10 Kata-Kata Bijak Cara Mendidik Anak Paling Berdampak

Cara Mendidik Anak

1. Semua Indah Bila Tepat pada Waktunya

cara mendidik messi sesuai waktu
pixabay.com

“Lalu Messi yang berusia lima tahun itu meliuk-liukkan badannya membawa bola melewati beberapa lawan, dan tak mau berbagi bola pada temannya, walau sang pelatih berkali-kali berteriak untuk berbagi bola” (Disarikan dari Kompas, 18 Maret 2016)

Dan Messi betul… Ia gunakan hak fitrahnya untuk menjadi individualis di usia itu, agar ia menjadi “aku”, menjadi Messi yang unik… Messi yang berbeda dan berani tampil beda… Messi yang berkelas dan tak ikut-ikutan

Tapi, Lihatlah kini. Lionel Messi telah menjadi pebola dengan keterampilan individual dahsyat, namun rajin berbagi dan mengoper bola. Ya, karena ia belajar sosial dan berbagi pada waktunya: saat tujuh tahun.

2. Didiklah Anak Sesuai Fitrahnya

Didik Anak Sesuai Fitrahnya mulia
pixabay.com

Ayahbunda, tadi saya bertemu bocah kecil yang mengalami defisit nurani : tampan, cerdas, jago ngomong, piawai berbohong, sangat manipulatif dan tak punya rasa bersalah sama sekali. Sangat mirip politikus cilik.

Ia mengalami krisis nurani karena selalu disanjung dan dibenarkan, tak pernah dimarahi dan mendengar kata “Jangan !”. Konon, ilmu parenting melarang ayahbundanya untuk berkata “jangan !” pada buah hati

Ayahbunda… belajar itu sangat mulia. Tapi jangan sampai ilmu membuat Anda menjadi begitu akademis dan teoritis dalam mendidik buah hati. Bukankah Anda juga punya nurani, naluri, intuisi dan fitrah ?

Ayahbunda, dengarkanlah suara hati dan nurani Anda, ketika suara-suara dalam dada meminta Anda untuk jengkel, marah atau melarang. Jangan terlalu rasional, bunda, karena nurani itu berasal dari Anda.

3. Seimbangkanlah Pendidikan bagi Buah Hati Anda

cara mendidik anak sesuai Islam mengarah sosial kepedulian
pixabay.com

Harus jujur kita akui bahwa bangsa ini adalah bangsa yang bertipe suggestable : mudah terpengaruh. Kita begitu mudahnya disugesti, dihipnotis, kesurupan, latah dan ketularan apapun dari luar.

Mungkin karena pendidikan sosiabilitas, harmoni dan kebersamaan kurang seimbang dengan pendidikan individualitas, kekuatan ego, dan keberbedaan. Sehingga “kita dan kami” selalu mengalahkan “aku dan prinsipku”

Untuk itu, wahai ayah dan bunda, seimbangkanlah pendidikan anak-anak kita antara “keyakinan aku” dengan “kebersamaan kita”, agar mereka menjadi sosok sosial yang berani menolak kemungkaran walau sendiri

4. Ajarkan Hakikat Sebuah Ibadah

Mendidik Anak tentang hakikat ibadah itu tentang keindahan
pixabay.com

Dulu, saat anak-anak temannya telah bisa membaca AlQur’an ketika berusia 3 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya AlQur’an

Dulu, saat anak-anak temannya telah terlatih shalat ketika berusia 5 tahun, dia hanya bercerita pada anaknya betapa indahnya perintah Allah

Dulu, saat anak-anak temannya telah hafal hadits Arba’in ketika berusia 7 tahun, dia hanya berkisah pada anaknya tentang indahnya Rasulullah

Kini, saat teman-temannya berkeluh-kesah tentang anak-anaknya, dia asyik terpesona menyaksikan indahnya Islam pada diri ananda

5. Orang Tua adalah Guru yang Pertama

orang tua yang bertanggung jawab mendidik anak
pixabay.com

Ada sebuah kasus yang menarik yang dilakukan oleh Sekolah Alam Tangerang. Mereka berhasil “memaksa” orangtua untuk “bersekolah”, lewat program School Co-parenting Education (SCOPE). Jika ada orangtua (harus ayah dan bunda sekaligus) yang dua kali tak hadir, anaknya bisa dikembalikan kepada mereka.

Saat penerimaan murid baru, yang diseleksi adalah kedua orangtuanya, bukan anaknya. Orangtua yang lulus PECI (Parent Educational Care Inventory), maka anaknya akan diterima.

Sekolah tersebut teguh dengan prinsip : “Yang mendidik anak-anak Anda adalah Anda, bukan kami. Kami hanyalah mensupport Anda”

6. Ajarkan Kesadaran Sedari Dini

Tanamkan kesadaran dalam mendidik anak
pixabay.com

Dulu, sejumlah pemuda dididik dan di tarbiyah dengan ajaran Islam tanpa paksaan. Mereka mengikutinya atas keinginan dan kesadarannya sendiri. Lalu, terjadilah perubahan perilaku dan sosial yang luar biasa.

Lalu para pemuda itu mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kekuasaan kurikular untuk memerintah murid-muridnya melakukan perubahan ke kehidupan Islami. Namun, yang terjadi jauh panggang dari api.

Jadi, di mana kekuatan sebenarnya dari sebuah perubahan bagi tegaknya peradaban? Di kesadarankah, atau di kekuatan otoritas?

7. Ajarkan Pada Anak Kepekaan Hati Nurani

tTips mendidik anak ajarkan hati nurani yang luas
pixabay.com

Beberapa muridku satu demi satu telah dicokok KPK. Mungkin ini ulahku dulu telah mengajarkan mereka sebuah doktrin pergerakan :

Memanfaatkan, namun tak mengikut (intifa’ ghairu ittiba’)
Mempengaruhi, namun tak terpengaruh (mu’atstsir ghairu muta’atstsir)
Mencari celah hukum, namun tidak membenarkan (intihaz ghairu inhiyaz)

Muridku, sungguh hati nurani jauh lebih pantas kalian ikuti daripada “doktrin seribu dalil”. Tinggalkanlah doktrin-doktrin kotor itu, sebagaimana aku telah membuangnya jauh-jauh pada tahun 1992.

8. Tanamkan Pentingnya Niat dan Keikhlasan sedari Dini

tips mendidik anak ajarkan anak arti keikhlasan
pixabay.com

Pembangunan karakter itu memang sungguh tak mudah. Beberapa institusi pendidikan bahkan melakukannya melalui program pembiasaan yang teramat ketat dan konsisten, nyaris 24 jam dalam sehari.

Anehnya, hasil dari program pembiasaan ini begitu mudah pupus. Anak yang telah dilatih shalat berjamaah di saat SD, sirna saat SMP. Yang telah terbentuk di pondok, hilang begitu saja saat pulang ke rumah. Padahal, atas nama pendidikan dan pembiasaan, yang sunnah dan mubah telah diubah menjadi wajib tanpa ijin Allah.

Kenapa segalanya tak dimulai dari membangun keridhaan dan niat? Bukankah ridha dan niat adalah penggerak segala amal shaleh ? Sungguh, andai dua hal ini telah tumbuh mekar, tentulah para pendidik tak perlu lagi tertatih mengawalnya lewat kurikulum yang menyesakkan.

Selami pula Kata-kata Mutiara Peradaban Islam hanya di ACADEMIC INDONESIA

9. Ajarkan Kebutuhan, Bukan Keterpaksaan

cara mendidi anak mengenai kebutuhan hidup
pixabay.com

Baiklah, ketika seorang anak manusia telah menyempurnakan aqil-balighnya, maka mereka mungkin ingin berguru di sebuah pondok pesantren atau boarding school. Yang penting, ketika siswa telah menghadirkan 100 % diri dan waktunya di sebuah boarding school, maka pondok itu harus sadar bahwa mereka telah mengurusi manusia, bukan sekadar siswa.

Otomatis, sebuah boarding school membutuhkan sebuah kurikulum kemanusiaan, bukan lagi kurikulum kesiswaan. Kurikulum itu dirancang dengan kesadaran bahwa “jika siswa butuh pembelajaran, maka manusia butuh kehidupan”.

Life-based Education (LBE), mungkin itu frasa yang dapat mewakili model pembelajaran di sebuah Islamic boarding school. Model pembelajaran ini mengapresiasi tiga fungsi dan peran siswa sekaligus: sebagai murid – sebagai komunitas – sebagai individu.

Tiga fungsi dan peran ini diakomodir oleh sebuah integrated Life Curriculum yang melibatkan tiga hal sekaligus:
– Inter-academic Curricular (School-based)
– Co-social Curricular (Dormitory-based)
– Extra-individual Curricular (Private-based)

Konsep “Three In One” ini analog dengan pesan Rasulullah SAW tentang fungsionalisasi ruang dalam tubuh manusia, bahwa “Sepertiga diisi dengan makanan – sepertigs diisi dengan minuman – sepertiga diisi dengan udara”

Kenapa harus disediakan sepertiga ruang untuk udara dan “kehampaan”? Ya, karena manusia butuh istirahat, butuh rekreasi, dan butuh berdiam diri. Ya, seperti sebuah blender yang mampu mengintegrasi bahan hanya jika masih tersedia ruang kosong.

Lalu, apakah sepertiga waktu extra-individual yang bersifat privat ini adalah waktu istrirahat tidurnya yang berdurasi 8 jam itu ? Tentunya tidak, karena waktu tidur adalah waktu di luar kontrol kesadaran manusia. Waktu untuk extra-individual seorang anak manusia adalah saat-saat di mana mereka sepenuhnya terjaga.

Kalau demikian, apakah implementasi Extra-individual Curricular bisa dipusatkan pada haris Sabtu-Ahad saja, saat tak ada kegiatan Inter-academic Curricular dan Co-social Curricular ? Boleh saja, namun akan lebih ideal jika pembagian tersebut bersifat harian (rutin), bukan mingguan (fakultatif). Karena itu lebih manusiawi.

Lha, kalau waktu seorang santri harus dibagi tiga seperti itu, lalu bagaimana caranya mengakomodir program pembelajaran yang terlanjur didesain begitu padat? Maka saran saya adalah :

Pertama, kenapa harus begitu padat? Bukankah kehidupan juga merupakan pembelajaran, dan istirahat juga merupakan bentuk pembelajaran?

Kedua, mari kita lakukan upaya internalisasi kebaikan, agar setiap kebaikan itu dilakukan sebagai sebuah kebutuhan privat, bukan sebuah tuntutan eksternal.

Ya, mari kita mulai belajar menghidupkan niat di hati, bukan sekadar melatihkan sebuah pembiasaan lewat rutinitas aksi. Bukankah “Wukuf di Arafah” tak kalah pentingnya daripada “Melempar Jumrah di Mina”?

10. Latih Anak agar Berani Mengambil Keputusan

Tri mendidik anak Islami ajari anak memutuskan masalah
pixabay.com

Untuk kesekian kalinya saya harus berhadapan dengan anak manusia yang berhenti di simpang kebingungan antara mengikuti kehendak mimpi dengan mengamini harapan yang dipaksakan oleh orangtua.

Kepada para orangtua saya hanya bisa bertanya: apakah di Hari Pengadilan kelak Anda masih bisa mengambil alih tanggungjawab, saat Allah meminta pertanggungjawaban anak Anda atas setiap keputusannya?

Sedangkan kepada sang anak sayapun ingin bertanya : sudahkah Anda buktikan pada bumi dan langit bahwa Anda layak berpihak pada mimpi Anda, agar Allah mencairkan kebekuan hati orangtua Anda?

11. Konsep Pemuda

Lalu, bagaimana caranya agar konsep remaja kembali kepada PEMUDA ? Jika anak kita telah berusia tujuh tahun ke atas, lakukanlah hal ini :

PERTAMA, jangan menganggap periode remaja sebagai keniscayaan, karena remaja adalah produk kebudayaan

KEDUA, didiklah anak-anak kita menjadi dewasa, bukan setengah dewasa

KETIGA, didik mereka untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Gunakan pendekatan consequential learning

KEEMPAT, libatkan mereka dengan permasalahan hidup. Jangan sterilkan mereka dari hidup dan perjuangannya.

KELIMA, besarkan mereka di tengah realitas. Sesungguhnya iman itu harus diuji di tengah realitas

KEENAM, didik mereka belajar untuk mencari nafkah, walaupun hanya untuk sekadar untuk menambah uang jajan

KETUJUH, ajari mereka untuk berorganisasi, berempati terhadap problematika sosial, dan berpikir untuk menemukan solusinya

12. Berempati

Kematangan fisik (baligh) manusia melahirkan nafsu, baik nafsu seks (eros/life instinct) maupun nafsu agresivitas (thanatos/death instinct). Dan yang mampu mengendalikannya adalah akal (aqil)

Marilah kita berempati pada anak-anak kita, ketika kita bangun kematangan fisiknya tapi kita lalaikan kematangan mentalnya. Mereka begitu kewalahan mengendalikan nafsunya, karena kontrol akal belum dimiliki.

Bukan hanya kita, para pendidik dan penegak hukum yang bingung menghadapi mereka. Merekapun bingung menghadapi diri mereka sendiri. Masihkah kita ingin mereka menjadi remaja, bukan dewasa?

13. Dari Tidak Ada Kembali ke Tiada

Jaman dulu tak ada AIDS, sekarang ada…. Jaman dulu tak ada Ebola, sekarang ada… Jaman dulu tak ada Autisme, sekarang ada…. Dan jaman dulu tak ada remaja, dan sekarang ada…

Lalu, apakah semua ini harus kita terima begitu saja sebagai “dinamika perubahan jaman” ? Apakah ikhtiar untuk kembali kepada YANG SEHARUSNYA akan disamakan dengan kembali ke masa lalu ?

Tidak!!! Tugas kita adalah membawa kehidupan kepada situasi ideal. Bukan hanya troubleshooting, tapi problem solving. Percayalah, sesuatu yang sebelumnya tak ada, bisa diikhtiarkan untuk kembali tiada..

14. Aqil Baligh

Islam membagi perkembangan manusia kedalam pra aqil-baligh dan aqil-baligh. Hukum hanya mengenal anak-anak dan dewasa. Sedangkan pendidikan hanya mengenal paedagogi dan andragogi.

Lalu belakangan muncul generasi yang bukan anak, juga bukan dewasa, namanya remaja. Terjadi kebingungan identitas dan perlakuan dalam masa transisi yang makin panjang. Mereka menjadi galau dengan dirinya.

Mari kita akhiri ini. Kita didik kembali anak-anak kita menjadi pemuda: aqil-baligh yang sepenuhnya dewasa. Kita bentuk kembali generasi progresif yang menjadi kebanggaan manusia, bukan ABG nan agresif

15. Menggugat Literatur Psikologi Abad 19

Seluruh literatur psikologi abad 19 tak mengenal masa remaja (adolescence), karena masa remaja adalah produk abad 20 dimana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh) namun tak dewasa mental (aqil)

Hebatnya, khasanah pemikiran ummat Islam tak kalah latahnya untuk melakukan pembenaran atas keliru didik yang fatal ini. Maka muncullah istilah Remaja Islam dan Remaja Masjid.

Maka, hari ini harus kita terima kenyataan hadirnya generasi penuh syahwat dan angkara, tanpa kendali akal. Akan berkali-kali kita saksikan generasi hamil di luar nikah, atau sibuk membully teman-temannya

16. Keturunan adalah Karunia Terbesar

Sungguh, diantara karunia Allah terbesar di dunia ini adalah keturunan. Ia hadir untuk menyempurnakan kemanusiaan kita. Kehadirannya seakan-akan membuat kita telah mewarisi isi dunia selama-lamanya.

Dan anak-anak itu lahir untuk mengabadikan sebuah rumah tangga, karena pada jatidirinya telah tercetak jejak genetis ayah dan bundanya selama-lamanya. Dan akan tetap abadi pada keturunan selanjutnya.

Dan masa depan mereka adalah buah pengasuhan bersama antara ayahbundanya. Aqilnya adalah hasil didikan ayahnya, sedangkan balighnya adalah buah asuhan bundanya. Maka besarkanlah mereka BERSAMA!!!

Tinggalkan komentar