Manfaat Makan yang Sedikit

Judul di atas adalah nasehat yang selalu diulang-ulang oleh guru-guru kami. Baik guru agamis, akademis sampai guru bisnis semuanya menasheti agar makanlah yang sedikit. Termasuk salah satu guru muda kami Ustadz Ibrahim Vatih baru-baru ini.

makan yang sedikit
media.licdn.com

Kelihatannya memang mudah, namun bila menjalaninya belum tentu Anda bisa konsisten. Urusan perut memang susah, apalagi bawahnya. Bila perutnya bermasalah, sudah barang tentu yang bawahnya pun akan ikut bermasalah.

Coba kita jelajahi pengalaman hidup kita masing-masing. Bila kita pernah makan yang banyak sampai berlebihan; akibat yang ditimbulkan biasanya seperti mudah mengantuk, terlalu banyak tidur, susah bangun malam, pemicu penyakit-penyakit baru di dalam tubuh dan masih banyak lagi kerugian yang akan kita dapatkan.

Barangkali kita pernah beranggapan bahwa dengan makan yang banyak kita akan lebih sehat, kita akan lebih giat bekerja, atau bahkan kita beranggapan bila kita makan banyak waktu kita akan lebih produktif.

Sayang seribu sayang kenyataannya tidak begitu. Salah satu Guru Agung kita Nabi Muhammad Saw telah memberikan contoh kepada kita agar makan dan berhenti sebelum kenyang.

Bukankah nasehat dari Rosulullah Saw di atas adalah nasehat yang sangat indah?

Rosulullah Saw mengajarkan kepada kita untuk makan dan berhenti sebelum kenyang agar kita tidak terjebak di dalam sikap yang berlebihan.

Pelajaran di atas juga membisiki telinga kita agar kita juga peduli dengan nasib saudara yang lain. Dengan makan yang sedikit, ada bagian makanan untuk saudara kita yang lain.

Coba bila kita makan terlalu banyak; Yang ada bukan bagian makanan, namun SISA makanan. Bukankah kita juga diajarkan untuk memberikan sebagian apa yang kita cintai?

Guru-guru kami yang Makannya Sedikit

Bukan dikatakan guru bila tak sederhana. Termasuk cara makan yang sederhana dan sedikit.

Seperti salah satu guru kami Hazrati Sulaiman Tunahen. Beliau adalah pendiri salah satu pondok pesantren yang pusatnya berada di Turki. Dalam perkembangannya, atas izin Allah beliau mampu mengembangkan pesantrennya sampai setiap negara bahkan propinsi ada cabangnya.

Beliau adalah seorang guru yang makannya sedikit. Hal itu berbanding lurus dengan kehidupannya; beliau jarang sekali memanjakan lambungnya di tempat tidur (tidur).

Beliau adalah guru yang produktif, sampai-sampai ketika beliau menulis kitab dan beliau merasa kantuk atau lelah, beliau menumpangkan sebuah es batu di atas pundaknya.

Dengan aktivitas demikian, beliau ingin selalu terjaga dan produktif di sepanjang hayatnya.

Makanan yang Sesungguhnya

Timbullah sebuah pertanyaan; “Mengapa mereka (guru-guru kami) tak pernah merasa lapar?”

Seringkali manusia hanya melihat yang Nampak-nampak saja. Istilah konkritnya hanya melihat dari segi yang terlihat saja; seperti fisik.

Bila manusia hanya melihat dari segi fisiknya saja, sudah barang tentu Ia akan selalu tertipu. Begitu banyak pelbagai persoalan yang sekilas kita pandang sebuah kebenaran namun ternyata hal tersebut sebuah kekeliruan. Begitupun sebaliknya.

Guru-guru kami mengajarkan kepada kami bahwa makanan yang sebenarnya bukanlah nasi, roti ataupun makanan-makanan lainnya.

Makanan-makanan tersebut hanyalah makanan fisik yang mungkin tidak akan membawa dampak besar pada tubuh kita. Makanan yang bisa jadi tak membawa ketentraman, ketenangan ataupun kebermanfaatan.

So, apa yang seharusnya?

Pada hakikatnya, hal yang terpenting untuk kita beri makan adalah ruh kita. Ruh-lah yang nantinya akan kembali. Maka dari itu, makanan yang sebenarnya adalah dzikir. Ya, banyak-banyak mengingat bahwa ada dan tiada itu sangatlah dekat.

Dengan menjadikan zikir sebagai makanan sehari-hari, kita akan menjadi orang yang cerdas dari berbagai segi. Seandainya ada beberapa kekurangan, itu tidak mengapa sebab bagi orang yang mencintai sedikit; Ia akan dicintai banyak manusia.

Sebagai penutup, mari kita saling nasehat menasehati agar tidak terjerembab dalam arus jasadiyah belaka. Di balik itu, ada jiwa kita yang harus kita beri makan. Semoga semuanya membawa kelembutan sebab di akhirnya nanti kita juga akan kembali kepada Yang Maha Lembut.

Tinggalkan komentar