Tragedi Novel Baswedan dan Kemanusiaan yang Diciderai

Opini mahasiswa Rusdi
Penulis
  • Rusdiyanto
  • Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
  • Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

 

Masih ingat Novel Baswedan?

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tempo hari disirami air keras setelah menunaikan salat subuh di dekat rumahnya. Peristiwa teror ini bukan yang pertama kali dialami penyidik senior KPK.

Novel Baswedan sebelumnya pernah ditabrak mobil saat mengendarai sepeda motor menuju kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Kecelakaan mobil yang pernah dialami saat di NTB juga ditengarai sebagai bagian dari teror dan intimedasi pada penyidik KPK ini.

Teror dan ancaman adalah risiko bagi siapa saja yang gigih memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Risiko itulah yang telah dialami Udin (wartawan yang dilibas di rumahnya di Bantul 13 agustus 1966).

Selain itu ada juga Marsinah (seorang aktivis dan buruh yang diculik kemudian ditemukan terbunuh pada 8 mei 1993), Munir Said Thalib (Aktifis HAM yang meninggal dalam perjalanan pada 7 September 2004), para Petani Rembang yang menolak pakrik semin dan tentu masih banyak lagi yang lainnya.

Sejarah mencatat bahwa seringkali para pejuang sejati ‘dilenyapkan’ bukan karena makar atau membuat onar, tetapi ‘dosa’ para pejuang adalah karena mereka menuntut tegaknya keadilan, memperjuangkan keterbukaan dan meneriakkan kebenaran.

Hanya Angin Lewat

Di tengah suasana heboh pilkada DKI Jakarta, peristiwa yang menimpa Novel Baswedan sebagaimana tragedi serupa sebelumnya seperti ‘angin lewat’ yang hanya dirasakan pada saat kejadian, setelah itu hilang begitu saja.

Presiden Joko Widodo, organisasi masyarkat, LSM, elit-elit publik dan lain-lain banyak yang mengutuk keras kejadian itu. Polri pun berjanji mengusut tuntas kasus itu. Tapi, sampai kapan bisa diketahui secara jelas pelaku berikut motif kekerasan itu?

Masyarakat hanya bisa menunggu dan berharap peristiwa serupa tidak ada lagi dan menagih janji penegak hukum bisa terealisasi.

Setiap kekerasan yang menimpa pastilah tragis dan memilukan, tetapi kekerasan yang menimpa penegak keadilan, pejuang kebenaran, pembela kemanusiaan tidak hanya menjadi tragedi dan musibah bagi sanak keluarganya saja.

Peristiwa demikian adalah simbol ‘tegaknya kedzaliman’ yang patut dijadikan tragedi dan musibah bersama bagi siapa saja yang masih memiliki akal sehat dan hati nurani.

Mengapa? Karena dalam peristiwa semacam itu ada seusuatu yang hakiki dan tak bisa diabaikan begitu saja, yakni “terancamnya keadilan yang ujungnya dapat melukai nurani kemanusiaan.”

Kita KPK

Tanah air yang yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah milik bersama seluruh rakyat. Karunia Tuhan berupa kekayaan alam yang terkandung baik di darat, laut maupun udaranya telah menjadi darah daging.

Tanah air ini adalah kehormatan dan harga diri. Di bumi ini pulalah leluhur dan jasad kita nanti dikubur. Karena itu, apabila kehormatan dan harga diri itu dirampas maka hilanglah kehormatan dan harga diri bangsa ini.

Dahulu, ketika bangsa ini dijajah oleh bangsa asing, rakyat yang memiliki hati nurani dan kecintaan pada negerinya bangkit melawan memperjuangkan ‘kemerdekaan’.

Dari perjuangan merekalah bangsa ini meraih kemerdekaan, meski banyak dari para pejuang itu seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Tjoek Nyak Dien, Cokroaminoto, dan pahlawan yang meninggal sebelum 17 agustus 1945 yang tidak bisa mencicipi susasana Indonesia merdeka.

Setelah 17 Agustus 1945 negeri ini memang sudah menyandang status negeri merdeka, tetapi kemerdekaan sejati sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 masih tetap menjadi cita-cita yang perlu diperjuangkan.

Sebab, keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagaimana termaktub dalam Pancasila itu masih dinodai oleh para ‘anak negeri’ yang hanya berjuang menggemukkan perutnya sendiri.

Negeri ini sedang dilanda krisis keadilan, para pejabat publik baik dari lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif yang mestinya menjadi ujung tombak terwujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD, justru tidak jarang menampilkan prilaku amoral yang mencemarkan dan menghambat tegaknya keadilan.

“½ Kepala Daerah” kata Buya Syafii Maarif dalam sebuah kesempatan “merupakan pasien KPK.” Belum lagi kita selalu disuguhkan tingkah tidak teladan dari para anggota dewan, seperti kekisruhan rapat DPD RI.  Dari keadaan yang demikian rakyat-lah yang selalu jadi korban, sekalipun para elit itu berteriak lantang atas nama rakyat.

Para pejuang keadilan itu selalu ada, karena keadilan adalah suara hati nurani. Semangat KPK dan para pengegak hukum untuk mewujudkan tegaknya hukum yang adil pastilah mendapatkan dukungan penuh asalkan para pengegak hukum itu tidak mengkhianati keadilan.

Pesan Novel Baswedan sebagaimana dikutip Harian Kompas edisi 12 April 2017 berikut ini layak didengar dan dilaksanakan oleh siapa saja yang sedang memperjuangkan keadilan:

“Saya mau meberikan pesan kepada penegak hukum, tidak hanya di KPK, tetapi juga penegak hukum lain. Di Polri, di Kejaksaan. Mereka yang punya integritas masih banyak. Tetap saja berani, tidak perlu takut pada hal begini (kriminalisasi). Andaikan ada yang membuat sesuatu kepada kita, untuk membuat kita terhina. Itu tidak akan terjadi. Allah akan tetap memberikan kemuliaan. Risiko itu semua yang harus dipahami penegak hukum. Percayalah, risiko itu tidak akan menjadi risiko kalau kita memandang bahwa Allah akan memberikan kemuliaan kepada kita dalam rangka menegakkan hukum.”

Baca juga bagaimana Tips Menulis Artikel Opini

Tinggalkan komentar