Mau Dibawa ke Mana PLTA Peusangan-4? Sebuah Refleksi Peran Pemuda

Mau Dibawa ke Mana  PLTA Peusangan-4? Sebuah Refleksi Peran Pemuda

Isra Novari

Dilansir dari laman web beritakini.co, PLTA peusangan-4 di Aceh kembali disebut-sebut, ini merupakan salah satu hasil kunjungan presiden Joko Widodo ke Korea Selatan. Selain nama PLTA-4 Peusangan nama PLTA Samarkilang 77MW di Bener Meriah ikut disebut-sebut pula.

Proyek PLTA-4 Peusangan tampaknya berhasil mengait dua perusahaan Korea yakni Hyundai Engineering and Construction  co. Ltd dan Korea South-East Power Corporation (KOEN). Kesepakatan ini merupakan hal yang positif bagi Indonesia dalam skala besar sebab dapat meyakinkan para investor  bahwa Indonesia merupakan tempat yang nyaman untuk berinvestasi.

Beberapa keuntungan lain mungkin akan dirasakan oleh beberapa perusahaan lokal dalam menambah pengetahuan dari kedua perusahaan asing yang ikut menjelma di Indonesia.

Lantas kesepakatan ini tampaknya akan mengundang  polemik dikalangan masyarakat, terkhusus masyarakat sekitaran Takengon dan Bener Meriah. Mau dibawa kemana PLTA-4 Peusangan?

Pertanyaan seperti ini tentu sudah lama bersarang dalam benak masyarakat Takengon, terlebih pemuda-pemuda yang menginginkan sebuah perubahan besar daerah mereka. Hasil yang belum tampak selain pintu terowongan yang dapat diintip dari pinggiran jalan raya membuat masyarakat berasumsi A, B… sampai Z sesuai dengan kecurigaan masing-masing.

Proyek ini ikut menjadi cerita panjang yang menjadi keyakinan masyarakat serta pemuda kritis dengan “ramalan” mereka bahwa Indonesia akan kembali terjajah, hal ini bukan tiada beralasan namun dilihat dan dicermati dengan baik-baik bahwa tenaga kerja lokal mulai tersingkirkan.

Sektor ketenagakerjaan menjadi sebuah permasalahan yang terus dihadapi Indonesia namun lagi dan lagi pemerintah memilih menarik tenaga kerja dari luar. Dalam hal ini pemerintah tidak 100% salah dalam memilih kebijakan karena tingkat pendidikan masyarakat kita yang masih rendah. Namun ini menjadikan rakyat semakin miris, sebab rakyat yang menjadi tuan rumah bukanlah menjadi raja namun menjadi pelayan dikerajaan sendiri.

Indonesia mau terus berdiam? Bukankah Indonesia akan segera menghadapi keuntungan demografi? Lantas siapa yang akan menikmati keuntungan itu jikalau bukan rayat? Usaha apa yang sudah dipersiapkan agar menjadi pemeran utama?  Banyak pertanyaan yang terus-menerus menguak.

Jawaban itu bersarang tepat pada pemilik pertanyaan. Harusnya proyek ini bukan hanya sekedar menjadi hal yang harus diprihatinkan bangsa Indonesia dan masyarakat lokal, ini harus menjadi cambuk untuk pemerintah agar bisa memperbaiki sistem pendidikan, melahirkan insan-insan yang berpendidikan dan berkarakter yang akan memotori kemajuan bangsa ini.

Proyek ini dapat menjadi pelita untuk mengurangi angka pengangguran di tanah Gayo sebagai putera-puteri daerah, namun apa yang terjadi? Sebagian besar dari kita adalah penonton, atau sebagian diatara kita adalah buruh kasar dalam proyek ini. Kenapa hanya menjadi buruh kasar?

Sebuah Refleksi Peran Pemuda

Ini tanah kita!!! Tingkat pendidikan yang rendah serta keahlian yang tidak dapat disuguhkan masyarakat dalam proyek besar ini adalaha salah satu kendalanya. Banyak dari kita lalai dengan kemajuan, terutama anak-anak muda baik pelajar atau mahasiswa. Mereka sudah dimanja dengan teknologi, hal ini menjadikan mereka malas untuk belajar bahkan rasa peduli akan masa depan mereka yang teramat sedikit.

“Pemuda” yang dibutuhkan negara ini adalah pemuda. Kebangkitan Islam? Penggeraknya adalah pemuda. Kemerdekaan Indonesia? Juga adalah pemuda. Tidak sepantasnya jikalau bangsa ini ingin bergerak maju namun pemudanya masih diam dan terus berkecamuk hanya dengan rasa prihatin saja.

BERGERAK!!! Itu adalah kata yang pantas untuk diri kita sendiri, menyadarkan diri bahwa Indonesia, bukan hanya Indonesia melainkan Tanah Gayo membutuhkan orang-orang yang cerdas, yang bergerak, yang berkarakter bukan yang hanya diam ditempat.

Hanya bisa menyaksikan dan menangisi. Ini saatnya pemuda bergerak. Di dunia ini tidak ada seorang yang bodoh yang ada hanya seorang yang malas. Sama halnya dengan sekarang, hanya sekedar membaca judul besar tentang negaramu kemudian berdalih dan mengacuhkannya.

Putera-puteri daerah kita harusnya tidak hanya berakhir sebagai buruh kasar atau sebagai seorang petani. Menjadi seorang petani bukan hal yang salah, namun seharusnya putera-puteri kita dapat menjadi petani berdasi, pengusah kopi atau bahkan menjadi lebih besar lagi.

Pemuda kita juga tidak boleh hanya fokus dibidang pertanian, sebab pembangunan di daerah kita bukan hanya dibidang pertanian. Ini termasuk pembangunan PLTA atau infrastruktur lainnya. Pemuda kita harus bergerak dibanyak bidang, “engineering” yang mencakup konstruksi, pertambangan, teknik lingkungan dan lainnya.

Pemuda kita juga bisa bergerak dibidang industri, karena mengembangkan kopi bukan hanya sekedar menjual kopi mentah. Dibidang politik dimana pemuda harusnya menjadi penggerak dan penggagas utama. Kita harus kembali melahirkan mutiara-mutiara abad 21 Indonesia teristimewa mutiara tanah Gayo.

Saya sebagai seorang mahasiswa banyak memperhatikan orang-orang disekitar saya, mereka memilih diam dengan persoalan negara. Diam pula saat daerahnya mungkin akan dijajah secara tidak langsung. Saya percaya bahwa pemuda Gayo adalah orang-orang yang disebut dengan generasi yang akan menunggangi Indonesia mendapatkan keuntungan demografi, bukan pemuda yang dilahirkan hanya untuk menyaksikan.

Proyek PLTA yang  menjadi tontonan bersama,  kita harusnya bukan menjadi buruh kasar, kita adalah pemilik kerajaan. Apa kita tidak bisa memegang peran penting dalam proyek itu?? Jika nasi sudah menjadi bubur bukan berarti kita tidak bisa meng-enak-kan rasanya.

Banyak yang diincar dari daerah kita, kita harus bersiap bukan berdiam. Bumi Indonesia kaya, begitu pula dengan daerah kita. Jadilah insan yang berpendidikan yang akan membawa agama dan bangsa yang besar ini pada kejayaannya.

Negara ini sudah merdeka sejak 73 tahun lalu, sekarang bukan penjajah yang menjadi musuh kita melainkan bangsa ini sendiri. Kita bukan lagi bersaing dengan orang kita sendiri melainkan dengan semua penduduk bumi. Pemuda kita harus bangkit, pemerintah perlu meng-amin-kan.

Pemerintah perlu mendukung dan mengawasi pemuda kita, sebagian besar permasalahan dari pemuda adalah perekonomian bagaimana pemuda akan bergerak jika pemerintah memilih diam dan membiarkan saja. Semua pihak harus bergerak sejalan agar bangsa ini benar-benar meraih kejayaannya.

Disamping itu, kebijakan ini juga bukan berarti dapat digunakan sebagai bahan kampanye, terlebih kampanye yang seolah mengkambing hitamkan salah satu pasangan calon presiden. Hal ini mengingat akan pesta demokrasi yakni pemilihan presiden secara langsung yang akan dihadapi bangsa yang besar ini.

Masyarakat juga harus jeli dalam mempertimbangkan pandangan mereka, sebab diera ini informasi mudah sekali beredar ditengah-tengah masyarakat baik informasi yang benar atau hoax.

Kami menitik beratkan persoalan ini kepada pergerakan dari rakyat Indonesia dan berbagai sektor yang terkait agar bergerak maju, meningkatkan kualitas pendidikan dan keahlian sehingga dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan dan kenyamanan serta kepercayaan negara lain berinvestasi di negara kita.

Hari yang akan datang adalah milik kita, penggeraknya adalah kita sendiri. Mau menjadi apa bangsa ini adalah kebijakan kita. Setiap permasalahan di bangsa ini bukan milik satu atau dua orang saja melainkan seluruh rakyat Indonesia dalam ikatan ukhuwah.

Hari ini pula kita harus berani menentukan sikap “Tetap diam atau bergerak dan terus bergerak sampai kepada kejayaan”. Permaslahan yang dihadapi juga bukan tentang alat yang bisa digunakan untuk saling menjatuhkan, melainkan sebuah momentum untuk kita duduk bersama, kembali kepada hakikat musyawarah untuk sebuah kebijakan yang akan membawa bangsa ini kepada puncak kejayaannya.

Isra Novari

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Geofisika

Semester 3 Universitas Syiah Kuala.

“Menulis adalah tentang seberapa kamu ingin diingat, seberapa kamu ingin bermanfaat”

Tinggalkan komentar