Belajar dari Bencana demi Bencana

Belajar dari Bencana demi Bencana

Oleh: Zamhari, S.Kom.I

Belum kering air mata duka di tanah berjuluk Seribu Masjid Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB), kini bencana gempa bumi disusul tsunami juga terjadi di Palu – Donggala Sulawesi Tengah. Hingga saat ini, korban jiwa telah mencapai 1.407 orang dan kemungkinan akan bertambah (Kompas, 4/10/2018).

Jika dilihat dari jumlah korban yang masuk hingga akhir ini, terlihat bahwa belum ada perubahan radikal yang lahir baik dari pemerintah maupun masyarakat untuk meminimalisir korban bencana. Hal ini tentunya memantik semangat bersama untuk terus berbenah. Hal ini agar kedepannya tak ada lagi korban bencana, khususnya yang bekaitan dengan gempa bumi dan tsunami.

Barangkali belum terlalu banyak masyarakat yang mengerti mengenai potensi gempa bumi yang  terjadi di Palu-Donggala baru-baru ini. Padahal, potensi gempa bumi tersebut sebenarnya sudah pernah ditulis oleh seorang jurnalis Kompas Ahmad Arief. Pada tahun 2012, Ahmad Arief menulis artikel ilmiah bertajuk Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh. Tulisan tersebut memaparkan bahwa berdasarkan penelitian yang telah disusun melalui data-data historis, wawancara para ahli hingga survei. Dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa pernah ada gempa dan tsunami besar yang terjadi di Pulau Sulawesi.

Kemudian pada tahun 2017, Ahmad Arief kembali menulis sebuah tulisan yang bertajuk Waspadai Gempa Besar di Sulawesi. Tulisan Ahmad Arief tersebut lebih menekankan pembahasan mengenai potensi-potensi gempa bumi yang akan terjadi di sesar aktif Palu Koro. Dijelaskan Pula bahwa Sesar Palu Koro berpotensi gempa bumi sebab sesar ini merupakan jalur sesar paling tinggi pergerakannya di Indonesia. Perubahan gerak sesar bisa mencapai rata-rata per tahun 40 mm. Hal ini berbeda jauh dibandingkan Sesar Sumatera yang 10 mm per tahun dan di Jawa sekitar 1 mm per tahun. Secara historis, gempa yang terjadi sejak tahun 1.800 tercatat telah terjadi 18 kali tsunami di sekitar perairan ini hingga Selat Makassar.

Pentingnya Literasi

Begitu pentingnya sebuah literasi, meskipun tidak bisa secara akurat memprediksikan kapan dan di mana gempa akan terjadi, namun kiranya bijaksana hidup di negeri cincin api perlu digaungkan kembali mengingat bencana gempa bumi dan tsunami bisa saja terjadi tanpa kita sadari. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah menguatkan budaya literasi baik kemampuan secara menulis maupun membaca.

Alangkah lebih baiknya apabila tulisan yang memaparkan akan adanya potensi gempa bumi dan tsunami disambut dengan baik sebagai wujud meningkatkan kewaspadaan. Sayangnya, adanya berbagai tulisan ilmiah mengenai prediksi bencana gempa bumi maupun tsunami, terkadang hanya dianggap tabu, angin lalu, mengada-ada dan ujung-ujungnya dapat mempengaruhi citra buruk bagi media bersangkutan.

Begitupun pihak media, sebaiknya terus menggalakkan informasi-informasi tentang mitigasi kebencanaan melalui penelitian, reportase dan investigasi ilmiah. Penulis yakin di era ini, media massa baik offline maupun online bisa lebih maksimal dengan dukungan dari bidang digital marketing media sosial. Alhasil, diharapkan keilmuan jurnalisme bencana yang akhir-akhir ini terus dikembangkan bisa mendapat perhatian khusus demi kepentingan masyarakat bersama.

Outputnya, pemerintah kedepannya bisa bekerjasama dengan wartawan atau jurnalis untuk membuat semacam karya tulisan ilmiah, reportase maupun investigasi kebencanaan di wilayahnya masing-masing. Tentu saja dalam hal ini pihak pemerintah harus meyakinkan kepada masyarakat bahwa informasi yang beredar bukan atas dasar untuk menakut-nakuti, namun lebih pada waspada siaga bencana.

Belajar dari Bencana

Pemerintah sebaiknya juga segera mencanangkan strategi jitu guna meminimalisir banyaknya korban seperti halnya mengenai bahan, bentuk dan kekuatan bangunan di daerah rawan gempa. Mitigasi bencana tsunami terkait apa yang seharusnya dilakukan masyarakat bila terjadi tsunami hingga hal-hal yang terjadi setelah bencana alam terjadi. Dengan demikian, perubahan radikal yang diharapkan bisa lebih holistik meliputi prabencana, bencana dan pascabencana.

Dibalik melimpahnya sumber daya alam yang disediakan Tuhan, kita juga hidup di tengah-tengah tanah yang rawan bencana. Tugas kita adalah menjaga sekaligus saling mengingatkan untuk belajar dari bencana demi bencana agar tidak terulang lagi banyaknya korban jiwa.

 

*Mahasiswa Program Magister (S2)

Komunikasi dan Penyiaran Islam

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Tinggalkan komentar