Negara Tiga Nahkoda

Sumber www.santabanta.com
Sumber www.santabanta.com

Ketika Megawati Soekarno Putri resmi memberikan mandat kepada Jokowi untuk menjadi calon presiden (14/03/2014), sebagian publik beranggapan bahwa berjalannya pemerintahan Jokowi, nantinya akan banyak mendapat campur tangan dari internal partai koalisi. Anggapan itu rupanya benar-benar terjadi dalam tubuh pemerintahan Jokowi akhir-akhir ini.

Bermula dari penunjukan Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan (BG) yang dilakukan sepihak oleh Jokowi, KPK sebelumnya telah menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006.


Merasa di atas angin, BG pun mengajukan gugatan praperadilan atas sangkaan KPK. Selanjutnya, pada Senin (16/2/2015), hakim Sarpin Rizaldi memutuskan bahwa penetapan tersangka BG oleh KPK tidak sah. Adanya kasus tersebut berdampak pada munculnya berbagai pihak; Pihak pertama adalah kelompok yang mendukung KPK. Pihak kedua, kelompok yang mendukung Polri, dan pihak ketiga adalah presiden itu sendiri.

Negara Tiga Nahkoda

Seperti kapal layar, kemanapun tujuannya pasti membutuhkan satu nahkoda yang dipercaya. Tak bisa dibayangkan seandainya ketiga nahkoda tersebut saling berbeda pandangan dalam menentukan arah tujuan. Lebih-lebih kepada nahkoda utama (baca: presiden) yang punya andil besar dalam menentukan keputusan tak boleh bimbang. Itulah sekelumit gambaran yang terjadi di istana negara saat ini, satu negara dipimpin tiga nahkoda.

Dua lembaga raksasa penegak hukum memang tak dapat dipungkiri kerja profesionalnya selama ini. KPK berada pada ranah penegakan hukum terkait korupsi, sedangkan kepolisian fokus pada tindak kejahatan. Namun, keduanya bukannya saling bersinergi, KPK-Polri semakin berseteru berlomba-lomba mendapat simpati publik. Hasilnya, KPK-Polri telah mempersiapkan argumennya masing-masing guna menggiring opini publik atas nama kepentingan rakyat dan keabsahan hukum.

Publik pun ingin segera menanti ketegasan presiden, namun ternyata presiden masih urung menentukan kebijakan. Terlebih, presiden acapkali memberikan keterangan “masih banyak yang harus saya selesaikan”. Pernyataan yang seolah-olah tidak terlalu menganggap penting kegelisahan publik terkait panasnya hubungan dua lembaga penegak hukum tersebut.

Sudah menjadi perbincangan umum, bahwa publik pun terlanjur mengetahui penunjukan Polri terkesan mendapat ‘pesanan’ dan paksaan. Publik menilai bahwa dalam pemerintahan Jokowi, Megawati terlalu campur tangan terlalu jauh. Hal inilah yang mengundang kecurigaan adanya penunjukan BG dikarenakan adanya balas budi mengingat BG adalah ajudan Megawati saat menjadi presiden RI ke-4.

Kini, kendali nahkoda kapal layar berada di tangan Jokowi. Jokowilah yang akan menentukan nasib bangsa ke depan. Memang tak dapat dipungkiri bahwa perjalanan menuju istana adalah perjalanan penuh lika-liku balas budi. Yang perlu diingat, Jokowi dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia, otomatis kehendak rakyatlah yang semestinya dilaksanakan. Namun kita seolah berada dalam kapal dengan tiga nahkoda

Presiden seharusnya tak menunggu masalah KPK-Polri menjadi berlarut-larut. Presiden secepatnya memberikan ruang saling legawa untuk membuktikan proses hukum di dua lembaga tersebut agar berjalan dengan jujur, bersih dan transparan. Karena bagaimanapun juga, jika perseteruan ini berujung saling sandera, wibawa dua lembaga penegak hukum tersebut akan semakin pudar. Tak hanya pejabat yang telah ditetapkan sebagai tersangka koruptor yang beruntung, namun bibit-bibit koruptor akan semakin tumbuh menyebar dan merajalela.

Dalam situasi pelik yang mengharuskan sang presiden menelan pahit-pahit buah simalakama, presiden harus mampu duduk di antara semua lembaga termasuk KPK-Polri. Kuatnya tarik menarik kepentingan politik di sekitarnya perlu segera diredam dengan kesadaran kecintaan berbangsa dan bernegara. Mengambil langkah taktis memilih calon Kapolri baru yang benar-benar tidak ada beban masalah di masa lalunya dinilai langkah yang paling tepat.

Juga, publik berharap bahwa presiden dapat mengambil keputusan yang dapat menyelamatkan KPK-Kapolri. Melihat kondisi saat ini, sepertinya keberuntungan tidak memihak pada salah satu pihak penegak hukum yang mulai lumpuh tergerogoti. KPK adalah anak kandung dari reformasi, oleh karena itu jika KPK sampai lumpuh total otomatis reformasi yang mengorbankan jiwa-jiwa aktivis 98 sudah tidak ada artinya lagi. Pak Presiden, sampai kapan kami harus menunggu sikap ketegasan Anda?

Tinggalkan komentar