sedikit, Rp 7,2 triliun untuk menunjang kerja guru, dosen, siswa dan mahasiswa dalam bentuk kuota internet. Selain untuk menunjang pembelajaran yang bersifat jarak jauh atau online, kebijakan tersebut muncul salah satunya dikarenakan platform yang digunakan untuk mengajar beragam. Mulai dari penggunaan pesan singkat seperti WA, aplikasi berbasis pendidikan sampai video conference.

Kebijakan tersebut bagaimanapun patut diapresiasi, artinya negara memiliki niatan kuat untuk mempertahankan pendidikan di tengah pandemi yang belum selesai ini. Namun melihat permasalahan pendidikan ketika pandemi berlangsung sudah barang tentu kebijakan tersebut jangan dijadikan ukuran apalagi solusi untuk semua masalah.

Orientasi ”Urban First

Kebijakan mengenai kuota internet ini lebih menguntungkan bagi siswa yang tinggal di daerah perkotaan dan kalangan ekonomi menengah ke atas yang memang memiliki alat komunikasi canggih mungkin bisa menjadi solusi jitu. Namun sebagaimana kebijakan pendidikan lainnya yang dijalankan pemerintah, kebijakan ini masih berorientasi pada urban first. Hal ini bisa dilihat dari berbagai permasalahan yang muncul setelahnya seperti orang tua yang tidak memiliki smartphone apalagi kuota internet, kesulitan akses jaringan internet (sinyal), dan bahkan ada orang tua yang terpaksa mencuri alat telekomunikasi demi anaknya supaya bisa mengikuti pelajaran.

Kebijakan pendidikan ini selalu menjadi masalah yang merugikan dan berulang di kalangan yang tinggal di daerah pinggiran, pedalaman, terpencil dan terdepan. Orientasi semacam ini harus dihilangkan dengan mengedepankan bentuk kebijakan yang juga adaptif terhadap kondisi yang ada di masyarakat, utamanya di daerah selain perkotaan.

Usaha-usaha yang dilakukan para guru seperti berkomunikasi dengan memberi pelajaran lewat HT, bertemu dengan guru secara terbatas di rumah siswa maupun sebaliknya, dan membelikan smartphone juga seharusnya patut mendapatkan perhatian dan apresiasi. Mengingat para guru tersebut berjuang dalam kondisi dan situasi yang berbeda jika dibandingkan wilayah urban.

Mendukung Pendidikan Alternatif

Setidaknya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dapat memanfaatkan dana yang ada bukan hanya dimanfaatkan untuk subsidi kuota internet, namun juga untuk meringankan beban guru dan siswa yang berbeda situasi dan kondisinya tersebut. Bantuan tersebut bisa dilakukan seperti pengadaan alat komunikasi ataupun kesehatan siswa yang terdampak, sehingga ketimpangan pendidikan di kala pandemi bisa direduksi.

Jika memang pemerintah maupun pemangku kebijakan di bidang kependidikan masih kebingungan merumuskan kebijakan yang tepat untuk hal ini, setidaknya meringankan beban dan dukungan usaha-usaha yang dilakukan guru di daerah yang serba sulit semacam itu lebih utama untuk dilakukan. Hal ini sejalan dengan aturan dasar pendidikan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Dengan demikian kondisi yang ada seharusnya bukanlah menjadi penghalang bagi siapapun termasuk pemerintah dan pemangku kebijakan untuk mendukung segala jenis solusi alternatif demi pemenuhan pendidikan yang lebih berkeadilan.

Tinggalkan komentar