Melihat Pramoedya Ananta Toer Dalam Sebuah Tetralogi Pulau Buru

  • Joseph Sebastian Nazareno Silaen
  • Lulusan dari Univeritas Negeri Yogyakarta, Jurusan sejarah
  • Menyukai Dunia Sejarah

Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan

Membahas Pramoedya Ananta Toer, pribadinya dan karyanya yang fenomenal itu. Saya adalah orang yang bisa dikatakan terlambat baca karyanya. Duduk dibangku perkuliahan aku mulai membaca buku-bukunya.

Buku awal yang kubeli adalah Jalan Raya Pos, Jalan Dandels pada mula untuk permulaan saya ingin yang tipis saja. Buku yang menjelaskan bagimana keadaan kota dipulau jawa mulai yang besar sampai yang kecil. Setelah selesai buku ini, saya malah rada bingung memilih buku selanjutnya.

Pramoedya Ananta Toer
dewanty09.blogspot.com

Berbekal obrolan singkat, saya memutuskan membaca yang paling fenomenal dalam berbagai bahasa baik dalam buku maupun di Radio-radio di belahan dunia. Bumi Manusia, dengan tokoh utama adalah Minke yang bersekolah di HBS dan pandai menulis.

Latar belakang seorang Minke yang ayahnya seorang bupati menjadikan kita mengingat kembali bagaimana sekolah didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana hanya anak-anak yang menjadi pejabat atau kaya (harus memiliki koneksi) yang bisa menyentuh bangku sekolah.

Pertemuan dengan Annieles dan Nyai Ontosoroh menjadi babak baru dalam kehidupannya. Minke yang kritis menjadi tenang ketika menemukan lawan bicara yang cukup memahaminya. Nyai Ontosoroh yang merupakan gundik dari tuan tanah Belanda karena desakan ayahnya. Minke yang merupakan anak cerdas namun kurang disukai oleh teman sekolahnya, kini mulai mengirimkan tulisannya ke media massa.

Karya Pramoedya Ananta Toer

Kalau bisa menjelaskan lagi sosok Nyai Ontosoroh, beliau sangat mendapat tempat yang kuat setelah Minke. Bahkan dalam lanjutan Bumi Manusia, Nyai Ontosoroh terlibat banyak hal dalam membentuk sikap Minke. Mulai dari memahami cara berpikir Belanda, sampai semangat untuk tetap menulis adalah peran yang begitu besar dari perempuan ini.

Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia

Sanikem dijadikan gundik atas kehendak ayahnya sendiri yang dijualnya pada seorang Belanda bernama Herman Mellema dengan imbalan gulden dan jabatan sebagai juru bayar. Semua itu tidak berarti bagi Sanikem yang telah merasa harga dirinya direbut.

Ia dendam kepada orang tuanya, lantas ia berusaha bangkit dengan belajar segala pengetahuan Eropa agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Dia belajar tata niaga, belajar bahasa Belanda, membaca media Belanda, belajar budaya dan hukum Belanda. Sebab dia berharap pada suatu hari semua pengetahuan itu akan berguna untuk diri dan anak-anaknya.

Nyai Ontosoroh berpendapat bahwa untuk melawan penghinaan, kebodohan, dan segala bentuk kemiskinan jalan satu-satunya hanyalah dengan belajar. Nyai Ontosoroh tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belanda tanpa cela, ia bahkan memimpin perusahaan keluarga.

Ia juga menjadi ibu tunggal bagi Robert dan Annelies Mellema. Nyai Ontosoroh bisa bersolek dengan necis layaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam tubuhnya. Nyai Ontosoroh berperan besar bagi  Minke, tokoh utama dalam Tetralogi Pulau Buru. Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahi Annelies.

Konflik pun terjadi, suami Nyai Ontosoroh, Herman Mellema dibunuh. Statusnya sebagai penguasa pabrik goyah. Dia sadar dirinya gundik yang tidak memiliki hak sedikit pun untuk memiliki perusahaan termasuk anaknya sendiri.

Ia tak mau menyerah begitu saja, lantas bangkit melawan untuk mempertahankan haknya bersama Minke menantunya. Tapi apa daya sekuat apa pun melawan, Nyai Ontosoroh hanya seorang Nyai. Dia benar-benar tak berkutik di hadapan hukum kolonial Belanda.

Mereka kalah di hadapan peradilan kolonial Belanda. Annelies Mellema diambil oleh orang-orang Belanda. Minke kekasihnya tak mampu berbuat banyak.

Anak Semua Bangsa

Dalam buku bertajuk Anak Semua Bangsa, Anda bisa melihat bahwa kebanggaan yang kuat kepada Minke. Minke yang menjalani kehiduapan setelah Annelies pergi Ke Belanda karena keputusan yang tidak bisa dicegah.

Minke kembali memfokuskan diri dalam kepenulisan. Walaupun tanpa dia sadari segala persoalan memicu dia menjadi sedikit berubah. Mulai dari kehilangan Istri, bertengkaran gara-gara selisih paham dengan Jean Marais, sampai usaha menulis untuk bangsanya yang dirasa semakin berat.

Pada awal kisah Annelise, diperkenalkan pula Robert Jan Dapperste seorang teman H.B.S Minke yang secara diam-diam mengawasi Annelise selama perjalanan menuju Netherland. kerapuhan Annelise sungguh disayangkan.

Akhirnya pun tidak bahagia. Di dalam kapal Annelise hanya diam membisu tak peduli akan sakitnya. Ahkirnya dia meninggal di Netherland. Nyai dan Minke sungguh kehilangan.

Dalam buku berjudul Anak Semua Bangsa ini, Sosok Nyai Ontosoroh lumayan dominan dalam buku ini. Seorang nyai yang hebat di mata Minke. Seorang nyai yang hebat di mataku juga. Pemikirannya maju, lebih maju daripada perempuan biasa pribumi lainnya.

Dia yang memberikan pengertian bagaimana atau mengapa sebaiknya seorang Minke yang harus tetap menulis. Rasa sayang kepada Minke makin menguat tatkala Anelise diberitakan meninggal. Harapan tergantung pada menantu yang ia sayangi sebab selain mengerti, Ia juga lawan bicara Nyai Ontosoroh yang menanggap Minke sangat sayang jika harus bertahan dengan kesedihannya.

Anak Semua Bangsa ini juga menceritakan persetan Rubert Suurhof. Juga Robert Mallema yang menghilang ke mana. Hingga pada akhirnya, Ia ditemukan bahwa dia sebagai seorang pelayar di kapal. Menceritakan kisah Jean Marais dengan perang Acehnya. Juga diceritakannya Kou Ah Shou, seorang aktivis China yang ingin menyadarkan bangsanya.

Pada suatau babak lain, kisah menceritakan tentang Trunodongso, seorang pribumi yang dipaksa menjual tanahnya untuk dijadikan kebun tebu. Lewat Trunodongso ini, Minke belajar mengenal bangsanya.

Pada intinya, tokoh dalam buku ini mulai melakukan pergerakan terutama melawan hukum baik secara tulisan. Pertentangan kelas penguasa (borjuis) melawan kelas rakyat jelata pun (proletar) terjadi. Pertentangan kelas pribumi terjajah melawan kelas bangsa penjajah (imperialis) terjadi.

Pada akhirnya Minke bisa bebas dari Wonokromo dan pergi ke Betawi untuk melanjutkan sekolah Dokter.

Pramoedya Ananta Toer Jejak Langkah

Minke bersekolah di Stovia di Batavia, awalnya dia mendapat perlakuan cukup buruk. Bukan hanya dengan para siswa. Aturan sekolah membuat rasa keadilan diinjak, dengan mesti berpakaian daerah, kemampuan menulisnya membuatnya dipanggil kepertemuan kelas atas. Ballroom yang mewah, dipenuhi para yang berkepentingan di Batavia.

Kuliah di Kedokteran membuatnya tidak kerasaan, pilihan keluar membubung tinggi. Akhirnya keluar lalu mencurahkan perhatian dalam dunia kepenulisan. Kemudian, Minke sudah mempunyai surat kabar sendiri dan mulai mendirikan organisasi. Minke mempunyai istri lagi setelah Annelis. Mei, seorang Tionghoa yang mati karena sakit parah.

Lalu di pertengahan buku Minke memiliki istri seorang anak raja Kasiruta, yakni Prinses Kasiruta. Prinses Kasiruta ini berbeda dengan dua perempuan yang pernah menemani hidup Minke. Prinses adalah perempuan tangguh yang sangat berbakti pada suami. Adegan yang sangat keren adalah saat peristiwa penembakan yang dilakukan Prinses Kasiruta. Itu keren. Pada akhir cerita Minke diasingkan ke Ambon.

Rumah Kaca

Buku keempat adalah buku terlama membacanya dibanding buku sebelumnya. Perubahan sudut pandang orang pertama membuat aku kurang menikmati. Aku merindukan Minke dalam buku ini, kebanyakan berputar pada  balada rumah tangga Pangemanan yang sebegitu berubahnya.

Dia naik pangkat (sebagai pengawas pergerakan pribumi yang sebelumnya dia adalah polisi) dan itu membuat kepribadian Pangemanan berubah.

Pada akhir buku ini, dimunculkannya kembali Minke. Setelah 5 tahun dipembuangan, akhirnya dia bebas dan kembali ke Betawi. Tapi kebebasan apalah kebebasan, dia tetap diawasi. Datang dengan kapal dia turun ke Surabaya.

Ditemani Pangemanan (tentunya) dia berkeliling Surabaya. Bernostalgia dengan masa lalunya. Pada akhirnya, dia kembali ke kapal dan meneruskan ke Betawi.

Sampai ke Betawi pun tak kalah mengharukan, dia disuruh tandatangan surat perjanjian agar tidak berpolitik lagi. Lagi-lagi, dia menolak dan menyisakan pesuruh untuk membuntutinya. Dia mencari teman-temannya, dia ke kantor Medan Prijaji tapi tak dihasilkan apa-apa.

Dia ke Bogor, kerumahnya, berharap bertemu istrinya tapi yang ditemuinya adalah Pangemanan (setelah naik pangkat Pangemanann meninggali ex-rumah Minke di Bogor).

Dia kembali ke Betawi, mencari temannya, tapi tak dihasilkan apa-apa. Akhirnya dia bertemu seorang temannya tanpa sengaja dan dibawalah Minke ke rumahnya. Minke jatuh sakit, berobat pun tetap diawasi. Dokter yang memeriksa Minke ditodong untuk tidak mengatakan penyakitnya. Kondisinya memang buruk, dan akhirnya dia meninggal.

Dunia terasa jahat padanya. Sungguh, diusiannya yang masih muda dia harus mengalami semua ini.
Terakhir, Nyai Ontosoroh mecari Minke di Hindia, tapi kabar buruk yang diterimanya. Sungguh Pangemanann dan Belanda adalah tidak adil.

Salah satu karyanya yang luar biasa adalah Tetralogi Pulau Buru yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel ini ia tulis ketika ia diasingkan oleh rezim Soeharto ke penjara di Pulau Buru, karena tuduhan sebagai anggota organisasi terlarang PKI.

Ia ditahan selama 14 tahun pada zaman Orde Baru tanpa adanya kepastian hukum dalam kasusnya. Karya pertama Pram pertama kali terbit di Australia pada saat itu, sungguh Ironis memang. Bagaimana mungkin karya anak bangsa yang seharusnya lebih dihargai dalam negeri sendiri justru diperkenalkan pertama kali oleh bangsa asing. Banyak tulisan karya Pram dibakar pada masa Orde Baru.

Meskipun harus dipenjara, Pram tidak berhenti berkarya. Ia menuangkan ide brilian dan kritikannya terhadap pemerintah akan korupsi dan kehidupan Feodal Javanisim pada abad ke 20. Semua itu Pram gambarkan di buku Tetralogi Buru yang sangat luar biasa. Dalam novelnya, ia banyak menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan akan peranan manusia dan bagaimana harus menjadi manusia.

Karya Pramoedya Ananta Toer dalam menulis tetralogi ini bukan pekara enteng. Terkait data yang dia susun jauh tertinggal entah ke mana. Jauh dari data, mencoba mengingat dari balik penjara. Maklum saja, ide membuat buku ini dimulai saat ada di pulau Buru. Suatu pulau yang menjadi rumah bagi tahanan politik.

Tempat kita untuk Pramoedya Ananta Toer, adalah tekanan dalam stigma juga pujian. Pada sisi Pramoedya Ananta Toer juga diserang karena sikap kritik pedasnya bagai algojo sastra. Semua aksi terhadap karya sastra yang kurang pas baginya.

Pada suatu sisi, dia adalah sastra setelah Jassin dan Chairil yang dipuja dunia karena karya. Dialah sosok yang berusaha didaftarkan masuk sebagai nominasi Nobel. Namun sayang sepertinya keberuntungan belum berpihak. Maka satu kata yang ingin saya ucapkan, “Bacalah Buku Pram!”.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Pramoedya Ananta Toer-Bumi Manusia

Tinggalkan komentar