Narasi Kecil Keluarga Difabel

REVIEW BUKU HIDUP DALAM KERENTANAN, NARASI KECIL KELUARGA DIFABEL

Hidup dalam Kerentanan, Sebuah NarasI Keluarga Kecil Difabel
Review Buku ACADEMIC INDONESIA

Judul buku              :  Hidup dalam Kerentanan, Narasi Kecil Keluarga Difabel.

Disusun oleh           :  Tim Peneliti Kerentanan Keluarga Difabel SIGAB.

Editor                       :  Ishak Salim dan M. Syafi’ie.

Foto                           :  Tim SIGAB.

Desain Visual          :  Narto Anjala.

Dicetak oleh            :  Pustaka Sempu

Cetakan pertama    : Desember 2014.

Tebal                         : x + 330 halaman, 14 x 21 cm.

Buku ini merupakan sebuah karya tulis ilmiah  yang disusun oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel) yang menyoroti kerentanan 10 keluarga difabel dalam ranah ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan hukum.

Akar masalah yang diambil dalam penyusunan buku ini sebenarnya adalah implementasi UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menggunakan indikator kemiskinan sebagai acuan penentuan masyarakat penerima jaminan sosial yang sudah disiapkan oleh pemerintah, baik itu JAMKESOS maupun JAMKESDA.

Serangkaian aktifitas penelitian yang dikoordinatori oleh Ishak Salim dan M. Syafi’ie ini memotret lebih dekat mengenai kehidupan 10 keluarga difabel dengan kondisi divabilitas beragam dalam menjalani kehidupan sosial bermasyarakat yang bersifat heterogen dan dinamis. Hal yang disoroti adalah kerentanan sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh hambatan dan kendala divabilitas dari kesepuluh keluarga difabel objek penelitian ini.

Hal yang menarik dari buku ini adalah digunakannya indikator kerentanan untuk memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat difabel terutama di ranah kehidupan sosial karena indikator kemiskinan diangap tidak relevan serta semakin menyisihkan masyarakat difabel dari hak-hak mereka sebagai manusia seutuhnya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah pernyataan awal yang dilontarkan oleh penyusun di bagian awal buku ini adalah “mengukur kemiskinan sejauh ini adalah sebuah tindakan politik”.

Tentunya, pernyataan ini memang sejalan dengan realitas kehidupan para elit politik Indonesia baik yang sudah duduk di tahta pemerintahan, maupun yang akan bersaing memperebutkan tahta pemerintahan itu.

Namun, para elit politik itu tidak menyadari bahwa, indikator kemiskinan yang mereka pakai untuk menciptakan negara sejahtera dan makmur itu sudah tepat? Hal inilah yang dikritisi dalam buku karya SIGAB ini.

Intisari

Dalam buku ini juga digambarkan bahwa indikator kemiskinan yang dipergunakan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mewujudkan kemakmuran negara seperti jaminan sosial sering kali menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat karna data hasil survei dengan indikator kemiskinan ini tak sepenuhnya tepat sasaran.

Sering kali keluarga yang tergolong mampu mendapatkan jaminan sosial, namun keluarga yang tergolong dalam kategori miskin malah tak terjamah bantuan jaminan sosial ini.

Hal ini berarti bahwa dalam menetapkan suatu kebijakan, pemerintah harus mencari indikator lain yang lebih tepat memecahkan permasalahan ini, atau melengkapi indikator kemiskinan dengan indikator lain yang bisa lebih pas untuk menjamah rakyat dalam  mewujudkan bangsa yang sejahtera dan makmur.

Indonesia yang sejatinya menggunakan sistem ekonomi Nioliberalisme atau pasar bebas tentunya banyak membuahkan dampak negatif bagi sebagian warga negara atau yang biasa disebut kegagalan pasar (Market failures).

Tentunya, kegagalan pasar ini mengorbankan konsumen sebagai penikmat barang yang ujung-ujungnya bisa berisiko menjadi difabel. Hal ini patut menjadi sorotan pemerintah untuk bisa lebih menciptakan iklim persaingan pasar yang sehat agar masyarakat tak selalu menjadi imbas sistem yang telahdibuat.

Namun, permasalahannya, kitika masyarakat telah menjadi difabel atau terlahir difabel bagaimanakah pemerintah bisa mensejahterakan mereka? Hal inilah yang menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia yang telah meratipikasi CRPD sebagai payung hukum untuk masyarakat difabel Indonesia.

Tentunya untuk merumuskan solusi bagi pemerintah dengan PR besarnya terkait masyarakat difabel, buku ini hadir memberikan gambaran melalui penelitian yang dilakukan oleh tim sigab dengan menggunakan metode Etno Grafi kualitatif.

Penelitian ini ditujukan untuk membantu merumuskan rekomendasi bagi negara dalam mengupayakan pemenuhan hak-hak serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat difabel dalam kehidupan sehari-hari dengan mencari indikator yang tepat untuk mensejahterakan masyarakat difabel tersebut sekaligus membangun kafabilitas serta kapasitas mereka sebagai manusia utuh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Lagi-lagi, persoalan aksesibilitas menjadi problem besar bagi pemerintah dalam memenuhi hak-hak warga difabel. Hal ini mengharuskan adanya sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat difabel serta lembaga yang menjadi jembatan antara keduanya dalam hal pemenuhan informasi.

Buku yang disajikan dengan bahasa yang sederhana ini berusaha membangun indikator alternatif yang bisa lebih memanusiakan manusia yakni indikator kerentanan. Hal ini lebih tepat rasanya jika ingin merumuskan kebijakan pro difabel dengan segala jenisnya serta kebutuhannya yang beraneka ragam.

Hal ini berbeda dengan indikator kemiskinan yang bertumpu pada besarnya pendapatan. Hal ini tentunya bisa melahirkan kebijakan atau sistem yang bertepuk sebelah tangan karna ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan. Ini tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia dengan masyarakat berbudaya, beradab serta beragama.

Dalam Pancasila silah keempat disebutkan, “kemanusiaan yang adil dan beradab” tentunya adil disini harus mencakup segala rana, yakni politik, ekkonomi, politik, sosial, pendidikan dan hukum. Jangan sampai ada masyarakat yang tersisihkan oleh sentuhan tangan pemerintah khususnya bagi negara Indonesia yang mengamalkan Pancasila.

Namun kenyataannya, para elit politik negara ini banyak bermain dan melupakan tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Akibatnya masalah-masala yang dikaji dengan indikator kemiskinan saja menjadi PR seumur hidup dari satu presiden ke presiden lain terlebih lagi hutang-hutang negara yang dijadikan hutang turun temurun bagi masyarakat negeri ini.

Indikator kerentanan yang dipakai dalam penelitian yang dilakukan oleh 10 peneliti SIGAB ini berusaha memberikan pemahaman bagi pemerintah bahwa, ada indikator lain yang lebih pas bagi masyarakat difabel agar bisa merasakan bantuan dari jaminan sosial yang dirumuskan oleh pemerintah.

Indikator kerentanan ini jika dipadukan dengan indikator kemiskinan akan memberikan dua perspektif mengenai difabel bahwa, faktor ekonomi tidaklah cukup untuk menjamah masyarakat difabel untuk hidup sejahtera, melainkan ada faktor lain yakni kondisi sosial yang mereka alami dari kerentanan hidup mereka sebagai difabel.

Buku ini dalam isinya banyak menyoroti faktor kemiskinan yang menjadi beban terbesar bagi para keluarga difabel. Selain itu, faktor kemiskinan juga banyak memunculkan penyandang disabilitas baru yang membutuhkan penangan khusus sesuai dengan kondisi disabilitasnya.

Namun disisi lain, penyandang disabilitas atau difabel juga memiliki potensi atau kelebihan khusus dibalik divabilitasnya. Hal ini yang sering tidak terjamah oleh lingkungan sosial sehingga diskriminasi sering menimpa masyarakat difabel.

Kenyataan ini terjadi akibat lingkungan sosial lebih banyak melihat kulit luar masyarakat difabel itu tanpa melihat isi jeroan dalam dari masyarakat difabel tersebut yang disana mesih terdapat banyak kelebihan dan anugrah yang bisa dioktimalkan, demikian buku ini menyoroti serta mengkritisi fenomenaitu.

Metode Etnografi yang digunakan untuk menelaah kerentanan difabel yang diangkat dalam buku ini, memunculkan ulisan-tulisan dengan bahasa sederhana, yang bisa memberikan imajinasi bagi pembacanya untuk membayangkan realitas yang terjadi atau dialami oleh difabel yang dijadikan opjek penelitian dengan jumlah 10 orang ini.

Tuntutan dari metode Etnografi yang mengharuskan peneliti untuk membuat catatan lapangan serta menyusunya ke dalam sebuah bentuk laporan tentunya bisa memunculkan sebuah karia tulis ilmiyyah yang bersifat deskriptif agar mudah dipahami oleh para pembaca.

Dalam mengkaji kpermasalahan kerentanan ini, tentunya membutuhkan waktu yang panjang serta penelaahan mendalam terlebih lagi jika kaitannya dengan permasalahan atau isu-isu difabel yang sangat kompleks dan froblematis.

Hal ini sebetulnya yang menjjadi salah satu kekurangan penelitian yang disajikan dalam buku ini, selain juga ada hal lain yakni kesalahan penulisan yang banyak ditemukan dalam isi buku ini.

Namun, hal ini tak menjadi suatu masalah besar karna buku ini menyajikan analisis mendalam dari pakar kajian disabilitas serta para aktifis difabel yang menyoroti realitas 10 informan yang diangkat dalam buku ini dengan berbagai problematika yang melanda mereka akibat dari faktor kemiskinan absolut yang menimpa mereka.

Belum lagi kondisi disabilitas atau difabel yang dialami oleh anggota 10 keluarga difabel yang diteliti ini sangat beraneka ragam dan disetiap keluarga ada yangg tak hanya satu anggota keluarga difabel bahkan lebih.

Kenyataanya, kondisi difabilitas yang dialami seseorang bisa berisiko kemiskinan, terlebih lagi jika hal tersebut menimpa keepala keluarga sebagai tumpuan ekonomi keluarga atau tulang punggung rumah. Hal ini juga bisa lebih diperparah jika dalam satu keluarga terdapat kepala keluarga dan anggota keluarga yang kesemuanya difabel terlebih lagi yang membutuhkan penanganan khusus.

Hal ini mengakibatkan peran istri yang seharusnya bisa menggantikan peran suami dalam mencari nafkah justru malah terhambat. Namun, hal ini tidak akan terjadi apabila pemerintah ikut andil menangani keluarga difabel Indonesia yang berada di garis kemiskinan agar kehidupan mereka bisa lebih sejahtera.

Hal ini bisa terwujud jika kondisi disabilitas atau difabel dimasukkan dalam kriteria penerima bantuan jaminan sosial seperti JAMKESSOS maupun JAMKESDA apa lagi tahun 2016 ini Indonesia telah mengesahkan UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang didalamnya juga menyinggung hak-hak difabel serta persoalan aksesibilitas yang akap kali menjadi permasalahan besar bagi difabel. Hal ini yang juga disoroti dalam buku Hidup dalam kerentanan, narasi kecil keluarga difabel ini.

Difabel dengan segala problematikanya, baik dibidang ekonomi yang berupa akses lapangan kerja, pendidikan dengan akses ke berbagai jenjang, sosial yakni kebutuhan akan lingkungan masyarakat inklusi dan hukum yang mampu mengakomodir hak-hak hidup difabel tentunya membutuhkan segala elemen masyarakat untuk menuntaskannya.

Indikator kerentanan yang digunakan dalam buku ini dapat dijadikan solusi bagi pemangku kebijakan untuk memutuskan kebijakan yang pro difabel. Hal ini karena indikator kemiskinan mengabaikan disabilitas untuk menjadi syarat agar bisa mengakses jaminan sosial yang disediakan pemerintah untuk kesejahteraan rakyatnya terlebih lagi bagi masyarakat difabel yang memiliki biaaya hidup lebih tinggi dari pada non difabel.

Sebagaimana yang digambarkan dalam buku ini bahwa problematika kemiskinan yang dialami oleh 10 keluarga difabel ini sangatlah kompleks dan indikator kerentanan inilah yang bisa mengurai kompleksitas kemiskinan itu.

Paling tidak, dengan indikator ini buku yang disusun dari hasil penelitian etnografi bisa menghasilkan solusi afirmatif sebagai pertolongan bagi masyarakat difabel seperti akses lapangan kerja, edukasi tentang difabel dan isu-isunya bagi pemerintah, pendataan mengenai masyarakat difabel yang lebih mendalam lagi dan sebagainya.

Solusi

Jika menelisik ke negara ini, solusi lapangan kerja bukanlah satu-satunya solusi tepat untuk menuntaskan kemiskinan masyarakat difabel, justru ada solusi lain yakni edukasi wira usaha mandiri serta kreatif untuk masyarakat difabel terlebih lagi saat ini telah memasuki era MEA atau masyarakat ekonomi Asean yang menyebabkan adanya pasar bebas di negara-negara Asean.

Selain itu, di ranah pendidikan Home schooling merupakan solusi pintar bagi difabel dengan hambatan mobilitas agar mereka bisa memperoleh ilmu pengetahuan untuk bekal hidup mereka. Hal ini yang luput dari buku ini karena untuk memberantas kemiskinan yang berakibat kerentanan adalah penguatan sektor ekonomi dan pendidikan.

Problematika difabel memang sangat kompleks dan butuh kajian berkelanjutan untuk memecahkannya, mengapa demikian? Karna, dalam Al-Qur’an pun hanya satu kisah difabel yang sangat populer yakni Abdullah Bin Umi Maktum yang diabaikan oleh Rasulullah saat ia mau belajar Islam yang kemudian ditegur oleh Allah berupa peringatan hingga akhirnya Abdullah bin Umi maktum dijadikan Mu’azin bersama Bilal.

Hal ini menjadi PR besar bagi kita semua bahwa untuk menegur pemerintah, perlu dilakukan kajian mendalam tentang isu-isu difabel hingga memberikan rekomendasi rasional seperti yang terdapat dalam buku ini. Tentunya, buku yang juga dilengkapi dengan foto-foto serta desain yang menarik ini layak untuk dijadikan referensi sebagai gizi untuk otak kita semua terkait persoalan difabel.

Tinggalkan komentar