Omnibus Law dan Dampaknya Kepada Pekerja Media

Omnibus Law dan Dampaknya Kepada Pekerja Media

Omnibus Law dan Dampaknya Kepada Pekerja Media

Pada hari Senin malam kemarin (5/10/2020) Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU Cipta Lapangan Kerja (UU CILAKA) atau kondang disebut Omnibus Law. Suka cita langsung menghampiri para elit politik dan pengusaha dengan harapan bahwa UU ini melancarkan aspek usaha.

Namun suara penolakan secara lantang langsung datang dari pihak Pekerja. Pasalnya jika ditelisik lebih dalam, UU Cipta Kerja ini menghilangkan beberapa pasal dan ketentuan yang selama ini menjadi hak pekerja.

Beberapa pasal yang dihilangkan dari Omnibus Law tersebut antara lain hak libur mingguan yang menjadi satu hari untuk enam hari kerja (sebelumnya terdapat opsi dua hari libur untuk lima hari kerja), libur panjang dua bulan setelah enam tahun berturut-turut bekerja, pengupahan untuk pembayaran pesangon dan pajak penghasilan pekerja.

Sementara jaminan hari tua dan kesehatan pekerja justru tidak dibahas dalam RUU ini. Selain itu kewajiban pemilik modal salah satunya yaitu mengangkat karyawan kontrak setelah tiga tahun bekerja justru dihilangkan. Itu belum pasal lain yang juga dihilangkan dengan rincian yang banyak.

Sampai tulisan ini muncul, demo besar mulai terjadi di kota-kota besar yang digalang sejumlah mahasiswa dan organisasi buruh. Bagi pekerja, Pandemi Covid-19 bukanlah alasan untuk tidak memperjuangkan masa depan mereka saat ini.

Kenyataannya UU Omnibus Law ini dari awal pembahasan sampai disahkan hanya membutuhkan waktu singkat. Ada kesan bahwa DPR “memanfaatkan momen” untuk menggenjot pembahasan ini dengan mengesampingkan situasi akibat pandemi.

Bagaimana dengan Pekerja Media Kita?

Sejak senin malam, saya melihat secara kasar rata-rata media saat ini cenderung memberitakan secara kritis mengenai RUU ini. RUU ini memang kontroversial sejak dalam pembahasan awal. Masalahnya terletak pada sejumlah penghapusan pasal-pasal yang selama ini menguntungkan pekerja.

Uniknya hal ini justru berkebalikan ketika sebelum pembahasan. Menurut studi yang dilakukan oleh lembaga Remotivi, media ternyata justru memberitakan secara lebih positif Omnibus Law ini ketika pembahasan. Penelitian berjudul “Omnibus Law: Media Menjadi Humas Pemerintah” mengungkap bahwa media memberitakan secara positif Omnibus Law sebesar 51,99%  (Remotivi, Maret 2020).

Lalu apakah Omnibus Law dapat memberi dampaknya kepada pekerja media? Setidaknya saya mencatat ada tiga hal krusial yang berdampak pada pekerja media.

Omnibus Law dan Dampaknya Kepada Pekerja Media

Pekerja Media berbasis “Outsourcingisme”

Logika ala Outsourcing sangat terasa ketika pembahasan Omnibus Law ini. Defenisi pekerja tetap misalnya dalam banyak pasal dihilangkan dan berimbas pada pengaturan pekerja.

Dalam Pasal 66 UU Cipta Kerja No.13 Tahun 2003 misalnya disebutkan bahwa bahwa penyedia jasa buruh tidak boleh melaksanakan kegiatan pokok dari perusahaan yang menjadi rekanan. Artinya hanya untuk penunjang dan kegiatan yang tidak berhubungan pada tingkat produksi.

Namun dalam pasal 66 Omnibus Law yang baru, ketentuan itu dihilangkan. Batasan tersebut kenyataannya juga tidak dibahas lebih lanjut, alih-alih tetap dibatasi. Artinya terbuka peluang penyedia jasa pekerja dapat melaksanakan kegiatan pokok perusahaan.

Memang, dalam beberapa hal bahasa yang digunakan pada Omnibus Law adalah kemitraan. Saya mencatat media online Jatim Times Network mulai menggunakan skema ini. Namun prinsip kerjanya sama saja dengan outsourcing dikarenakan hak dan kewajibannya dibebankan oleh perusahaan pihak ketiga atau penyedia jasa outsourcing yang dikenal dengan istilah sharing profit.

Dalam konteks pekerja media, jurnalis, editor, tim kreatif maupun pekerja di bidang media otomatis akan mengalami hal yang sama. Media di masa depan berdasarkan Omnibus Law ini bisa dijalankan oleh penyedia jasa outsourcing di bidang media dan bekerja bukan sebagai jurnalis media melainkan jurnalis dari jasa penyedia tenaga outsourcing. Kebijakan ini bisa melemahkan jurnalis dikarenakan hak dan kewajibannya berbeda jika dibandingkan ketika jurnalis dibawah perusahaan media secara langsung.

 

Hak Pekerja Media bisa Dipotong

Pada dasarnya Omnibus Law membuka lebar-lebar perusahaan untuk mengontrak karyawan. Masalahnya adalah kedepannya terbuka kemungkinan bahwa pekerja di masa depan bisa dikontrak tanpa batasan waktu.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Pada pasal 59 UU Cipta Kerja No.13 Tahun 2003 tentang kewajiban mengangkat pekerja yang sudah melewati masa kontrak, dalam draft yang baru justru dihapus. Sebelumnya pasal ini mewajibkan perusahaan untuk mengangkat pekerja setelah tiga tahun mengabdi dan mengangkatnya sebagai pegawai tetap.

Hapusnya pasal tersebut berimbas pada kontrak kerja yang tidak memiliki batasan dan membuka kemungkinan pekerja media dikontrak seumur hidup. Dasar inilah yang membuka kemungkinan antara pekerja media (jurnalis, editor, dan lain sebagainya) dan tenaga kerja outsourcing menjadi sama saja.

Batasan yang hilang ini juga membuka peluang bahwa di masa depan hak dan kewajiban pekerja media didasarkan pada kontrak yang tidak mengikat alias tanpa batas. Imbasnya pekerja media bisa dikontrak dan diputus sepihak oleh perusahaan media maupun penyedia jasa outsourcing tanpa batasan waktu sesuai kepentingan pemodal.

 

Upah Jurnalis Akan Lebih “Ramping”

Adanya penghapusan sejumlah pasal dalam UU Omnibus Law yang baru juga berimbas kepada pengupahan perusahaan kepada pekerja. Misalnya perubahan UU Cipta Kerja yang baru pada pasal 88 pada poin B “Upah ditetapkan berdasarkan: satuan waktu; dan/atau satuan hasil”.

Masalahnya adalah pasal ini secara otomatis menghapus pasal 89 tentang upah minimum provinsi/kabupaten/kota dan upah minimum sektoral (UMK dan UMSK). Walhasil kedepannya terbuka lebar pengupahan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya yang berbeda sektor dipukul rata. Artinya upah pekerja media akan sama dengan sektor lain.

Selain itu pasal 91 pada UU Cipta Kerja No.13 Tahun 2003 ditetapkan bahwa “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha pekerja/buruh atau serikat pekerja serikat buruh tidak boleh rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam UU Omnibus Law, poin itu dihapuskan bersamaan dengan pasal 89 tadi. Padahal selama ini kontrak kerja menjadi hal yang menjadi sentral antar kedua belah pihak dengan penawaran satu arah saja (dari pemilik modal kepada pekerja media). Hak-hak pekerja media untuk mendapatkan hak lebih cenderung akan dikesampingkan dan pengusaha bisa lepas dari sanksi yang sebelumnya diberlakukan apabila melanggar kesepakatan.

Padahal, jika dilihat dari beban kerja media itu sendiri sudah barang tentu berat dikarenakan kerja media tidak hanya di dalam kantor melainkan juga dilapangan. Ada juga jurnalis yang bekerja lebih dari 10 jam sehari. Itu belum termasuk laporan berita yang juga harus dibuat dengan ketentuan yang berbeda-beda tekanan baik waktu maupun isinya. Jelas hal tersebut bisa dikatakan sangat tidak sepadan.

Omnibus Law juga menghapus ketentuan sanksi bagi pemilik modal yang tidak membayar gaji sesuai ketentuan. Apa artinya? Hak upah pekerja media akan banyak dipotong meskipun perusahaan memberi kesepakatan tersendiri dari yang sekarang berlaku.

 

Kesimpulan

Sejumlah poin krusial itu jika memang benar terjadi, maka dikhawatirkan terjadi penurunan kualitas pekerja media sendiri dikarenakan kesejahteraan pekerja media yang terpotong. Tidak menutup kemungkinan bahwa aspek tersebut akan sampai pada budaya kerja media yang buruk.

Serikat pekerja media yang semakin ditekan oleh perusahaan, praktek jurnalisme “bodrex” sampai “amplop”, maupun praktek kotor lainnya atas nama pekerja media justru dikhawatirkan dapat berkembang kembali. Praktek kerja media akan menurun yang nantinya ditandai dengan tidak berimbangnya wacana media yang cenderung didominasi oleh kaum borjuis baik pemodal maupun politisi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Remotivi, Omnibus Law: Media Menjadi Humas Pemerintah, Maret 2020.

RUU Cipta Kerja (Sudah Disahkan Menjadi UU Cipta Kerja Final ketika diunduh 6 Oktober 2020).

Saya juga berterima kasih kepada kolega saya Hamidah Izzatu Laily, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka yang telah memberi saran detail pada bagian pengupahan.

Tinggalkan komentar