Rasa (taste) dan Realitas Populer dalam Musik Populer

Realitas dan Rasa (taste) Populer dalam Musik Populer

Oleh : Hasan Basri Marwah[1]

Pengantar: Realitas Populer

Persoalan inti terkait tema, yakni budaya populer (terutama musik populer yang dibebankan kepada saya), adalah miskinnya kajian musik populer di Indonesia, dan kajian budaya populer secara umum. Di Indonesia, persoalan budaya populer tidak pernah dibahas sebagai realitas harian. Padahal tidak ada orang jaman now yang tidak terlibat ataupun terimbas dengan realitas dan sosialitas yang dibentuk oleh budaya populer. Inilah jaman folkloric-turn,popular-turn, dan bersamaan dengan media-techno-turn.

Apa sih realitas populer itu? Langkah pertama untuk menjawab ini: bebaskan otak dari fundamentalisme estetis: mencandra realitas memakai kategori baik –buruk, indah-jelek, dan seterusnya (value judgment). Kalau dalam ranah estetika: penialiaian (judgement) estetis yang membagi (division) keindahan sudah lama usang,bukan lagi hal yang menjadi perhatian utama. Tugas penelitian budaya populer, terutama musik populer, tidak terbatas pada value judgement.

Realitas populer adalah kenyataan sehari-hari hidup manusia yang terbentuk oleh pranata populer : segala saluran yang menampung pemenuhan kebutuhan dan hasrat (keinginan) manusia dalam garis percepatan yang melampui pranata pikiran manusia,terutama topos media dan konsumsi.

Kajian budaya populer tidak semata menyoal “mutu” (judgment value), tetapi bagaimana “ke-menjadian” (becoming) masyarakat ,salahsatunya, dibentuk oleh realitas populer. Bagaimana  percepatan-pelipatan produksi, keberlimpahan (fetis) komoditi, dinamika super cepat dari konsumsi, dan realitas media menjadi bagian yang turut membentuk sosialitas harian umat manusia jaman milineal ini.

Misalnya, belakangan saya sering mendatangi konser atau festival musik Jazz,blues atau rock. Suatu kali saya datang ke konser band Dream Theater di Stadion Kridosono (beberapa malam lalu malah konser Band Metal Amerika, Megadeth). Tidak sedikit dari para penonton sudah berumur,50 sampai 55 tahun. Melihat langsung suasana ‘batin’ para penonton memberi kita semacam gambaran, bahwa sebagian penonton berupaya menunjukkan,bahwa mereka berbeda dengan generasi sekarang. Dari gaya pakaian, semangat, dan penampilan malam itu tergambar adanya pride, dan upaya mereka membedakan diri sebagai sebuah generasi yang dibentuk oleh scene metal atau rock beberapa dekade lalu. Jadi, bukan semata soal nostalgia atau romantika. Pembentukan rasa kolektif itu benar-benar terbatinkan, menjadi semacam tarkib tindakan sosial sebuah generasi.

Salah satu fokus penelitian musik populer adalah pada pembentukan selera kolektif dan dampaknya pada pembentukan masyarakat. Bukan sekedar meneropong musik populer sebagai medium ungkapan generasi atau zaman.

Penelitian Musik Populer: Pembentukan Rasa Kolektif

Persoalan realitas populer akan lebih terurai jika sudah ada pemabahasan pendahuluan yang mendalam mengenai bidang (field) budaya populer beserta kemungkinan adanya sub-field-nya. Musik populer bagian dari ‘medan pertempuran’ budaya populer yang memiliki medan tersendiri. Terkait penelitian, di dalam medan musik populer telah tersedia stok bacaan dalam jumlah sangat besar (tinggal mau baca atau tidak).

Persoalan pertama yang harus dimatangkan adalah persoalan siapa seniman pop dan kreativitasnya: Siapa sih seniman populer itu? Bagaimana model kreativitas mereka?

Musisi pop (populer) adalah mereka yang berperan besar dalam membentuk struktur rasa di tengah masyarakat. Taste  dalam tulisan ini merujuk sepenuhnya kepada konsep Pierre Felix Bourdieu. Rasa tidak alamiah, tapi bisa dibentuk (jangan disamakan dengan direkayasa). Pembentukan rasa kolektif tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh para pemain yang terlibat di dalam suatu arena (field/camps). Bourdieu telah mengembangkan teori pembentukan rasa berdasarkan penelitian empirik. Dan sebaiknya kita membacanya dengan seksama, dan memakainya sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman.

Ambil saja contoh-contoh secara sporadik atau arbirter hari ini : bagaimana inovasi yang dilakukan Nisa Sabiyan atas sejumlah lagu Arab bertemakan pujian kepada Kanjeng Nabi SAW. Pada aspek yang mana Sabiyan melakukan inovasi di dalam ranah musik populer Islami? Instrumen minimalis (keyboard), cara berpakaian, suara atau voice (yang sebenarnya pas-pas an); tubuh atau bagian tertentu darinya; atau  apa saja bentuk langue yang di-covernya dari musik dan musisi populer dengan genre yang sama dalam segenap/keseluruhan performativitasnya?

Bagi saya, Sabiyan tidak memberikan suspen pembedaan yang berarti. Justeru Sabiyan lebih memilih jalan aman dengan cara mengikuti saja gelombang perayaan populer terhadap Kanjeng Nabi SAW. Saya lebih melihat permainan simplisitas performatif yang dilakukannya untuk mendaptkan posisi dalam persaingan di dalam ranah/medan musik populer. Lihatlah hijabnya, kan lebih mirip pakaian Islami dari kelompok sebelah?

Secara umum, musik populer memiliki beberapa ciri : peniruan,inovasi, ambiguitas, suspensi-distingtif, pembiakan langue, atomisasi (club culture,bintangisme dalam konteks musik), simplisitas, difference dan distingsi. Masing-masing istilah dari ciri khas musik populer ini memerlukan penjelasan tersendiri (tapi mungkin di lain kesempatan).

Kedua, soal perangkat konseptual, terutama sekali pendalaman atas perangkat estetika yang akan menjadi modal dalam mengarungi medan musik populer atau budaya populer secara umum. Singkatnya (dan ini biasanya), memahami dengan baik estetika Kantian yang kemudian ditinggalkan dengan mendalami beberapa alternatif dari estetika post-Kantian, seperti estetika “rasa” yang dikembangkan oleh Bourdieu. Jika masih punya energi, sebaikanya mendalami ekonomi-tandanya Jean Bauldliard atau estetika Deleuzi-an.

Ketiga, sebelum memasuki perangkat teoritik dan penerapannya secara bertahap, penguasaan tentang detail musik populer menjadi tuntutan tersendiri. Misalnya, harus memahami pendekatan, genre musik, instrumen, ruang-musikal (musical-space), dan komunitas.

Bagi peneliti musik populer kelas lanjutan, biasanya mereka telah menguasai baca-bacaan ‘babonik’ tentang musik seperti Herbert Spencer (The Origin and function of music); Georg Simmel (Psychological and Ethnological Studies on Music); Max Weber (Rational and Social Foundation of Music); Theodro Adorno (Sociology of Music); dan seterusnya.

Kemudian masuk ke pendekatan (approaches), ranah (sites) dan perdebatan terkait musik populer : makna sosial musik; praktek pemaknaan atas musik; dan seterusnya.

Selanjutnya masuk ranah kreasi, konsumsi (biasanya soal identitas dan pembentukan rasa).

Tidak kalah penting soal : hubungan musik dengan masalah politik, sosial dan  dinamika kultur musikal itu sendiri.

Persoalan lembaga dan industri musik yang tidak lepas dari perkembangan super cepat dari teknologi.

Kalau dirangkum menjadi : mengenal dengan baik persoalan intrinsik musikal; proses kreatif musik; konsumsi musik; institusi dan industri; teknologi dan isu sosial musik.

Saya memasukkan soal aspek intrinsik musik (awalnya) karena sudut pandang subjektif,bahwa seringkali penelitian musik (apapun genre nya) gagal karena melompati aspek ‘akurasi’ dari musik itu sendiri. Di titik ada gema Adornian (Theodor Adorno) yang saya terima dari jalur sanad Edward Said. Dan ketika memakai perangkat sosiologi praksis Bourdieu dalam penelitian musik populer, gema pemikiran musik Adornian layak dipertimbangkan untuk menutupi celah utama Bourdieu: perhatian yang berlebihan terhadap aspek eksternal musik itu sendiri. Saya kurang sreg dengan pendapat Adorno soal musik populer, tetapi banyak sekali aspek pemikiran musikalnya yang terlalu berharga: misalnya bagaimana ia mengimajinasikan pemikiran itu bekerja seperti seperti musik bekerja: menampung segala kebaragaman (polyphony), bahkan dalam bentuknya yang kontradiktif satu dengan lainnya, tanpa harus bermuara pada suatau sintesis ala Hegel. Dialektika negativa ala Adorno ini yang dikembangkan Said sebagai situasi antinomian dan diskeperensial (sebaiknya bahasan ini kita dibahas di lain kesempatan).

Keempat, memahami perangkat teoritik Bourdieu dalam konteks penelitian musik populer: apa itu taste ? ; Habitus; ragam modal (sosial,budaya, dan ekonomi); apa itu praksis; dan apa itu fields atau ranah/medan ?

Langkah Penelitian Musik Populer: Sebuah Percobaan

Tahap Pertama :

Pertama, bacalah penelitian terkait dengan musik populer di Indonesia. Ini memintas ketertinggalan kita dalam penelitian musik populer di Indonesia. Misalnya,  buku Andrew N Weintraub, Dangdut : Music,Identitas,dan Budaya Indonesia ( KPG,Jakarta); Emma Baulch (dosen Kajian Media Universitas Monas,Australia), Making Scenes: Reggae,Punk, and Death Metal in 1990’s Bali; Ekonomi-Politik Musik Rock : Refleksi Kritis Gaya Hidup (LP3ES,Jakarta); dan Jerremy Wallach,  Musik Indonesia: Kebisingan dan Keragaman Aliran 1997-2001 (Komunitas Bambu,Jakarta). Ini beberapa buku tentang musik populer Indonesia. Ketiganya membahas soal genre musik populer dengan penekanan yang berbeda satu dengan lainnya.

Kedua, memiliki perangkat teoritik, dalam tulisan ini teori seleranya Bourdieu. Diawali teori habitus: skema generatif tindakan (praktek) yang tertubuh/terbatin-kan (disposisi) dalam rentang waktu yang sangat lama. Penubuh-batinan (disposisi) itu melahirkan kapasitas pada seseorang dalam mengambil posisi dalam kehidupannya.

Kedua, teori ranah/medan atau field/camp: terdiri dari sejumlah hubungan sosial-historis di antara berbagai posisi yang berjangkar pada bentuk/kepemilikan modal (macam kapital ala Bourdieu -an)

Ketiga, ragam modal : modal sosial,kultural, dan ekonomi yang bisa dipertukarkan dan dikonversi satu sama lain dalam ranah/medan.

Tahap kedua :

Pertama, analisis medan musik populer :

Hal ini dibagi menjadi beberapa tahap :

Satu, menentukan design objek penelitian : penyanyi perorangan, band atau aspek tertentu dari anasir musikal (sepertu genre mislanya) .

Dua, mengenai karakter dan ciri dari medan musik populer : biasanya ada dua karakternya : medan musik populer sebagai arena perebutan antara beberapa kekuatan dan bagaimana agen-agen itu terbentuk akan terlihat jelas dalam medan musik populer.

Tiga, analisis medan musik populer : pengumpulan data,analisa, dan menyiapkan-hidangkan narasi (analisis) data.

Empat, menyusun sejarah habitus objek yang diteliti, mengujinya dengan membandingkan proses habituasi sejumlah agen terkait.

Selain habitus, konfigurasi modal di dalam medan seni populer sudah mulai harus dikelompokkan dengan rapi : agen-agen yang lebih menonjol modal kulturalnya; agen mana saja yang menonjol modal ekonominya; dan agen masa saja yang lebih menonjol modal sosialnya. Hal ini tidak untuk menunjukkan hubungan asimetris kelas sosial yang naif, tetapi menelisik kompleksitas distribusi modal dalam medan musik populer.

Medan musik populer memiliki ruang-ruang terstruktur dengan baik dan dalam ruang-ruang yang ada (biasanya relatif otonom) para agen mengambil posisi sesuai dengan dinamika kapitalnya masing-masing, dan bagaimana pusaran medan mendinamisir jumlah modal para agen.

Aspek apa yang menjadi situs perebutan para agen? Keuntungan ekonomi semata? Atau sekedar mempertahankan status quo berdasarkan modal? Dan bagaimana dinamika konversi modal dari para agen?

Dari pengumpulan data yang cermat pada tahap habitus, akumulasi modal, dan dinamika konversi dan pertukaran bebas modal di dalam ranah/medan musik populer akan memberi gambaran kepada penliti tentang pembentukan taste kolektif masyarakat. Dan itulah salah hal utama dari sosiologi praksis Bourdieuan. Wal Allahu haadi ilaa sawaa’is sabil.

 

[1] (Tulisan untuk Pelatihan Penelitian Budaya Populer di Indonesia yang dilaksanakan LPPM UIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta pada 29-30 Oktober 2018)

Tinggalkan komentar