Faidah Menggelisahkan Budaya Populer

Budaya Populer

Faidah Menggelisahkan Budaya Populer[1]

Inyiak Ridwan Muzir

Kebudayaan itu tidak dibuat, akan tetapi terjadi: terjadinya tidak tergesa-gesa atau sekonyong-konyong, tetapi tumbuh seperti tumbuhnya segala benda yang hidup, yakni berangsur-angsur lambat-laun, dengan jalan evolusi, bukan revolusi.” (Ki Hajar Dewantara)[2]

Kalau seni rakyat muncul dan bertahan karena kehendak rakyat (dengan tradisinya), seni kerakyatan karena kehendak bangsa (dengan ideologi kerakyatannya, seni populer lahir dan bertahan karena kehendak media (dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi.” (St. Sunardi)

Kini perkembangan media dalam bentuknya seperti kita alami sekarang telah menempatkan hubungan antara manusia dan media menjadi kompleks. Kita tidak lagi bisa bicara teknologi satu per satu melainkan ada yang disebut realitas media. Akibatnya, kita tidak lagi bisa bicara fungsi media untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan manusia namun juga media yang mengatur gagasan dan menata perasaan manusia.” (St. Sunardi)

Cara Mengartikan Budaya Populer

Pengertian Budaya Populer

Sebagai fenomena yang menarik perhatian cara pandang akademis, budaya populer tidak mudah didefinisikan secara baku. Akibatnya, tidak dijumpai definisi yang bisa diberlakukan di ruang dan waktu berbeda oleh orang berbeda. Memang ada yang mencoba membuat definisi umum, namun karena saking umumnya, seakan-akan definisi itu tidak membatasi apa-apa. Misalnya Dick Hebdige yang mendefinisikan popular culture dengan “a set of generally available artefacts: films, records, clothes, TV programmes, modes of transport, etc. (Hebdige, 1988: 47)

Mengapa sulit didefinisikan secara baku? Karena realitas yang kemudian diistilahkan dengan budaya populer itu pertama-tama dijadikan pembicaraan (wacana) akademis oleh ilmuwan dan peneliti yang sebelumnya sudah memiliki kerangka pikir teoretis tertentu. Inilah yang membuat orang seperti Dominic Strinati memilih untuk tidak mendefinisikan budaya populer secara umum dan baku. Dalam buku pengantarnya terhadap teori-teori tentang budaya populer, dia memilih untuk mengartikan budaya populer sesuai dengan perspektif-perspektif teoretis yang telah dipakai untuk meneliti budaya populer.

Di antara perspektif teoretis itu adalah:

  • Kritik budaya massa, yang mengartikan budaya pop sebagai budaya rakyat di masyarakat pra-industrial maupun budaya massa di masyarakat industrial.
  • Mazhab Frankfurt dan berbagai varian marxisme lain, seperti Althuserian atau Gramscian, yang memandang budaya populer sebagai bentuk ideologi dominan.
  • Ekonomi politik Marxis, yang melihat budaya populer adalah arena tempat kelas berkuasa/dominan menghisap keuntungan dari orang banyak.
  • Teori feminis, yang melihat budaya populer sebagai bentuk ideologi patiarkal yang menguntungkan kaum laki-laki.
  • Semiologi, yang melihat budaya populer sebagai selubung yang diciptakan untuk menutupi kepentingan kelompok berkuasa.
  • Strukturalisme, yang melihat budaya populer sebagai ekspresi dari struktur sosial dan struktur mental yang universal dan tidak berubah.

Menghadapi keumuman pengertian budaya populer ini langkah yang lebih strategis untuk kepentingan kita di Indonesia adalah cara baca yang ditawarkan St. Sunardi. St. Sunardi pertama-tama tidak berangkat dari pengertian budaya populer dari beragam sudut pandang teoretis, melainkan dari pengertian yang paling dekat dengan orang Indonesia ketika menelisik arti kata populer, yakni rakyat. Ingat istilah vox populi, vox dei dalam konteks politik (suara rakyat, suara tuhan). St. Sunardi membikin tiga kategori yang secara esensial mirip-mirip, namun realitasnya saat ini tidak semua bisa ditemukan kecuali ditelisik dengan kemampuan analitik yang memadai (historis dan ekonomi-politik): rakyat, kerakyatan dan populer.

Budaya rakyat adalah budaya yang dimiliki oleh sekelompok orang (komunal) yang dibatasi oleh tradisi, adat-istiadat, dan bahkan oleh lingkungan geografis dan etnisitas tertentu. Pendek kata budaya rakyat adalah budaya yang sama/identik dengan tradisi tertentu dan dia dihidupi oleh kehendak rakyat (individu-individu anggota kelompok komunal tadi).

Selanjutnya adalah budaya kerakyatan. Kalau budaya rakyat hanya bersifat lokal dan komunal (kelompok-kelompok), budaya kerakyatan lebih besar dan mengatasi dari sekadar rakyat yang jadi anggota kelompok-kelompok. Budaya kerakyatan sudah memiliki kesadaran tentang kebangsaan dalam arti kesadaran yang mengatasi sekat-sekat kelompok antartradisi yang berbeda-beda dan mampu melebur dalam satu bangsa. Kesadaran inilah yang melandasi suatu nasion (bangsa). Dalam perjalan waktu, periode di mana kesadaran ini menjamur adalah periode kebangkitan nasionalisme. Budaya ini juga dihidupi oleh rakyat yang mendeklarasikan diri sebagai satu bangsa lewat ideologi kerakyatannya. Ideologi ini bisa saja ditularkan dari atas lewat para pendiri bangsa maupun tumbuh dari akar rumput (rakyat itu sendiri).

Ada pun budaya populer adalah budaya yang juga milik “rakyat” dalam arti orang-orang yang hidup di dalam masyarakat namun dia terbentuk atas peran aktif media dalam menciptakan apa yang disebut “realitas media”. Realitas ini berdiri di atas dasar yang terdiri dari laku konsumsi segala macam orang yang telah menjadi massa, bukan lagi rakyat dalam arti sebelumnya.  Media massa di dalam masyarakat seperti ini tidak lagi berfungsi sebagai penyampai pesan dan tempat mengungkapkan perasaan, melainkan sebagai pencipta makna dan pengendali perasaan. Budaya ini dihidupi oleh media dengan kehendak kapitalisme (mencari keuntungan) dan konsumsi.

Cara Meneliti Budaya Populer (antara lain)

Metodologi Penelitian Budaya Populer

Catatan penting yang bisa diambil dari cara baca St. Sunardi ini adalah bahwa setiap kegelisahan dan minat penelitian yang menjadikan budaya populer sebagai objek mesti memperhatikan setidaknya 3 hal: realitas media, laku konsumsi dan sistem kapitalisme.

Ketiga hal ini paralel dengan tiga topos (akar kata dari topik, yang secara harfiah berarti hamparan atau ranah):

  1. teks
  2. pengalaman subjek
  3. relasi sosial

Ketiga topos atau hamparan ini pada dasarnya adalah tiga kategori objek material yang dapat dijadikan objek material penelitian. Ketiganya bisa saja tumpang tindih dalam satu masalah yang menarik perhatian seorang peneliti. Sebagai misal: persoalan yang digelisahkan adalah budaya costplay. Yang namanya kegelisahan campur aduk, seakan pertanyaan tentang budaya ini perlu dapat prioritas. Namun dalam logika penelitian, peneliti harus memutuskan mana yang diutamakan dan mana yang dikemudiankan. Artinya, peneliti harus memutuskan apakah akan mempersoalkan fenomena costplay sebagai teks, atau pengalaman subjek remaja yang memakai kostum tokoh kesayangannya, pengalaman orang yang melihat si remaja memakainya, dsb. Begitu juga fenomena ini bisa dilihat dalam konteks relasi sosial antara kepentingan media meng-trendikan budaya ini, siapa saja yang diuntungkan, siapa saja yang “dikorbankan” karena harus membeli sekian banyak bahan untuk pakaian yang tidak cocok untuk daerah tropis. Masih banyak lagi contoh yang bisa diturunkan dari sini.

Keputusan tentang tiga topos ini penting diperhatikan karena berimplikasi pada aspek metodologis. Jika topos dari satu fenomena budaya populer yang dipilih bersifat tekstual, maka cara menelitinya adalah dengan memosisikannya sebagai teks yang harus dibaca. Begitu pula jika diposisikan sebagai pengalaman subjek, maka analisisnya harus memakai teknik yang sesuai dengan data kualitatif yang penuh pesan yang maknanya harus ditemukan lewat interpretasi analitik. Kalau diputuskan sebagai relasi sosial, maka menelitinya juga harus memakai kacamata yang memosisikan fenomena budaya pop itu sebagai jejaring relasi berbagai pihak dengan kepentingan masing-masing dan analisisnya memakai perspektif disiplin sosiologis atau ilmu politik.

Cara Mengambil Hikmah dari Penelitian Budaya Populer

Menggelisahkan fenomena budaya populer akan berfaidah dan relevan, terutama bagi seorang santri, jika:

  1. Realitas budaya populer disadari sebagai sesuatu yang bertumpu pada komunikasi massa dan dari kesadaran ini muncul niat untuk memengaruhi realitas itu sesuai tujuan dan cita-cita bersama yang lebih mendasar. Oleh karena itu disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa dan tanda mutlak diperlukan sebagai dasar.
  2. Realitas budaya populer disadari sebagai sesuatu yang bergerak dengan logika konsumsi dan dari kesadaran ini muncul niat untuk mengakui adanya sistem kebutuhan (sistem of needs). Dengan kata lain, niatan untuk memiliki kesadaran tentang perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.
  3. Realitas budaya populer disadari dan dijadikan sebagai sesuatu yang bisa dijadikan kawah candradimuka untuk merevitalisasi dan mengembangkan disiplin ushul fiqh, terutama seputar tema ‘urf.

[1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Pelatihan Metodologi Penelitian Budaya Populer yang diadakan LPPM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 29-30 Oktober 2018, di Yogyakarta.

[2] Seluruh kutipan dan rujukan yang ada di sini berasal dari kata pengantar dari St. Sunardi, “Rakyat, Kerakyatan, dan Populer,” dan Bab Pendahuluan buku Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, Yogyakarta: Narasi, 2016.

Tinggalkan komentar