19 Kata-kata Mutiara Pendidikan Paling Dahsyat Abad Ini

Kata-kata Mutiara Pendidikan

1.Kebenaran Ilmiah

Nah, bagi yang masih saja hobby berlindung di balik kebenaran ilmiah, ketahuilah bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran empirik dan temporal. Sehingga kebenaran ilmiah dapat berubah dalam hitungan jam.

Jika kalian begitu bangganya dengan sebuah hasil penelitian yang sangat valid, maka percayalah bahwa saya mampu membalik hasil penelitian yang sama hanya dengan memainkan beberapa teknik statistik saja

Dan jika kalian ingin menjadikan interpretasi penelitian sebagai ujung tombak untuk mempertahankan amoralitas kalian, maka saya siap menawarkan interpretasi sebaliknya dari data riset ilmiah yang persis sama.

2. Wahai Guruku

Wahai guruku, tak tahan hatiku belakangan ini engkau sering dihina para orangtua. Hasratmu ingin menegakkan peraturan, berbuah pengadilan. Niatmu untuk meluruskan, berakhir pembalasan.

Percayalah, itu bukan karena gajimu kecil… bukan karena bajumu lusuh… bukan karena kendaraanmu tua… Tapi karena jiwamu telah bertekuk lutut dihadapan dunia, takluk atas selera dan pemilik kuasa.

Ayo, guruku… Tegakkan marwah mulia. Tegakkan kepala di hadapan orangtua. Jadilah pembicara seminar pendidikan yang menginspirasi. Bebaskan segala hajat dan kebutuhan dari saku-saku mereka. Cukuplah rendahkan diri dihadapan Yang Maha Perkasa

3. Amanah Tersirat

Sebuah kompetensi tak diukur semata-mata dari gelar dan atribut formalnya, tapi dari penguasaan pengetahuan, sikap dan kecakapannya. Maka, tak heran jika Thurstone yang pakar elektro justru mendesain tes inteligensi, sedangkan Rogers yang pakar pertanian mendesain metode psikoterapi.

Jadi, kita tak perlu terlalu mempertanyakan apakah seorang sarjana Kehutanan kompeten untuk menjadi seorang presiden, walau ia bukan ahli ilmu Politik dan Hukum Tata Negara. Mungkin Allah sedang menitipkan amanah penanganan hutan padanya.

Yang patut untuk kita pertanyakan adalah jika kita dilarang mengkritisi kinerja seorang presiden, karena formalitas kita dianggap kurang kompeten.

4. Jangan Permudah Ilmu

Kompetensi Iptek itu adalah barang teramat rumit. Dan yang mampu melahirkan kompetensi itu adalah otak bawah sadar: sebuah kapasitas raksasa yang ribuan kali lebih hebat daripada otak sadar.

Lalu, kapankah otak bawah sadar itu berfungsi? Hanya jika manusia telah jumpalitan, berdarah-darah, terengah-engah dan nyaris putus asa dalam menuntut ilmu. Ya, menuntut ilmu, bukan belajar ilmu !!!

Maka, wahai para pendidik, jangan permudah ilmu, tapi paculah daya juang murid-muridmu untuk menguasainya. Ijinkan mereka untuk berkali-kali panik tak mengerti, hingga suatu ketika mereka berteriak: Aha !!!

5. Makna Menuntut Ilmu

dailysocial.id
dailysocial.id

Boleh percaya boleh tidak, tapi saya meyakini bahwa manfaat dari sebuah disiplin ilmu diantaranya sangat bergantung pada penghormatan kita terhadap para pemilik dan pemberi ilmu.

Diantara caranya adalah dengan mendatangi sumber ilmu dengan penuh respek, bukan menyuruh sumber ilmu mendatangi murid-muridnya. Dan itulah makna hakiki dari MENUNTUT ILMU.

Sangat menyedihkan hari ini saya mendengar para dosen sebuah perguruan tinggi ternama mendatangi kantor para mahasiswanya untuk memberikan kuliah, dengan alasan kesibukan kerja para mahasiswa

6. Dik,…

Dik, betapa hari ini kalian tampak begitu bangga dengan jaket almamater yang kalian sandang. Sebuah kebanggaan yang wajar, dik, karena begitu banyak yang berebut ingin menyandangnya.

Tapi, tahukah kalian, dik, bahwa tanggung jawab kalian sejak hari ini begitu berat? Karena kalian beruntung… kalian Tuhan pilih… kalian dibiayai oleh uang rakyat… kalian memakai fasilitas negara…

Mari kita menghitung hari, dik, apakah kalian sebentar akan menjadi koruptor muda. Ya, ketika kalian mulai berkata “aku salah jurusan”, ketika kuliah kalian tak tuntas, ketika kalian tak kompeten, atau ketika kalian tak mengamalkan ilmu kalian, berdalih “bukan passionku”

7. Bangun Kebaikan, Jangan Tangisi Keburukan

Telah lebih dari enam bulan lamanya, saya bersama sebuah tim diminta untuk menyusun sebuah Tafsir Peradaban. Lalu, bak para ilmuwan, kami segera mencari tahu: Kenapa terjadi kebiadaban?

Lalu surat demi surat kami telusuri, tentang musabab jahiliyah, yang turun di awal kenabian. Tapi lagi-lagi yang kami temukan adalah petunjuk jalan peradaban, bukan diagnosis kebiadaban.

Subhanallah… Tampaknya Allah ingin menjadikan penegak peradaban ini menjadi “arsitek”, bukan “dokter”; menjadi “desainer” bukan “terapis”. Jadi, mari bangun kebaikan, bukan tangisi keburukan.

8. Syukur atas Potensi Diri

Duhai, andai kita tahu betapa banyak dan hebatnya ilmu yang telah Allah ajarkan lewat ilham ke perpustakaan bawah sadar kita, sungguh Google dan Wikipedia adalah sekumpulan idiot belaka.

Duhai, andai kita sadar betapa hebatnya hati dan kepala Allah ciptakan untuk membaca isi dunia, tentulah kita akan lebih sering bertanya “ke dalam” daripada kepada seorang jenius mandraguna.

Maka, salah satu bentuk syukur kita atas potensi dari Sang Maha Pencipta adalah lebih banyak menggali kapasitas diri (inside-out) sebelum terburu-buru bertanya kepada para ahli (outside-in).

9. Teori

Begitu hinakah arti sebuah teori, sehingga banyak yang mencemoohnya penuh ejek: “Ah, teori…”? Andai saja mereka tahu, betapa sebuah teori lahir dari akumulasi dan formulasi ribuan praktek.

Sungguh, jika seseorang menguasai sebuah teori valid, lalu imajinasinya mencari esensi tuk memaknainya, maka dia akan berkata: “Berikan aku satu teori, akan aku berikan seribu solusi”

Tapi, ketika ilmu terapan lebih dipuja-puja daripada ilmu murni, ketika empiri lebih dipercaya deripada nalar, dan ketika yang syahadah lebih diimani daripada yang ghaib, maka teoripun hilang arti.

10. Lumpuhnya Kapaasitas Intelektual Mahasiswa

Terus terang, saya makin cemas dengan rendahnya kemampuan abstraksi para mahasiswa. Rendahnya daya abstraksi akan berujung pada buruknya konseptualisasi, formulasi dan menbangun teori.

Mungkinkah ini karena pendidikan telah begitu kongkret, sehingga imajinasi hilang daya? Mungkinkah ini karena pendidikan telah begitu praktis, hingga segalanya baru bisa dipahami lewat praktek?

Yah… inilah akibatnya ketika pendidikan identik dengan pemanjaan. Sehingga lumpuhlah kapasitas intelektual manusia, sebuah kapasitas dahsyat yang hanya akan keluar jika dipaksa.

11. KONVOI MOGE DALAM PERSPEKTIF TEORI KERUMUN (CROWD THEORY)

Dalam Psikologi Sosial, berkerumunnya manusia atas dasar kesamaan tertentu akan melahirkan jiwa kelompok (group mind). Dan group mind itu akan semakin mudah terbentuk jika tingkat kohesivitas psikologisnya semakin tinggi.

Kohesivitas psikologis itu bisa disebabkan oleh kesamaan klub pujaan (misalnya Jak Mania), kesamaan hobby (klub gowes), kesamaan gaya hidup (kaum snob), kesamaan status sosial (kalangan jetset), kesamaan profesi (ikatan dokter) dan sebagainya.

ah, bagaimana dengan komunitas Moge ? Pada komunitas ini terpadu beberapa kohesivitas sekaligus : hobby, gaya hidup dan status sosial. Jika mereka berhimpun hingga sepuluh orang dalam jarak tak sampai 20 m (social space), maka dapat kita bayangkan group mind aura yang dapat mereka tebarkan : keangkuhan !

Lalu, bagaimana jika yang berkumpul 4000 orang, memakai group attributes(jaket, kacamata, helm, sepatu dsb), dikawal polisi (legitimation symbol), dan di jalanan pula (jalan adalah rimba adu kuasa) ? Maka secara psikologis dapat kita bayangkan dahsyatnya group mind aura yang mereka muncratkan : Parade Arogansi Raksasa !!!

Nah, kebetulan Jogja sangat sensitif dengan aura beginian. Di kultur mereka masih kental etika “Ngono yo ngono, ning ojo ngono“, “Ojo dumeh“, “Ojo adigang,adigung, adiguna“, dsb. Atau, kalau dalam pepatah Minang : “Jagalah rasa dan periksa”, “di mana bumi dipijak-di sana langit dijunjung”.

Makanya, dalam strategi marketing penjualan mobil mewah di Jogja, para ATPM tak pernah menjual mobil dengan warna “menantang dan mentang-mentang” (Psychology of Color).

Maka, Jogjapun “melawan”. Namun peristiwa dua hari lalupun sebenarnya kurang tepat jika dikatakan sebagai tindakan perlawanan, apalagi gerakan perlawanan. Mungkin lebih tepat jika dikatakan sebagai “simbolisasi perlawanan”. Maklumlah, orang Jogja itu sangat alegorik.

Karena mereka terbiasa protes dan unjuk rasa ke Sultan secara alegorik pula . Lalu, orang Jogjapun memilih simbolnya: SEPEDA !!! Ya, bukan truk pasir dari Kaliadem.

Sebenarnya justru yang lebih menarik menurut saya bukan peristiwa penghadangan itu sendiri. Tapi respons netizen tentang peristiwa tersebut. Semuanya seperti sedang menyanyikan sebuah koor: Mengecam konvoi Motor Gede dan mengecam penggunaan hak diskresi kepolisian atasnya.

Secara peraturan polisi tak salah, tapi secara sosial rupanya bermasalah. Inilah yang dalam filsafat hukum sering disebut sebagai “rasa keadilan yang berkembang di masyarakat”.

12. Wahai Guru, Pukaulah Muridmu

Para guru yang mulia, memang betul bahwa agar ilmu yang kalian sampaikan bisa terserap dengan baik, maka kalian harus sajikan sebaik mungkin, semenarik mungkin, dan semenyenangkan mungkin.

Namun, kalian bukanlah pekerja industri jasa, kalian bukan penghibur di atas pentas. Jangan sampai waktu kalian habis untuk menyiapkan “aksi panggung” daripada menyempurnakan ilmu dan membakar gairah.

Maka, pukaulah muridmu dengan kedalaman ilmu, pikatlah mereka dengan gelora ruh, pesonakan mereka dengan ketulusan. Biarkan muridmu letih berburu ilmu, bukan kalian yang terengah-engah menyuapinya.

13. Melayu yang Dibunuh Kemelayuannya

Negeri Laskar Pelangi ini selalu indah untuk dikunjungi. Bukan hanya alamnya, tapi justru orang orangnya yang begitu murah senyum. Tataplah mata mereka, maka mereka akan tersenyum kepada anda

Tapi sungguh aku sangat cemas dengan hasil test kepribadian anak-anak mereka. Mereka mulai tampak kehilangan hasrat sosial, hilang keguyuban dan kebersamaan.

Inilah buah pendidikan yang terlalu menekankan ranking, kompetisi dan capaian-capaian duniawi. Otak cemerlang namun budi hilang. Mereka Melayu yang dibunuh kemelayuannya oleh pendidikan

14. Wajar Menghukum Kesalahan, Tinggi Apresiasi Kejujuran

Ketika seorang anak dengan jujur mengakui kesalahan yang ia buat, lalu ia dihukum berat karena kesalahannya itu, mungkin ia akan berhenti melakukan kesalahan, tapi juga akan kapok berkata jujur.

Maka sejak saat itu akan tumbuh sebuah generasi yang perilaku lahirnya minim kesalahan, tapi mentalitasnya sebenarnya koruptif. Ya seperti pejabat kita yang berkelakuan baik itu, tapi miskin integritas.

Jadi, hukumlah kesalahan anak kita secara wajar tapi apresiasilah pengakuan jujurnya setinggi langit. Jadikan dia kapok dengan kesalahannya, tapi amat bangga dengan kejujurannya.

15. Hak Pendidikan dari Orang Tua

Dalam sejarah perjalanan anak manusia, ternyata yang kelak sukses dalam menjalani hidupnya adalah anak-anak “nakal”. Kenapa? Karena anak-anak “nakal” kenyang dengan pendidikan orangtuanya.

Berbeda dengan anak-anak “baik” mereka justru kurang mendapatkan hak pendidikan dari orangtuanya. Mereka telah diperlakukan sebagai anak-anak yang “telah lulus” dan tak perlu dididik lagi.

Kasihan anak-anak “baik”. Tanpa sengaja mereka telah “dizalimi” dan “dianaktirikan” dalam pendidikan oleh orangtuanya. Apakah mereka harus menjadi “nakal” dulu untuk mendapat hak pendidikannya?

16. Guru

“Menjadi guru itu mungkin tak enak. Karena hidup dalam akumulasi kekecewaan.

Murid kecewa dengan guru. Guru kecewa dengan murid. Guru kecewa dengan atasan. Atasan kecewa dengan guru.

Tapi segalanya akan berujung bahagia. Kelak, guru akan bangga dengan muridnya dan murid akan bangga dan rindu dengan gurunya. Kelak, atasan akan berterimakasih tulus kepada guru dan guru akan bersyukur kepadanya.

Ya, guru adalah profesi tentang kepuasan yg akan didapatkan jauh di masa depan, yg harus dibayar dengan penderitaan hari ini.

Maka, tataplah masa depan itu wahai guru. Dan ikhlaskanlah hari ini.”

Saya menambahkan…

“Jika mau kecewa, kecewalah hari ini. Jika mau menderita, menderitalah hari ini. Namun nanti, ijinkanlah kita semua duduk bersama bersuka ria di surga Allah yg kekal abadi. Terimakasih wahai guru. Kalian semua adalah inspirasi hidupku…”

17. Akal adalah Referensi dan Literatur Terbaik

nilni.com
nilni.com

Saat saya memaparkan berbagai konsep tentang pendidikan di rumah, sejumlah pembelajar terkesima lalu bertanya : “Sangat inspiratif ! Tapi, apa referensinya dan di mana mendapatkan literaturnya ?”

Dan ketika saya menjawab bahwa akal adalah referensi dan literatur terbaik karena memiliki empat level fungsi, merekapun terpekik dan bertanya : “Wow… dari sumber bacaan apa itu diperoleh ?”

Duh, mereka adalah korban persekolahan, institusi yang kelak akan mempermalukan mereka di hadapan Allah, ketika mereka tak mampu menjawab pertanyaan Tuhannya : “Apakah kalian tak gunakan akal ?”

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi hadir karena ada misteri kehidupan yang harus dikuak dan masalah kemanusiaan yang harus dipecahkan. Dan untuk menguasainya didirikanlah program kesarjanaan.

Tapi di negeri ini anak bangsanya mengambil program kesarjanaan untuk mendapatkan pekerjaan dan mencari nafkah, bukan untuk menguak misteri kehidupan dan memecahkan masalah kemanusiaan.

Tak mengherankan jika misteri tak kunjung tersibak dan masalah tak kunjung selesai. Andai saja mereka mau berkhidmat bagi misi keilmuannya, sungguh akan terkuak berjuta pekerjaan dan rejeki yang berlimpah.

18. Mendayagunakan Ilmu

huthbah Jum’at tadi menyentak dan mengingatkan saya tentang pertanyaan yang akan Allah ajukan kelak kepada hamba-hambaNya : “Ilmumu, bagaimana engkau manfaatkan ?”

Pertanyaan itu mengingatkan saya kepada orang-orang yang mengabaikan ilmu yang pernah dimilikinya dengan alasan “Itu ternyata bukan passionku”. Ya, siapkah kita menjawabnya kelak ?

Tentunya memanfaatkan dan mendayagunakan ilmu itu tak harus bersifat generik. Ia dapat diamalkan dengan cara beragam, tak langsung dan kreatif. Yang penting kelak pertanyaan itu harus sanggup kita jawab.

19. Berpikir Kolektif; Mendidik Rasa dan Periksa

Apa boleh buat, pendidikan kita memang telah terlanjur begitu memanjakan kecerdasan intelektual. Setiap hari ia asah otak anak-anak kita, agar menjadi manusia-manusia cerdas berotak Einstein. Dengan kecerdasan itu mereka bisa membedah apa saya.

Ya bagaikan sebuah pisau yang mampu dengan tajam menguliti apa saja: memisahkan dengan akurat antara kulit daging dan jeroan. Ya namanya daya analisis. Dan para orangtuapun bangga dengan ketinggian IQ anak-anaknya.

Maka lahirkah generasi dengan kemampuan PERIKSA : Auditor ! Cirinya satu : kritis – analitis. Ini tentunya sangat penting. Agama bahkan sangat menghargai kapasitas ini.

Dalam bahasa agama, kemampuan ini disebut furqan : kemampuan untuk membedah dan membelah antara yang haq dengan yang bathil. Bahkan Allah berfirman, bahwa kemampuan ini adalah karunia bagi yang bertaqwa.

Masalahnya, hidup ini sangat kompleks. Ia terlalu rumit untuk bisa diatasi hanya dengan modal otak. Tak segalanya logis dalam hidup ini, makanya ada logika, etika dan estetika.

Tentang kecantikan, misalnya, itu tak bisa dikenali lewat pisau logika. Makanya ada istilah “alur dan patut” : logika bicara tentang alur (nalar), sedangkan etika bicara tentang patut (kepantasan). Itulah sebabnya kita dibekali dengan otak dan hati, dzikir dan fikir.

Bahkan itupun tak cukup. Seringkali kompleksitas hidup ini tak bisa kita selesaikan sendiri. Kita butuh pikiran orang lain, terutama jika ini menyangkut kepentingan orang banyak, seperti tentang kebijakan publik. Untuk itu, berpikir kolektif dibutuhkan sebagai ajang silaturrahim gagasan, urun rembug, agar akhirnya kita seiya dan sekata.

Namun, berpikir kolektif tak bermula dari mengambil otak (pendapat) orang lain, tapi bermula dari kemampuan mengambil hati. Harus ada sambung rasa terlebih dahulu, sebelum sambung gagasan.

Terjadinya kimiawi emosi, emotional chemistry, perlu kita dahulukan sebelum dimulainya sebuah dialog cerdas. Karena sebuah tradisi berpikir kolektif sebenarnya bermula dari komunikasi hati ke hati yang melahirkan keridhaan.

Maka, ada satu kapasitas awal yang harus dimiliki bagi terjadinya musyawarah, yaitu RASA. Tradisi jawa telah mengingatkan tentang hal ini, bahwa orang bijak bukanlah orang yang “merasa bisa” (rumongso biso), tapi adalah orang yang “bisa merasa” (biso rumongso).

Logika adalah penting untuk menegakkan tradisi berpikir kolektif, namun kemampuan merasa jauh lebih penting lagi. Sungguh kecerdasan tanpa rasa hanya akan menghasilkan orang yang adigang – adigung – adiguna. Sehingga kearifan Minang selalu mengingatkan tentang “Raso jo Pareso” : rasa dan periksa !!!

Baca juga kata-kata mutiara Peradaban Islam oleh Ustadz Adriano Rusfi.

 

Tinggalkan komentar