Pesan dalam Draft Ponselku

Winda Efanur FS, seorang penulis lepas.

Alumnus Fakukultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Email: [email protected]

“Apa cinta harus diutarakan?”, “ Apa cinta harus memiliki?” Pertanyaanmu kini tergiang-ngiang di telingaku. Pertanyaan itu memantul-mantul di hatiku. Kamu bertanya kepadaku. Aku pun tidak mengetahui jawabannya. Dalam diammku aku juga bertanya kepada hatiku sendiri. Ada sebuah pesan dalam draft ponselku yang sebenernya ingin ku ungkapkan.

Pesan dalam Draft Ponselku
pixabay.com

Perasaan adalah getaran yang halus. Landasan berpikir, berucap hingga berbuat. Apalagi perasaan cinta. Cinta yang bersarang di hati seseorang. Cinta perasaan yang bersembunyi di balik lembutnya tutur katamu. Cinta juga keindahan yang terpancar dari senyumanmu.

Cintamu meminta kediaman dimana cinta itu memiliki ruang untuk tumbuh. Cintamu membutuhkan jawaban, apakah cintamu dapat mekar di hatiku. Cinta, cinta dan cinta. Ahh.. kamu memposisikanku sebagai orang jahat yang tidak memiliki perasaan.

Selama ini aku membahasakan cinta dalam perbendaharaan alam. Cinta layaknya sejuk embun yang hinggap di dedaunan kala fajar. Cinta bukan kata, bahkan perumpamaan. Cinta bahasa yang mengawinkan rasa dengan logika. Cinta tidak memiliki rupa namun mengikat manusia dengan alam benda.

Setiap detik waktu terjatuh, nafas cinta terus berhembus. Setiap ranting patah, ada getaran hati yang goyah. Ahh.. lagi-lagi kamu menjadikanku sebagai orang jahat yang tidak memiliki perasaan.

“ Ping!”

Pesan BBMmu mengaburkan percakapanku dengan diriku sendiri. Dalam pesanmu kamu pamitan ditugaskan kerja di luar kota.

“Jangan kangen lhoo, haha,”

“ Ee.. tidak lah, kan cuma dua hari,”

“ Biar kangen berapa hari,”? tanyamu.

“ Dua tahun, haha,” Jawabku singkat.

“ Hemm, ya sudah tiga tahun sekalian. Biar kangennn bangett, haha,”

“ Iya, haha,”

Begitulah aku dan kamu berkomunikasi. Kata-kata yang mengalir hanya gurauan. Aku dan kamu intens saling kirim kabar. Kita masing-masing merasa nyaman dengan hubungan ini. Ribuan kata telah kita uraikan bersama-sama. Kata-kata itu mengikat kebersamaan yang ada. Kata demi kata jatuh sambil lalu.

Seiring angin berhembus kata itu pun hilang. Namun aku merasakan maksud yang kamu sembunyikan, selama dua tahun kita berteman. Mungkin dua pertanyaanmu tempo hari. Dua kalimat, yang menjadi hukuman perasaanku. Aku ragu. Kembali aku melihat pesan dalam draft ponselku, sebuah pesan yang ingin kusampaikan.

Aku kira tugasmu mendadak. Belum ada sehari kamu mengutarakan perasaanmu padaku. Kini kamu pergi ke luar kota. Sementara aku belum memberikan jawaban untukmu. Meskipun aku bisa saja mengirim pesan, bahkan menelponmu. Tetapi jawabanku seolah kurang afdhal.

Bila tidak mengatakan langsung kepadamu. Kepergianmu ke Samarinda, sejenak meloloskanku dari tikaman pertanyaanmu. Hal itu mengaburkan pertanyaanmu. Dengan objek lain yang semakin mendesak untuk kita bincangkan.

Jarum jam dikamarku menunjuk pukul 00.00 Wib atau pukul 01.00 di Samarinda kotamu. Genap sehari kamu meninggalkanku sendiri. Hari pertama di meja kerjaku tidak ada lembaran puisimu. Kata-kata gombal yang kamu muntahkan begitu saja. Jujur, aku geli membacanya karena kamu asal mencopot metafora kata. Niatmu membuat kata yang puitis justru terperosok menjadi kata-kata berantakan.

***

Di luar dugaan kantor mengulur waktumu di Samarinda untuk waktu yang tidak bisa dtentukan. Aku merasakan kekosongan begitu saja. Kini sudah memasuki 30 hari kepergianmu. Sebulan lamanya kita berpisah. Ada yang hilang dari diriku. Tetapi apa? Lagi-lagi pertanyaanku menggaung di hati. Aku ragu.

Sebenarnya aku ingin bercerita kepadamu, akhir-akhir ini aku sering melamun sendiri. Kadang-kadang aku memandangi lembaran-lembaran puisimu. Kadang pula, aku salah memanggil Rahman dengan namamu, Arman. Sontak Agus, Leli, Burhan, Sari, dan Erna membully-ku. Aku dibilang korban LDR- Bunga yang kesepian.

Kamu tentu akan tertawa mendengarnya atau justru tersenyum bahagia. Entahlah. Aku ingin ceritakan semua yang terjadi di sini selama kamu pergi. Tetapi lagi-lagi, semua cerita yang aku tulis gagal aku kirimkan. Semua pesan itu  tersimpan rapi  di draft pesanku. Selanjutnya aku mengetik kata-kata yang baru.

“ Ciye, sombong nih, yang sudah jadi bos kelapa sawit di Samarinda,”? Aku membuka percakapan.

“ Tidak juga, masih menjadi tukang foto kopi, kok”

“ Halah, pasti lagi foto kopi uang,”

“ Hahaha, inginnya sih begitu. Uang untuk melamar,”

“ Wuiih, mau melamar siapa nih,”? tanyaku serius.

“ Hemm, aku kasih tahu tidak, yah,”

Percakapan via BBM berlangsung selama 30 menit. Gurauan dan gelak tawa mewarnai percakapan kita. Lambat laun gurauan yang biasa terasa renyah perlahan menjadi hambar. Kamu tidak seperti dahulu. Si raja kocak, yang selalu bisa membuatku tertawa. Kali ini, aku merasa ada yang berbeda darimu. Aku berpikir itu karena menumpuknya pekerjaanmu di sana. Aku mengerti penempatan kerja di daerah, membuat karyawan lebih tertekan dibandingkan kerja di pusat.

Satu hal yang menyangkut di pikiranku. Tentang niatmu melamar seorang gadis. Tanpa aku duga, hatiku berdebar kencang saat kamu ingin melamar seseorang. Aku sungguh bahagia. Akhirnya kata-kata sejati mampu kamu ucapkan sekalipun sebatas gurauan. Karena hanya laki-laki sejati yang berani melamar wanita pujaannya.

Kamu telah menunjukan bahwa dirimu, bukan si raja gombal seperti dahulu. Kamu adalah Arman, seseorang yang berani mencintai dan menjaga cintamu. Ahh.. aku semakin yakin dengan jawabanku. Jawaban yang menggantungmu selama dua tahun.

***

Senin pagi begitu ceria. Cahaya mentari mengawali pagi ini dengan kehangatan. Aku membuka hari ini dengan sejuta senyuman. Aku lemparkan salam terhangat kepada semua karyawan kantor. Beberapa diantara mereka keheranan. “Si Bunga yang selalu menampakan muka serius, kali ini membuka topengnya.

Dia tampak bahagia sekali,”. Bisikan itu meski sayup-sayup, dapat aku dengar dengan jelas. Aku tidak peduli dengan pendapat mereka. Aku terus menebarkan kebahagiaan di kantor. Hari ini adalah hariku. Aku seolah terlahir kembali di dunia ini. Dunia yang menenggelamkanku pada lautan cinta.

Aku membuka komputerku. Aku setting gambar desktop komputer dengan foto aku dengan kamu. Kamu itu Armanku. Selanjutnya aku mengerjakan tugas kantor dengan begitu ringan. Oh, iya. Aku ingin mengucapkan selamat pagi kepadamu. Belum sempat aku menekan tombol kirim di ponselku. Tiba-tiba ada pesan masuk ke handpshone-ku. Lagi, aku menyimpan pesan untukmu di draft pesanku.

“ Bungaaa!!! Apa yang terjadi Arman meminang gadis lain? Mengapa bisa begini, kalian bukannya baik-baik saja,”?

Pesan singkat dari Leli, telah membunuhku. Hati ini remuk berkeping-keping. Aku tak berwujud lagi. Hanya ada lautan air mata dan aku tenggelam di dalamnya.

“Arman, Arman, Arman”,! Aku ingin mengatakan jawabanku. Aku mencintaimu dengan nafas dan denyut jantungku. Bodohnya, aku tak mampu mengungkapkannya. Kata-kata itu yang selalu gagal ku kirimkan padamu. Pesan dalam draft ponselku. Kini aku akan menghapusnya,” bisiku dalam hati.

Mendadak kepalaku pusing dan semuanya menjadi gelap.

Cilacap, 6 Oktober 2016

Selesai

Tinggalkan komentar