Pistol Kematian

Penulis

Winda Efanur FS, alumnus UIN Sunan Kalijga Yogyakarta. Beberapa karyanya terdokumentasikan dalam antolologi puisi dan cerpen seperti Tubuh Bencana, Hitam Putih Kata, Menjadi Indonesia dan Pelangi Kenangan. Email : [email protected]

Setiap orang takut dengan kematian. Padahal mati adalah jalan menuju keabadian. Pembebasan dari air mata dan pemberontakan. Aku tidak takut kematian sejak penangkapan itu. Penangkapan yang membuat keadaan rumah kacau.

pistol kematian
pixabay.com

Aku, dan ibu terpaksa mengungsi ke Desa Pandes. Desa tempat tinggal kakek. Kakek seorang lurah di sana menjamin keselamatan kita. Tapi bapak telah tertangkap pemberontak pada malam itu. Pada malam itu sekitar pukul Sembilan malam. Sekawanan orang mendobrak rumah kami. Mereka mencari bapak.

“ Parman, Parman buka pintunya!”

Bapak menyuruh kami untuk pergi lewat pintu belakang. Aku menolak pergi. Aku ingin melindungi bapak.

“ Marni, bawa Lesti pergi dari sini!” pinta bapak.

“ Tidak Mas, kami tidak akan pergi tanpa Mas”

Ibu dan kami bersikeras mengajak pergi. Tapi bapak memilih bertahan. Dia tidak ingin dirinya menjadikan celaka bagi kami. Pemberontak itu berniat jahat kepada bapak. Aku tak tahu kenapa bapak dimusuhi banyak orang.

Bapak itu orang baik pekerjaannya merawat musola di desa. Kalau pagi dia mengepel, membersihkan kamar mandi musola sesekali menjadi imam sholat kalau Pak Haji ijin mengimami sholat.

Tapi setelah  pemberontakan Darul Islam, bapak jadi dibenci banyak orang. Bahkan Pak Haji, Pak Samsul dan semua orang yang sering ke masjid sudah dibunuh. Aku tidak tahu kenapa bapak, dan orang-orang banyak dibenci oleh orang-orang. Tapi yang pasti aku benci para perusuh itu. Mereka telah menghancurkan keluargaku.

Dengan linangan air mata dan isak tangis yang coba aku tahan. Aku mengikuti langkah kaki ibu. Kami berjalan kaki di tengah malam. Menerobos kelam dan hutan. Dari kejauhan kami mendengar letupan pistol. Dadaku bergetar seketika.

“ Bapaakkkk!”

Ibu langsung menutup mulutku. Dia memintaku untuk tidak menangis. Tapi dia malah menangis. Air atanya membasahi pipi. Sejak saat itu aku terbiasa menelan air mata sendiri. Sepanjang perjalanan kami menzikirkan tangis dan bapak. Bayangan bapak terus menemani kami hingga sampai di rumah kakek.

***

Di rumah kakek aku semakin belajar menahan tangis karena pemberontak juga mengincar kakek. Kakek bersiap-siap untuk melarikan diri. Aku dan ibu pun ikut melarikan diri. Kami berniat pergi ke Jawa Timur melalui kereta api.

“ Aku lelah berlari Kek”

“ Kalau kamu mau hidup, kamu harus menyelematkan nyawamu”

“ Kenapa kita tidak melawan mereka, aku sanggup membunuh mereka”

“ Jumlah mereka sangat banyak, kamu melawan mereka sama saja kamu menggali kuburan sendiri”

Kakek tidak mengerti untuk apa berlari menjauhi mati. Toh, ajal itu pasti datang. Sejak kematian bapak. Aku tidak takut mati. Aku akan berteman dengan kematian.

“ Marni, situasi sudah sangat kacau, yang benar jadi salah, yang salah semakin salah. Kita jangan mendekati mereka bila tidak ingin cari mati. Pemberontakan Daurah Islamiyah adalah  bom waktu bagi rakyat. Pemberantasan pemerintah terhadap mereka, dimanfaatkan untuk menciptakan huru-hara saling mengadu domba”.

“ Tapi Parman jadi korban pak”

“ Aku tahu kesedihanmu, tapi kita tidak bisa menjadi cengeng. Ini zaman perang hanya dua pilihan hidup atau mati”

Kakek memberikan ibuku pistol untuk melindungi diri. Dia juga menyelipkan pistol di saku celanannya. Kakek tidak memberiku pistol.

“ Lesti kamu ingin pistol? Besok kakek belikan pistol-pistolan ya”.

***

Di dalam kereta kami beristirahat dengan tenang. Ibu dan kakek tertidur pulas. Saat mereka tidur, aku diam-diam mengambil pistol yang ibu sembunyikan di jaritnya. Aku masukan pistol itu di dalam bajuku.

“ Door!”

Sebutir peluru menembus kepala kakek. Sekawanan pemberontak itu mengikuti pelarian kami. Ibu terbangun. Dia langsung disergap lelaki kekar. Aku pun di tangkapnya. Kami diikat di bangku kereta. Sementara para penumpang lain langsung mundur ke gerbong lain. Mereka membiarkan kami melawan maut sendirian.

Pemberontak itu menyeret mayat kakek lalu membuangnya lewat pintu. Di lantai tercecer darah kakek. Aku menangis dan menelan tangisanku sendiri.

Belum puas disitu mereka menggoda ibu. Tali yang mengikat ibu dilepas. Disentuhnya tubuh ibuku dengan nakal. Mereka menjamah bagian intim tubuh ibu. Di depan mataku ibu meronta-ronta, menangis dan menjerit. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Hingga aku ditendang. Saking kerasnya ikatanku terlepas.

“ Marni, Parman sudah mati, Kakek tua itu juga mati. Kini buat apa, kamu menangisi mereka. kita lebih baik bersenang-senang”,

Mereka melingkari ibu. Menyaksikan laki-laki kekar itu menelanjangi ibu. Aku bangkit dan mengambil pistol dari dalam baju.

“Door!”

Peluru menembus punggung lelaki kekar itu. mereka kaget berusaha menyerangku. Aku tembakan peluru membabi buta. Suara peluru saling beradu. Darah mengalir dari dadaku. Tiba-tiba aku merasa lemas. Aku melihat bayangan bapak, kakek, dan sayup-sayup suara ibu.

Cilacap, 24 Desember 2016

 

Tinggalkan komentar