Contoh Esai Sastra; Cerita Sarjana Mukidi

Esai adalah karangan yang tidak mudah basi ketika dibaca berkali-kali. Ada bermacam-macam kategori esai, ada esai ilmiah dan adapula esai sastra. Keduanya sama-sama karangan non fiksi, namun dikemas dengan bahasa yang berbeda. Contoh esai sastra di bawah ini akan menunjukkan perbedaan esai sastra dengan ilmiah.

contoh esai sastra
beritapendidikan.net/

Simak di sini mengenai Pengertian Esai

Pada umumnya, untuk membuat sebuah esai yang berkualitas dan bagus, dibutuhkan sebuah kemampuan dasar menulis. Bukan hanya memiliki kemampuan menulis tapi juga latihan yang kontinu,  terus menerus.

Antara esai ilmiah ataupun esai sastra sebenarnya lebih mudah menulis esai dengan bahasa ilmiah. Mengapa? Sebab tidak semua orang bisa merangkai kata-kata dalam bahasa sastra. Sastra memerlukan keahlian dalam merangkai diksi.

Tapi apapun itu, baik esai ilmiah ataupun esai sastra semua pada dasarnya mudah untuk dikerjakan. Selagi seseorang mau berusaha untuk menulis. Di bawah ini adalah contoh esai sastra bagi Anda yang bingung membedakan esai sastra dengan esai ilmiah.

Ide selanjutnya baca Contoh-contoh Esai

Contoh Esai Sastra

Cerita Sarjana Mukidi

Sore itu Mukidi nyanyi-nyanyi di emperan rumahnya. Ia yang mendadak terkenal dan viral di media sosial, terlihat lelah dan letih. Aqua, kak? Kata adiknya menawari. Ia kemudian mengambil air mineral gelas yang ditawarkan adiknya. Nyes. Ia merasakan kesegaran, dan sedikit melupakan pikiran uprek yang tengah menggelayuti hari-harinya.

Mukidi tengah dirundung kegalauan, tentu saja. Ia baru saja menjadi sarjana di sebuah kampus negeri yang disegani. Konon, kampusnya hanya menerima 1% dari total pendaftar, membuat Mukidi merasa menjadi orang yang istimewa.

Seleksi ketat itu membuatnya optimistis menyambut masa depan tatkala ikat tali toganya dipindah oleh dekan saat wisuda. Apalagi ia lulus dengan predikat pujian alias cumlaude. Namun dunia kerja begitu keras untuknya. Ia mondar mandir ke sana kemari untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, namun urung berjodoh.

Ketenaran di media sosial tidak cukup membuat Mukidi diterima sebagai karyawan di berbagai institusi.

Situasi yang dialami Mukidi mungkin dirasakan oleh hampir semua sarjana muda. Mereka terombang-ambing dalam dilema dan kegalauan. Mau lanjut kuliah, biayanya mahal. Banyak sih beasiswa, tetapi ia tak yakin anak petani sepertinya dapat prioritas.

Wong dia dapat cerita banyak penerima beasiswa yang punya ‘orang dalam’. Mau nikah, tapi belum punya modal. Boro-boro modal, wong jodohnya saja belum ada. Mau kerja, tapi seberapa besar sih peluang kerja di Indonesia untuk sarjana keilmuan sosial? Belum lagi ditambah keinginan orang tua yang ingin dia bekerja di dekat rumah.

“Bapakmu yang hanya lulusan SD bisa punya sapi lima, sawah sepuluh hektare, rumah segede ini, dan nyaris punya dua istri, lho,” ujar ibunya yang selalu membuatnya tertekan. Njuk dia yang lulus kuliah harus punya harta yang lebih berlipat-lipat?

Ketika flashback dari masa maba sampai hari ini, kehidupan Mukidi di kampus sebenarnya mulus. Ia ikut beberapa organisasi kampus. Di organisasi itulah, ia dapat banyak hal yang tidak didapatkan di ruang kelas. Saat hari Ospek, ia seringkali menjadi pendamping yang mengompor-kompori mahasiswa baru untuk berpikir kritis.

Jangan hanya jadi mahasiswa tulen yang hanya kuliah kos, kuliah kos. Berorganisasilah karena kuliah tidak menjamin masa depan. Begitu katanya.

Ia seringkali berbicara di depan para junior untuk menguasai banyak hal karena di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, tantangan di dunia kerja semakin berat. Ya, kini Mukidi merasakan beratnya bertarung di era MEA.

Sebenarnya orang tuanya pernah menawari Mukidi untuk mengejar gelar masternya. Orang tuanya bahkan siap perang puputan dengan kondisi ekonominya, siap mengorbankan beberapa hektar sawah atau sapi kesayangan demi membayar biaya pendidikannya.

Tapi Mukidi tidak sampai hati, juga tidak sampai pikiran. Baginya percuma saja kuliah lagi jika hati tidak sesuai. Ia ingat apa kata Tan Malaka: idealisme adalah kemewahan terakhir seorang pemuda. Ia tidak ingin kemewahan itu raib hanya karena melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hatinya.

“Bu, saya ingin kerja dulu. Nanti kalau sudah ada keinginan kuliah lagi, saya akan kuliah menggunakan uang saya,” ujar Mukidi yang membuat ibunya bangga waktu itu. Namun setelah beberapa bulan, ia urung juga menabungkan sepeser rupiah. Nasib, nasib!

Ia ingat beberapa bulan yang lalu masih sangat bangga mengenakan baju toga dengan selempang cumlaude yang menyebrang di dadanya. Saat foto bersama adiknya, ia berujar agar adiknya segera menyusulnya untuk kuliah. Tapi kini situasinya berubah total.

Ia bahkan malu memajang foto wisudanya di ruang tamu. Apalagi kalau tetangga-tetangganya bertanya, sekarang sudah kerja di mana? Duh, andai ia di luar kota, ia tidak akan setertekan ini. Mung ya gimana lagi. Ia sudah membuat pilihan.

Sebenarnya tawaran kerja banyak, misalnya jadi kasir di minimarket yang baru dibangun di dekat kampungnya. Tapi apa iya dia tidak malu kerja satu profesi dengan Sasmi anak Bu Jomlah yang lulusan SMK? Mukidi masih bermain logika dan ego.

Apa kata orang di kampungnya? Njuk, apa yang bisa membuatnya hebat dari empat tahun tambahan kuliahnya? Uluh, Mukidi bisa stres merasakan tekanan batinnya!

“Dek, duduk di sini,” pintanya pada sang adik. “Besok setelah lulus SMA kamu mau ngapain?”

“Aku ingin kuliah kayak Kak Muk.”

“Owalah… Kenapa mau kuliah?”

“Ya biar dapat gelar sarjana.”

“Oh,” ucap Mukidi sembari menghela nafas.

“Oh, iya, kak. Tadi ada titipan,” kata adiknya.

Mukidi bertanya tititpan apa gerangan. Sang adik kemudian bergegas masuk ke rumah dan langsung kembali tak lama kemudian. “Ini ada undangan dari Mbak Sasmi. Dia mau nikah bulan depan,” ujarnya. Duh, ia kalah telak dengan Sasmi. Sasmi yang lulusan SMK saja sudah kerja dan sudah akan menikah. Lha Mukidi? Duh, tekanan semakin berat.

Mukidi menaruh map berisi ijasah dan berbagai dokumen lainnya di atas meja emperan rumahnya. Pikirannya umeb. Namun mau apa lagi jika memang seperti itulah keadaannya?

Ia meminta adiknya mengambilkan gitar di dalam ruang tamu. Sambil leyeh-leyeh, Mukidi memetik gitarnya. Keringat mengucur di sekujur badannya. Tatapannya kosong diiringi mulutnya yang bergetar mengeluarkan lirik lagu Iwan Fals:

Berjalan seorang pria muda // Dengan jaket lusuh di pundaknya // Di sela bibir tampak mengering // Terselip sebatang rumput liar // Jelas menatap awan berarak // Wajah murung semakin terlihat// dengan langkah gontai tak terarah // keringat bercampur debu jalanan // Engkau sarjana muda // resah mencari kerja // Mengandalkan ijasahmu // Empat tahun lamanya // bergelut dengan buku // Tuk jaminan masa depan.

***

Nah, mungkin seperti itulah yang bisa kami ulas dari contoh esai sastra. Bagaimana? Terlihat lebih sulit manakah? Menulis esai ilmiah atau esai sastra ya?

 Baca juga mengenai Contoh Esai LPDP

Tinggalkan komentar