Covid-19 dan Gunung Merapi Mau Meletus: Bagaimana Bencana Menyatukan Kita

Covid-19 dan Gunung Merapi Mau Meletus: Bagaimana Bencana Bisa Menyatukan Kita

Covid-19 dan Gunung Merapi Mau Meletus: Bagaimana Bencana Menyatukan Kita (Gambar: Pixabay.com)

Tahun 2020 mungkin adalah tahun yang bakal dikenang sebagai tahunnya penyakit. Pandemi Covid-19 di awal tahun “menyapa” di seluruh dunia tak terkecuali di tanah air. Saat ini pun kita dihadapkan satu lagi bencana yang harus disiapkan, karena Gunung Merapi mau meletus yang notabene bulan ini hampir akhir tahun.

Saya mendapatkan pesan broadcast bahwa sejak tanggal 5 November 2020 Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyatakan status siaga karena peningkatan aktivitas gunung Merapi.

Sebetulnya saya tidak kaget dengan hal itu mengingat Merapi selalu begitu dan saya cukup hafal. Level Waspada yang begitu lama sampai setahunan, setelah itu naik ke level siaga dan nantinya secara singkat masuk lagi ke level Awas.

Saya hafal karena dari kecil saya suka memantau perkembangan gunung sakral bagi orang Yogya ini baik dari informasi terbaru maupun dari kejauhan, tempat dimana saya tinggal.

Rumah saya jaraknya sekitar 35 kilometer dari puncak alias di selatan kota Jogja. Cukup bisa melihat gunung itu utamanya kalau di pagi hari. Apalagi kalau Merapi mengeluarkan abu vulkanik yang sering disebut “wedhus gembel”, jelas banget kelihatan meski ketutupan awan.

Namun karena sekarang musim Pandemi Covid-19, berita ini jadi agak spesial sebagaimana erupsi Gunung Merapi 2006 yang agak berselang dengan Gempa Yogya di tahun yang sama. Kalau sudah ada dua bencana yang berbarengan begini, mau tidak mau saya harus mikir, “ada apa ya gerangan?”

Pandemi Covid-19 disaat Gunung Merapi Mau Meletus

Gempa Yogya dan Erupsi Merapi 2006 bagi saya memberi pelajaran penting bukan hanya tentang kebencanaan tetapi juga buruknya informasi sampai makna hidup. Sialnya saya mempelajari itu semua dari hal yang bisa disebut sebagai ironi.

Bagaimana tidak? Saya belajar dari melihat orang yang baru sekarat dibawa mobil pick up, gedung sekolah saya ambruk di banyak bagian, depan rumah saya retak besar, sampai kabar meninggal dari mana-mana.

Saking ironinya, saya lihat banyak orang ketakutan sambil menggendong adik bayik hanya karena hoax isu tsunami melibas Bantul dan sekitarnya yang tentu saja tidak terbukti.

Belakangan ternyata ada pencuri yang maling rumah kosong yang sudah ditinggalkan pemiliknya akibat hoax itu. Mereka memanfaatkan momen itu untuk menggasak isi rumah di tengah bencana.

Teman saya pun sambil merintih menangis bertanya kepada saya “Iki wes kiamat po yo?” (Ini sudah kiamat apa ya?). Saya hanya bisa tertegun mendengar pertanyaan itu.

Pandemi Covid-19 ini kira-kira juga begitu. Lingkungan saya kok ya ndilalah dari awal virus itu masuk ke Indonesia sampai saat ini “rutin” sebulan sekali pasti ada yang positif Covid-19, kecuali bulan Oktober lalu. Padahal sebentar lagi Gunung Merapi mau meletus juga, pusing juga kalau dipikir.

Bagaimana Bencana Menyatukan Kita: Dari Sumbangan jadi Solidaritas

Saya tidak tahu apakah anda juga mengalami seperti saya, akan tetapi yang perlu diketahui dan dipahami dari kejadian yang sudah dialami dan apa yang akan terjadi ketika bencana datang apapun bentuknya.

Pertama adalah solidaritas, disadari atau tidak pandemi Covid-19 datang bertepatan dengan bangkitnya teori konspirasi dan pemuja kelompok-kelompok supremasi berbasis agama dan politik rasisme.

Kelompok semacam ini hadir lebih banyak untuk memecah belah dengan menghembuskan isu-isu yang tidak relevan seperti diatas. Solidaritas dibutuhkan untuk menepis isu tersebut agar bencana tak jadi kiamat.

Meskipun saya dulu melihat ironi didepan mata, namun justru dari situlah saya belajar bahwa bencana dapat membangkitkan solidaritas yang selama ini kabur oleh kabut-kabut politik dan topik konspiratif. Solidaritas justru terlihat banyak terlihat ketika banyak bencana mendera.

Saya masih ingat sesudah gempa terjadi banyak orang di kampung saya bahu-membahu membuat dapur umum supaya semua orang bisa makan. Ibu-ibu membuat makanan yang sekarang populer ketika bencana, yaitu “solidaritas nasi bungkus”. Nasi bungkus telah menyatukan banyak orang Yogya kala itu.

Pandemi Covid-19 di awal tahun juga telah menyatukan banyak orang dengan berbagai program dadakan seperti sedekah nasi bungkus, masker, sumbang alat APD, sumbangan sayur di beberapa daerah telah menyatukan masyarakat kita.

Bagaimana Bencana Menyatukan Kita: Kewaspadaan Jadi Kesiagaan

Kedua adalah kewaspadaan. Saat ini beberapa orang Yogya mulai banyak membicarakan Gunung Merapi yang mau meletus. Masalahnya adalah bencana yang mungkin akan datang tidak hanya itu.

Saya masih ingat ketika gunung Merapi erupsi di tahun 2010, beberapa sungai di wilayah Yogya dan Magelang meluap karena adanya lahar dingin. Lahar yang sebetulnya air panas berlumpur itu bisa diperkirakan kapan terjunnya ketika Merapi tengah hujan.

Logikanya adalah jika Gunung Merapi dilanda hujan panjang nan lebat, biasanya disaat itulah lahar dingin meluncur. Dari pengetahuan inilah lalu bisa diperkirakan kapan lahar dingin menerjang dari satu tempat ke tempat lainnya.

Namun justru ini juga yang bisa menyatukan warga. Mereka jadi tahu kapan harus mengungsi dan kapan harus bersama-sama mengawasi sungai satu sama lain sampai lahar dingin datang menerjang.

Kewaspadaan yang jadi kesiagaan ini juga bisa kita temui pada masa pandemi Covid-19 ini. Kita jadi waspada terhadap penyebaran virus dan segera berbagi informasi dengan warga lainnya apabila ada salah satu tetangga atau teman kita terinfeksi.

Bagaimana Bencana Menyatukan Kita: Satu Duka Satu Cita

Satu hal yang tidak diinginkan tapi selalu menyatukan adalah ketika ada tetangga, teman atau famili yang menjadi korban bencana. Saya pun mengalaminya beberapa kali dan sebetulnya agak kurang enak bicara hal ini.

Kurang enaknya tentu saja terkadang kita disatukan ketika salah satu dari orang yang dekat kita meninggal dunia. Hampir semua orang jadi terlihat dekat bahkan akrab meskipun tadinya jauh.

Pas Gempa Yogya 2006 saya kehilangan seorang Paklek meskipun saya bersyukur keluarga kecil saya tidak apa-apa. Namun kami jadi saling berkabar dan saling mengunjungi tidak lama setelah gempa untuk memastikan keluarga saya yang lain tidak apa-apa, begitu juga dengan tetangga dan teman.

Sedangkan sekarang mungkin caranya lebih canggih karena kita bisa bertatap muka via online. Media menyatukan dunia, begitu mungkin apa yang diramal Marshall McLuhan (1994) seorang pakar komunikasi tentang masa depan media dalam teori ekologi medianya. Sekarang asumsi itu benar-benar jadi kenyataan.

Bagaimana tidak? Sekarang dunia tengah bersatu dalam dunia cyber ini untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Keadaannya tidak jauh berbeda namun dengan cara yang lebih baik dan aman tentunya. Sementara kita juga melihat setiap hari angka infeksi dan kematian terus meningkat tanpa tahu kapan pandemi ini berakhir.

Namun justru itu juga yang menyatukan kita saat ini. Kita terhubung via kabel tidak peduli kita sedang di tanah air atau di luar negeri. Semua merasakannya dan kita jadi bagian dunia yang lebih besar dari sekedar daerah atau provinsi.

Kesimpulan

Saya tidak bilang bahwa kita butuh bencana untuk menyatukan kita. Bagaimanapun itu logika yang menyesatkan. Namun kita mungkin harus belajar dari bencana yang sudah-sudah dan bagaimana kita membangun tatanan masyarakat yang bersatu. Covid-19, Gunung Merapi pada tahun 2006 dan yang sebentar lagi akan datang ini bisa dijadikan contoh.

Sangat tidak relevan jika kita masih membicarakan situasi konspiratif seperti isu laboratorium Wuhan yang menyebar virus Corona dan sebagainya. Namanya isu pasti digoreng untuk kepentingan tertentu seperti pengalaman Gempa Yogya 2006 diatas. Jelasnya semoga bencana ini nantinya semakin menguatkan kita di tahun pandemi ini dan kita semua sehat sentosa.

Tinggalkan komentar