“Saya Tidak Tahu” adalah Setengahnya Ilmu

Saya Tidak Tahu adalah Setengahnya Ilmu
Pixabay.com

“Sudah lulus belum bro?”

“Alhamdulillah sudah”.

“Kok masih ikut training di sini? Percuma donk kuliahnya?”.

Aku hanya tersenyum, di dalam hati saya, mungkin dia lagi salah ucap.

“Eh, dosen itu kontribusinya apa sih? Kayaknya sama aj deh”

Tanpa beda, aku pun hanya tersenyum. Batinku, barangkali dia belum merasakan yang namanya kuliah atau.. mungkin mempunyai pengalaman yang buruk ketika  dulu kuliah. Ah sudahlah, sepertinya tidak terlalu penting untuk dibahas.

Namun, pertanyaan di atas semakin hari semakin membuatku tak bisa tidur (lebay deh haha…). Anggapanku, dia mungkin mengalami trauma.

Aku mencoba meneliti kehidupannya, kesehariannya sampai apa yang dia inginkan. Hemm… ternyata setiap harinya dia mencari uang, baik offline maupun online. Apapun itu, dipikirannya hanya uang.

Pantaslah kalau begitu, barangkali dia hanya berpikir bahwa hidup hanya butuh uang; tidak yang lainnya. Dia minim berpikir tentang sosial, budaya, teknologi dan lain sebagainya.

Melalui peristiwa ini, dengan rendah hati justru saya ingin berterima kasih kepada para akademisi (dosen). Aku tidak tahu bagaimana bila ilmu tidak di-update, bagaimana bila ruang diskusi benar-benar mati, dan bagaimana bila ruang pendidikan berhenti.

Bagi saya, tak ada satupun profesi di dunia ini yang bisa kita rendahkan. Baik pengusaha, tak bisa merendahkan profesi pembantu, baik manager, tak bisa merendahkan seorang tukang sapu. Semua mempunyai tugas masing-masing.

Ada banyak hal, ada banyak sisi dan ada banyak faktor yang kita benar-benar tidak tahu dan tak akan pernah bisa tahu.

Benarlah kata para sesepuh kita dahulu, bahwa tidak tahu merupakan bagian dari ilmu. Ketidaktahuan mengajarkan kita untuk berperilaku terbaik, berdoa yang terbaik, berkata baik termasuk berprasangka yang baik-baik.

Mereka selalu menjunjung ilmu dan wawasan di mana saja meskipun hanya sekedar mengucapkan, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Suatu ketika, datang seseorang kepada Imam Malik Bin Anas Rahimahullah, bertanya tentang satu masalah hingga beberapa hari beliau belum menjawab dan selalu mengatakan “saya tidak tahu”.

Sampai kemudian orang itu datang dan berkata, “Wahai Abu ‘Abdillah, aku akan keluar kota dan aku sudah sering pulang pergi ke tempatmu (yakni meminta jawaban)”.

Maka Imam Malik menundukkan kepalanya beberapa saat, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Masya Allah Hadza, aku berbicara adalah untuk mengharapkan pahala.

Namun, aku betul-betul tidak mengetahui apa yang kamu tanyakan.”

(Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilya, 6/323; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi 2/53; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 816; Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqih 2/174; lihat Hilyatul ‘Alimi al Mu’allim, ha 63).

Coba perhatikan ucapan dari Imam Asy-Sya’bi Rahimahullah, “Kalimat ’saya tidak tahu’ adalah setengah ilmu”. (Riwayat Ad-Darimi 1/63; Al-Khatib dalam Al-Faqih Wal Mutafaqih juz 2/173; Baihaqi dalam Al-Madkhal no 810. Lihat Hilyatul ‘Ilmi Al-Mu’allim ham 65)

Bisa jadi, tukang sapu (yang jujur) di pinggir jalan itu lebih baik daripada anggota dewan yang korupsi.

 

Penulis Pembicara Seminar Pendidikan

Tinggalkan komentar