Masjid Para Pencari Tuhan (Tulisan Spesial Hari Raya Idul Fitri)

Sekali lagi Dedi Mizwar meluncurkan sebuah karyanya : Sinetron Para Pencari Tuhan. Jelas ia ingin mengalahkan “kehendak” pasar dan berhala rating. Sebuah sinetron yang lagi-lagi ringan namun penuh makna, imani namun juga insani, sangat membumi namun sarat pesan langit. Dan yang terpenting, ia mengalahkan rating.

Tadinya penulis mengira para pencari Tuhan adalah kisah tentang tiga mantan narapidana yang mencari kebenaran di bawah bimbingan seorang marbot penjual kembang. Tapi tidak, seluruh pelakunya adalah para pencari Tuhan belaka, tanpa kecuali. Dan mushalla At Taufiq menempatkan dirinya menjadi padang pencarian, bukan terminal perhentian.

klikhotel.com
klikhotel.com

Di mushalla itu ada Bang Jack, marbot yang kebapakan namun sesekali materialistis dan genit. Ada ustadz Ferry yang berdakwah demi kemashuran, Asrul yang tamatan pesantren namun malas berusahan, Udin yang menyebalkan namun fasih dengan petuah agama. Ada juga pencuri yang hafal 12 juz AlQur’an, atau Aya sang gadis berjilbab yang sulit memaafkan.

Dan ketika semuanya adalah para pencari Tuhan, maka tak ada lagi penghujatan, karena tak satupun jang berhak menghujat dan tak satupun yang sepenuhnya layak dihujat. Tak ada semangat menggurui, karena semuanya adalah murid di hadapan Allah, di dalam rumah Allah. Tidak juga Ustadz Ferry, yang motifnya terlalu belang di mata istrinya, atau Bang Jack yang honorarium adalah penggeraknya dalam berceramah.

Tapi itu hanya mungkin d Mushalla At Taufiq, rumah ibadah yang dikelola dengan semangat pelayanan, bukan semangat pemilikan. Allah-lah pemilik masjid atau mushalla. Pengurus masjid bukanlah shahibul masjid (pemilik masjid), tapi khadimul jama’ah (pelayan jama’ah).

Maka Bang Jack tak berhak melarang pencuri yang lari dari kejaran dan ingin shalat di dalamnya. Sebagai pelayan tak ada hak berlebihan bagi para pengurus untuk meregulasi aktivitas kemasjidan, atau membentengi masjid dari pencitraan yang negatif.

Mushalla At-Taufiq adalah rumah Allah yang sadar eksistensi bahwa dirinya adalah wilayah publik, wilayah yang memungkinkan segalanya terjadi, yang dikehendaki maupun yang tak dikehendaki. Sebagai wilayah publik, masjid atau mushalla adalah sebuah melting pot dimana realitas jama’ah adalah determinan, sedangkan syari’ah ditegakkan di atas pertimbangan determinan tersebut.

Rasulullah SAW  sekalipun tak bisa sekehendak hatinya menentukan seberapa panjang ia harus memimpin sebuah shalat berjama’ah, karena realitas makmum adalah faktor penentu bagi kebijakan sang imam (AlHadits).

Kegagapan para pengurus masjid atau mushalla akan kenyataan bahwa mereka hanyalah pelayan dari sebuah public area, akan berakibat pada sensitivitas yang berlebihan terhadap ideologi, pemikiran, sikap dan tindak-tanduk jama’ah. Semangat jaim (jaga image) menjadi lebih mengemuka, diantaranya melalui sejumlah upaya counter opinion terhadap perilaku oknum jama’ah yang oleh media kadung dilekatkan dengan masjid atau mushalla tertentu.

Tentunya dalam semangat para pencari Tuhan, gairah berlebihan untuk menjadi regulator dan filter masjid tersebut perlu lebih dikendalikan. Pencari Tuhan bukanlah penemu Tuhan, apalagi pemilik Tuhan. Tugas pengurus adalah membuka pintu selebar-lebarnya bagi para pencari Tuhan lainnya.

Bahkan, boleh jadi pencarian Tuhan akan menemukan titik terangnya dari para pelacur yang diijinkan bertandang ke masjid kita. Jangan sampai keinginan seseorang untuk beroleh hidayah di masjid kita terkendala oleh regulasi yang kita buat sendiri ”atas nama syari’ah”.

Penulis teringat sebuah peristiwa belasan tahun silam di sebuah masjid kampus, ketika sebuah seminar agama dengan tema sangat menarik, diminati oleh kalangan ummat yang sangat luas dan beragam. Sayang, sejumlah regulasi ”syar’ie” yang dibuat panitia yang terdiri dari para mahasiswa yang ber”ghirah Islamiyah” sangat tinggi, telah membuat sejumlah peminat mundur teratur.

Mereka, yang pemahaman keislamannya masih sangat terbatas, terkendala untuk beroleh hidayah Allah oleh sebuah regulasi. Sebuah acara yang ternyata hanya diperuntukkan bagi para ”penemu” Tuhan, bukan para pencari Tuhan

Kekuatan masjid terletak pada keterbukaannya dan pada semangatnya sebagai tempat mencari kebenaran. Terhindarnya masjid dari penyimpangan dan ekstremisme terjadi karena suasana dialogis yang dibangun oleh keterbukaan dan ketulusan.

Lahirnya gagasan-gagasan besar dan lurus dari dalam masjid terjadi karena silaturrahim pemikiran dari madzhab yang berbeda-beda. Pada akhirnya gerakan Islam yang lurus hanya akan lahir dari masjid yang terbuka, lewat keragaman dan kekayaan sumber daya, serta semangat check and recheck (tabayyun) yang terbuka.

Lahirnya aliran-aliran menyimpang di luar masjid belakangan ini, seperti AlQur’an Suci atau AlQiyadah AlIslamiyah, adalah buah dari ketertutupan masjid juga. Aliran-aliran tersebut lahir dari tempat-tempat tertutup, dilakukan secara tertutup dan bersifat tertutup pula.

Tak ada peluang dialogis. Sedangkan kebenaran yang tidak dialogis, bahkan dipagari untuk menjaga ”orisinalitas”nya, justru akan berbuah penyimpangan. Seandainya masjid mengijinkan dirinya sebagai tempat bergulirnya embrio-embrio ”kesesatan” semacam itu, mungkin ia dapat diluruskan atau dibersihkan sejak dini lewat dialog.

Masjid perlu melakukan upaya-upaya antisipatif bahwa aliran-aliran semacam itu akan semakin menjamur dalam waktu dekat. Ada kerinduan di kalangan ummat akan gerakan-gerakan atau pemikiran-pemikiran alternatif, setelah jenuh dengan aliran ”Islam politik”, ”Islam kekuasaan”, atau ”Islam fundamental” yang cukup dominan selama hampir seabad.

Maka masjid perlu melakukan upaya-upaya tajdid, memberikan alternatif-alternatif pemikiran, dan ijtihad-ijtihad amaliyah, tentunya dengan menjadikan dirinya wadah terbuka bagi seluruh potensi ummat untuk bersinergi. Hanya dari masjid kita dapat berharap lahirnya pemikiran dan gerakan yang lurus dan moderat (washathan), berkat keterbukaannya.

Para pengurus masjid tak perlu merepotkan dirinya dalam upaya-upaya penjagaan citra, pelurusan citra, counter opinion atau klarifikasi atas nada-nada sumbang yang diakibatkan oleh ulah jama’ahnya. Biarlah Allah yang mengklarifikasinya. Masjid juga tak perlu menjadi filter bagi jama’ah nakal yang pernah merusak citranya. Karena yang RasulullahSAW lakukan terhadap seorang Badui yang mengencingi pojok masjid hanyalah ”siram dengan seember air”..

Masjid adalah rumah hidayah bagi para pencari Tuhan. Tugasnya bukan mengcounter yang salah, tapi meluruskan. Bukan filter bagi anasir negatif yang ingin masuk ke dalamnya, tapi menetralisirnya. Semangat baik sangka perlu menjadi pakaian pengurusnya, bahwa seorang pemabuk yang memakai peci bukanlah orang yang ingin merusak citra peci, tapi seorang pemabuk yang masih mencintai peci. Akan lebih baik jika enersi masjid digunakan untuk memberdayakan ummat, para pencari Tuhan.

Oleh karenanya, sadar akan kenyataan bahwa masjid adalah kawasan publik yang menjadi rumah Allah, maka masjid perlu dikelola lewat kebijakan dan kebijaksanakan (managed by policy and wisdom), bukan lewat aturan dan regulasi (not by rule and regulation).

Sebagai rumah Allah, ia patut disucikan dan dimuliakan, namun lewat tuntunan dan dakwah, bukan lewat tata aturan. Mari kita fasilitasi masjid dan jama’ah dengan yang haq, agar di dalamnya kebenaran dapat dieksekusi secara maksimal, dan keburukan ditekan hingga minimal.

Penulis berkeyakinan, sudah saatnya masjid kembali merebut posisi syar’ie yang Allah berikan kepadanya, sebagai rumah ummat, setelah selama puluhan tahun terpinggirkan dari riuh-rendah gerakan Islam yang lebih memilih bermarkas di rumah-rumah dan di bawah tanah, setidaknya sejak 1984.

Lewat kumandang adzannya, masjid perlu kembali merebut hati ummat yang telah lama patah arang dan mengambil sikap, ”Islam yes, masjid no !”. Masjid perlu kembali meyakinkan ummat bahwa perjuangan yang tidak dimulai dari masjid dan di masjid, akan berbuah penyimpangan dan kehilangan ridha Allah. Wallahu ’alam bishshawab.

 

Penulis Adriano Rusfi

(Senior Consultant)

Dewan Pembina Masjid Salman ITB

Tinggalkan komentar