Bung Hatta dan Keteladanan yang Langka

Pegiat Aksi Indonesia
Penulis
  • Andi Wahyu Irawan
  • Pegiat Aksi Indonesia Muda
  • Universitas Hasanudin Makassar
Sepeda Bung Hatta
uninuna.wordpress.com

Kita selalu merindukan pemimpin yang bersih sebagai pelayan publik yang memperlakukan rakyat dengan penuh kasih.

Pemimpin yang tidak hanya memberikan harapan ditengah pesimistik untuk bangkit, melainkan menerjemahkan harap tersebut menjadi langkah taktis yang konkrit dalam memberikan kesejahteraan bagi masayarat.

Kebijakan pemimpin ibarat nyawa bagi rakyatnya. Bila timpang, maka rakyat perlahan-lahan akar tercekik tersiksa karena kebutuhan mereka tidak mampu terpenuhi. Begitu besarnya tanggung jawab pemimpin, sehingga rakyat mengantungkan kehidupan mereka kepadanya.

Namun saat ini, sulit rasanya menemukan pemimpin yang bisa menjadi sumber inspirasi dan keteladanan bagi rakyatnya. Sulit rasanya menemukan pemimpin yang bekerja atas nama rakyat, punya empati dan terlepas dari kepentingan politis kelompok tertentu.

Begitu susahnya menemukan pemimpin yang mau belajar dari sang pemimpin Islam, Umar Bin Khattab, yang sering menyamar dan berkeliling ke daerah-daerah saat tengah malam untuk mengetahui keadaan rakyat.

Umar bin Khattab bahkan lebih memilih kelaparan ketimbang rakyatnya yang lapar. Bahkan dalam beberapa literatur, diceritakan bahwa suatu ketika, Umar menemukan seorang rakyatnya yang kelaparan.

Maka di kegelapan malam, Umar berjalan menuju Baitul Mal lalu mengambil sekarung gandum dan dipikul sendiri. Umar lalu memasak dan menghidangkan sendiri makanan untuk rakyatnya.

Jaman terus bergerak, menggesar nilai-nilai kepemimpinan yang harusnya menjadi ruh dalam memimpin rakyat.

Tak ada lagi sosok seperti Umar Bin Khattab. Bahkan dinegeri kita sendiri, sulit menemukan sosok seperti Soekarno yang tegas dan lantang menolak pemodal asing menghisap kekayaan Indonesia.

Sulit lagi menemukan duet legendaris Soekarno-Hatta yang dengan ketekunannya, membawa Indonesia hingga merdeka. Tidak ada lagi tokoh politik seperti Bung Hatta yang bersahaja dan rendah hati tak banyak bicara dan kaya tindakan.

Namun dibalik pesimis dan keteladanan yang langka, kita mesti mencari dari para pendahulu kita, yang dengan keikhlasannya, berjuang untuk Indonesia.

Belajar dari Bung Hatta

Bung Hatta adalah politisi tiada dua. Ia memegang prinsip yang kukuh dan bijak dalam menentukan keputusan, termasuk ketika ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden indonesia yang pertama pada tahun 1956, karena menganggap presiden ketika itu, soekarno, telah jauh menyimpang dari tujuan negara yang diimpikannya.

Sebenarnya banyak alasan yang menyebabkan bung hatta mengundurkan diri jabatannya, salah satunya karena terjadi pembiaran korupsi. Dalam buku yang ditulis anaknya, Meutia Hatta, dijelaskan bahwa Bung Hatta kecewa karena ketika itu, pemerintah memberikan grasi kepada seorang menteri narapidana yang telah ditetapkan sebagai pelaku korupsi.

Dalam hal pemikiran, Bung Hatta sangat berbeda dengan soekarno yang membakar semangat rakyat dan berorientasi pada basis massa. Bung Hatta lebih memilih jalan pendidikan dan kaderisasi untuk mencerdaskan massa rakyat.

Ia bergerak senyap, tanpa suara riuh dan sorak sorai. Melalui PNI ( Partai Nasionalis Indonesia) yang didirikan bersama dengan sahabat seperjuangannya, sutan sjahrir, ia bergerak melakukan gerakan literasi lewat buku, kuliah, atau tulisan di media cetak yang menyerukan perlawanan terhadap kolonial.

Baginya, zaman perang fisik telah usai, kini gerakan mesti berubah dan beralih ke pendidikan politik dan pencerdasan massa agar rakyat lebih kritis, sistematis, dan bertanggung jawab.

Hari ini, sulit rasanya menemukan partai politik yang melakukan pendidikan politik di masyarakat, yang ada adalah konflik internal partai yang tak berkesudahan karena ambisius jabatan. Bagaimana mungkin partai politik bisa menyelesaikan permasalahan rakyat jika dirinya sendiri belum selesai ?

Bung Hatta mengecam partai politik dan politisi yang hanya menjadikan negara sebagai ladang penghisapan harta kekayaan yang menguntungkan kelompok tertentu saja.

Nasionalisme Bung Hatta

Ia menentang partai politik maupun politisi yang konflik tak berujung yang mengakibatkan rakyat terlantar, nilai mata uang merosot, dan pertumubuhan ekonomi tumbuh lesu.

Bung Hatta menekankan bahwa politik harus menjadi lokomotif dalam upaya untuk mencapai kemerdekaan rakyat. Dalam konteks sekarang, politik harus menjadi jalan untuk menyadarkan rakyat bahwa ia dalam keadaan tertindas.

Sedangkan dalam konteks politik ekonomi versi bung hatta, kebijakan politik harus mampu menyelamatkan rakyat dari rongrongan ekonomi asing yang melumpuhkan ekonomi rakyat.

Bagi Bung Hatta, Ekonomi dan politik adalah dua sisi mata uang yang saling menyempurnakan. Politik tanpa ekonomi tidak akan mencapai tujuan sempurna, sedangkan ekonomi tanpa haluan politik akan tidak jelas arahnya.

Sang Konseptor

Ketika diasingkan oleh Belanda di banda Neira tahun 1936-1941 karena dinilai membahayakan pemerintahan belanda, Bung Hatta membawa serta buku-bukunya yang berpeti-peti. Ia memang terkenal sebagai kutu buku.

Bahkan, ketika menikah dengan Rachmi Rahim, ia memberikan hadiah pernikahan buku filsafat dengan judul ‘’Alam Pikiran Yunani’’ kepada istrinya itu, yang ditulis pada saat ia di penjara di Boven Digul Tahun 1934.

Bung Hatta tidak hanya mewariskan kemerdekaan kepada kita, tetap jejak pemikiran yang tidak akan usang.

Salah satu pemikirannya tertuang dalam UUD 1945, di pasal-pasal tentang hak berserikat dan kekayaan alam yang di kuasai negara untuk digunakan bagi kemaslahatan rakyat.

Lewat pemikiran tersebut, ia menyiratkan pemerataan ekonomi dan kesempatan bagi masyarakat yang kurang mampu agar bisa mandiri.

Jejak pemikirannya juga bisa dilihat dari buku yang ia tulis sebanyak 151 dan 100 lebih artikel bung hatta di media cetak belanda. Lewat gerakan literasi tersebut, ia melakukan gerakan politik yang cerdas.

Merenungkan Kembali

Menelusuri kembali pemikiran serta keteladanan Bung Hatta menjadi sangat penting ditengah kondisi politik indonesia yang semakin menyesakkan dada. Politik seakan kehilangan kompas dan arah tujuannya sehingga terjebak ditengah situasi yang abnormal.

Media pemberitaan tiap hari tak bosan meliput berita tentang politisi yang terjebak kasus korupsi. Sementara partai politik, sibuk sendiri dengan internalnya yang konflik melulu.

Bung hatta permah mengatakan Indonesia jangan jadi negara kekuasaan, tetapi Indonesia harus menjadi negara pengurus yang pemimpinnya sibuk mengurus kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelempok tertentu.

Pemimpin wajib mendengar suara rakyat, bukan menjadi pembicara yang menebar janji tanpa bukti. Pemimpin harus menumbuhkan harapan ditengah kepasrahan keadaan. Pemimpin adalah perpanjangan tangan tuhan, untuk meneruskan harapan rakyat menjadi kenyataan.

Setidaknya, Bung Hatta yang bersahaja telah mengajarkan kita banyak hal, tentang bagaimana semestinya menjadi pemimpin. Mungkin pesan bung Hatta bisa menjadi renungan kita semua ‘’ Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya’’.

Tinggalkan komentar