Ketika Iklan Menjadi Prioritas Acara Televisi

  • Joseph Sebastian Nazareno Silaen
  • Lulusan dari Univeritas Negeri Yogyakarta, Jurusan sejarah
  • Menyukai Dunia Bola

Perubahan acara televisi impor di Indonesia semakin menggila, hampir semua bermain dengan nuansa Korea, India, dan Turki. Acara produksi stasiun televisi menghadirkan tontonan jauh dari harapan, dan kita rela atau terpaksa untuk menikmatinya.

Berbicara tayangan Impor adalah bagaimana masyarakat menikmatinya dan terlena. Apakah kaum pria dan mahasiswa bebas nilai dalam acara televisi dengan perbullyan dengan logika mereka yang begitu tinggi.

TV dalam masyarakat adalah sesuatu yang primer untuk dimasuki setiap rumah dan android ataupun apple adalah barang wajib dalam kantong celana. Ketika ibu-ibu dalam jam-jam siang ke sore nonton Uttaran, Veraa, atau Ashoka maka kaum pria menikmati produk Eropa sebagai tanda kemajuan zaman.

Kecintaan masyarakat Indonesia terhadap liga-liga Eropa mengantarkan kita sebagai salah satu pionir  asia. Tanpa kita sadari, kita memang pengamat dan penikmat turnamen tapi masih terhipnotis dengan iklan.

Semua acara di Indonesia tergantung dengan iklan mulai dari Anak Jalanan, 7 Manusia Harimau, Uttaran, sampai kepada Barclays Primer League semua tergantung sponsor. Dalam menjaga pasar, membangun kerjasama dengan TV adalah sebuah langkah yang wajib dilakukan.

Masyarakat kita pun sulit move on dengan acara televisi yang sangat banyak. Acara TV yang begitu besar pengaruhnya bukan hanya mengibur, tapi disisi lain mencerdaskan dan penting sekali.

Ketika TV pada siang dan sore dikuasai Ibu-ibu atau prempuan, ketika akhir pekan atau tengah malam maka sudah TV menjadi konsumsi kaum pria atau Bapak. Menariknya, iklan kini adalah pendorong utama dalam mempertegas acara TV.

Mulai dari panjangnya Commercial Break, adanya iklan di tengah acara, nama acara dengan sponsor, sampai kuis yang disponsori  dengan sponsor utama semua ada di Indonesia. Pada akhirnya kita melihat contoh panjang acara yang sejati hanya 1/2 atau 2/3 dari durasi yang ada.

Semisal kita menonton pertandingan Arsenal dan Manchester United, dengan menonton stasiun TV swasta Indonesia. Kita menyalakan pada pukul 20.30 malam, mulai dengan komentar sejak awal acara walaupun jika kita membuka jadwal resmi acara masih 1,5 jam lagi.

Kita mendengarkan porsi yang panjang mulai dari obrolan sampai kuis sebelum acara. Hal ini belum ditambah berberapa kali Commercial Break sampai iklan sponsor utama yang dilangsungkan. Saat menonton pertandingan kita akan melihat setelah menyelesaikan diskusi dari pembawa acara (pembuka).

Sponsor Tunggal dan Rating

acara televisi
wartepop.blogspot.com

Kita tidak bisa menyalahkan jika sebagian masyarakat akhirnya bosan, lalu memilih paket parabola untuk menonton TV. Kita memang bisa merasakan bosan proses acara TV yang berlangsung namun bukan tidak menyukai keutuhan suatu program acara. Rating terhadap Uttaran masih begitu tinggi, durasi begitu panjang.

Masuknya dan banyaknya iklan belum mampu memaksa ibu-ibu untuk menganti siaran ke stasiun TV lain. Padahal banyak sekali dogma iklan yang harus disingkirkan, seperi bagimana kuis sponsor yang mementingkan produk daripada acara.

Jika hari ini adalah produk balsam kamu akan menemui pertanyaan, bagimana Baslam cap XXX dipakai? atau produk lainnya. Kasus ini juga terjadi dalam acara-acara lain, yang mengunakan berberapa menit dalam durasi acara.

Banyak produk yang dijual membuat persaingan semakin gila, maka dengan menyasar acara TV adalah syarat yang mutalak dilakukan. Jika dalam berberapa tahun lalu acara pertandingan sepakbola impor dan local dilangsungkan. Iklan-iklan memang memiliki latar belakang dengan sponsor tunggal.

Liga Italia yang sempat berlabuh di SCTV dan RCTI disponsori dengan perusahaan rokok Djarum Super sedangkan sempat berpindah Liga Inggris di MNC Group dulu, Gudang Garam menjadi Sponsor.

Berapa kali Liga Indonesia disponsori rokok menjadi warna sendiri di Indonesia. Secara jelas dengan komentar kita yang jenuh dengan Iklan di Indonesia baik yang kurang mendidik, tidak jelas maksudnya hingga “absurd” terlihat di Indonesia.

Wisnhutama dengan pandangan ya menyentil bagimana iklan di Indonesia. Baginya iklan yang ditampilkan pengiklan tau brand harus memiliki kewajiban mencerdaskan sponsornya.

Absurdnya sebagian Iklan

almu-namikaze.blogspot.com
almu-namikaze.blogspot.com

Dengan gamblang salah satu iklan pembalut yang mengambarkan ketika pria mendapat haid dan memakai pembalut. Pada satu sisi saya setuju, bahwa perkembangan terhadapa media makin gila, dan TV adalah salah satu terbesar.

Dengan rataan kasar, hampir setiap rumah memilikinya barang satu buah. TV menjadi hiburan yang melihat masyarakat langsung. Mereka mentransfer kesukaannya terhadap sebuah acara dengan dunia maya.

Sehingga ketika sudah menonton acara olahraga dan ikut memberikan komentar dengan hashtag yang ada dilayar kaya. Kejadian itu adalah sama dengan kamu mengomentari acara Uttaran dan sebagainya, dan pada suatu hari, komentar kamu akan dibacakan lalu dihubungi untuk berpartisipasi.

Kita pun belum beranjak bangku untuk acara TV yang panjang. Kita juga menerima kita jauh memilih mengkonsumsi media sosial untuk kesenangan kita dan keinginan untuk selalu eksis.

Brand baik baru maupun yang terkenal membutuhkan angka yang meningkat dan cukup stabil. Salah satu untuk mewadahi keinginan mereka adalah Iklan. Merancang iklan, melakukan proses pembuatan, editing, sampai siap ke lempar ke publik.

Ketika acara pencarian bakat melakukan adegan dalam acara TV semisal satu konsestan membuat mie atau kopi. Semua itu biasa saja, harusnya anggap sebagai hiburan. Kita juga harusnya lebih selektif dalam mengkonsumsi iklan, karena keseringan menonton iklan sebagai kesatuan dalam acara TV.

Kita tidak bisa meminta bahwa acara TV menghilangkan iklan yang kita benci. Karena iklan memiliki penikmat. Peran Badan Pengawas Iklan serta YLKI, harusnya bisa duduk bersama dalam menangani iklan dalam TV.

Sebab, mereka yang memiliki kewajiban dalam memberikan porsi-porsi yang baik untuk durasi, kenyamanan masyarakat, serta bagaimana iklan layanan masyarakat (iklan pemerintah) dapat disampaikan. Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 sejatinya dapat dikembangkan sesuai keaddan media sekarang.

Tidak bisa disangkal selain undang-undang ini, salah satu ujung tombak terbaik saat ini Etika Pariwara Indonesia. Kontrol lain yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah dengan menjadi “penikmat iklan yang cerdas”.

Yang tak begitu saja mudah terkena bujuk rayu, tapi dengan bijaksana mencari informasi dari sumber-sumber lain yang lebih sahih, mencari second opinion dari orang-orang yang lebih ahli di bidangnya.

Tinggalkan komentar