Ibadah, Jangan Dijadikan Alasan untuk Malas

ibadah dan etos tinggi
pixabay.com

Sepekan lalu, tepatnya di sebuah kelompok belajar, penulis kembali menemui salah seorang teman baru yang begitu tekun dalam beribadah. Sedikit demi sedikit penulis mulai memperhatikan; bacaan tilawahnya hampir setiap waktu. Sholat lima waktu tak pernah ketinggalan, dan sholat malam juga terkadang ada dalam pandangan. Bila boleh diumpamakan, teman penulis tersebut adalah teman yang sangat kental dalam hal beragama.

Waktu pun berlalu, sedikit demi sedikit kebiasaan dan watak masing-masing begitu kelihatan. Ya, waktu itu saya diamanahi sebagai ketua, otomatis jurus kepo akan senantiasa saya gunakan setiap saat. Oh ya, saya harus menjelaskan terlebih dahulu mengapa dalam memimpin dibutuhkan sikap kepo. Saat ini, kita memasuki masa muda (yang semoga di masa ini), kegagalan harus bisa kita habiskan.

Dengan demikian, di masa muda ini tentulah ada berbagai kesalahan namun tetap bertujuan dalam rangka mencari kebenaran. Kesalahan untuk menentukan kebenaran bagaimana melihat karakter-karakter seseorang. Bila seseorang telah menguasai berbagai tipe manusia, sudah dapat ditentukan Ia akan mudah menjalankan roda organisasi. Tak perlu pusing karena hal-hal yang akan terjadi, karena problem-problem sudah diantisipasi sedari dini.

Dahulukan Mana Antara Moral dengan Ibadah?
Pertanyaan di atas cukup membekas di hati. Pertanyaan di atas terkait salah seorang teman sya yang di awal saya telah ceritakan bahwa ia adalah sseeorang yang “ahli” ibadah. penulis lanjutkan, meskipun ia ahli ibadah, namun sayang komunikasi sosialnya seperti ada kabut. Ia tak peka dengan keadaan.

Pernah suatu ketika, ia mengaji di masjid sebelum pengajian. Karena jamaah sudah pada datang, ia tetap mengaji dengan mengeraskan suaranya. Ia pun di tegur agar jangan terlalu keras-keras karena bapak-bapak jamaah pengajian akan segera datang. Lagi pula, waktu itu adalah waktu untuk berdzikir bersama di dalam hati, bukan membaca Alquran. Sudah diingatkan, eh ia kembali membaca dengan keras. Entah apa yang dipikirannya, yang jelas ia selalu begitu; baik dalam sholat malamnya ataupun dalam kesehariaan membaca alqurannya.

Meskipun tak bermaksud suudzon, namun kesan penyombongan diri itu seperti ada. Di hati para temannya, ia selalu dianggap sepeti itu; dan wajar dalam bersosial ia kurang di terima. Bukan karena bacaan ngajinya saja yang membuat ia kurang di terima, dalam kehidupan sehari-hari rasa kemanusaiaannya juga cukup kurang. Ia sering mengecewakan teman-temannya dalam hal bisnis, olahraga maupun keseharian-keseharian lainnya dengan alasan sedang membaca Alquran.

Kejadian tersebut sempat terbahas oleh salah satu profesor kampus di Indonesia. Menurut beliau, moral dengan ibadah harus diutamakan moral terlebih dahulu. Dengan demikian bisa diartikan, bila bermoral pasti beribadah. Sebaliknya, ada pula yang beranggapan bahwa antara moral dengan beribadah harus didahulukan ibadah. Jadi, orang yang beribadah akan membawa dampak pada ahli ibadah untuk mempunyai moral yang tinggi.

Hemm, dari kedua statement tersebut, anda milih yang mana?

Benar, semua tergantung konteks dari seseorang. Ada beberapa orang yang justru dari moral lalu menemukan hidayah; ia pun rajin beribadah. Ada juga yang Islam terlebih dahulu baru menemukan moral; karena terus tak mengenal kata henti menuntut ilmu dan mengamalkannya.

Sebenarnnya, dua-duanya atas kehendak Allah, tugas kita adalah mencari cermin lain agar cermin yang kita miliki terasa lebih lengkap. Bila melihat dengan cermin sendiri, sudah tentu kita akan melihat hanya sebagian tubuh kita, namun bila kita bersosialisasi menjadi manusia yang terbuka, tentu kebijaksanaan diri perlahan-lahan akan ditemukan melalui cermin-cermin lain. Kenanglah, bahwa fungsi cermin digunakan untuk menambah ketampanan juga kecantikan. Begitu pula akhlak dan moral kita.

Undanglah agar Allah Membela Kita
Menjadi pribadi yang menyejukkan itu harus. Bila ada isu, ia dingin-dingin saja. Serahkan dulu pada yang Maha kuasa setelah itu lakukan ikhtiar. Bila sudah ikhtiar, serahkan lagi kepada Allah. Apapun kehendak-Nya, memang sudah digariskan.

Bagi orang mukmin, semua tak ada yang rugi. Bagi mukmin pula, tak ada yang sia-sia. Ingatkah kisah Fir’aun yang ditenggelamkan di laut karena salah satu sebabnya merendahkan air? Bila Anda mengalami kekalahan di dunia, Anda tak berarti kalah. Bila Allah menghendaki, Anda akan dibelanya baik di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, jangan jadikan ibadah sebagai wujud pembelaan kita kepada Allah dengan mengesampingkan kesalehan sosial. Justru dengan beribadahlah seharusnya diri kita semakin matang. Inilah ummat terbaik, ummat yang berada di tengah-tengah; seimbang antara urusan dunia dan ukhrawinya.

Semakin tekun ibadah seseorang, seharusnya ia akan semakin mempunyai etos kerja tinggi. Tak mudah berputus asa dan selalu berpikir positif mengenai apa-apa yang telah digariskan dari-Nya. Ibadah adalah ridho, maka sepantasnyalah keridhoan adalah tujuan dan cara-cara yang ditempuh pun harus sesuai kaidah-kaidah keridhoan.

Allah-lah yang menghendaki, bukan atas perjuangan individu. Bila Allah menginginkan, tidak ada yang bisa menghalangi, juga tidak ada yang bisa menunda. Jangan jadikan ibadah sebagai ambisi untuk meraih kekuasaan dunia dengan cara-cara yang kurang baik. Itulah cara-cara yang akan cenderung merusak nama Islam sendiri. Bersabarlah, Bila Allah telah memberikan waktu yang tepat, semua akan mudah diubah-Nya. Cukup mudah bagi Dia.

 

Simaklah lagu Islami ini

https://www.youtube.com/watch?v=JS3Ad4uB-E4&rel=0&showinfo=0

 

Tinggalkan komentar