Hati yang Selesai

Istilah di atas saya dapatkan dari sebuah catatan kehidupan bersama warga Maiyah. Bagi penulis sendiri, bukan siapa dan di mananya yang terpenting, namun lebih pada maknanya.

Sepuluh tahun lalu, 5 tahun lalu, 1 tahun lalu, atau bahkan 1 detik lalu adalah sejarah suasana hati yang barangkali akan berbeda di setiap orangnya.

hati yang usai, ikhlas
scarletpensieve.blogspot.com

Sejarah suasana hati yang berjalan itu lama-kelamaan muncul rasa instropeksi diri. Ya, perjalanan hidup menyisakan berbagai problem “saya tidak sepakat dengan itu, saya tidak setuju dengan hal itu, saya begini, dan saya begitu.”

Bagi penulis sendiri, instropeksi pun memiliki dua wajah; antara wajah keberhasilan dengan wajah kegagalan instropeksi.

Bagi instropekster yang sukses, Ia akan melihat ketimpangan adalah sesuatu hal yang wajar, sebab dunia memang diciptakan seperti pelangi. Illah menguji siapa diantara manusia yang paling bertahan menghadapi cobaan bernama kasih sayang.

Bagi instropekster yang gagal, Ia akan melihat sebuah perbedaan sebuah hal yang sudah tak bisa lagi di jadikan karunia. Ya, perbedaan itu seakan menjadi terminal sebuah ikhtiar kebenaran sehingga yang ada hanyalah kutukan, penyesalan dan permusuhan.

Hati yang Selesai

Sudah. Rasa kekurangan memang tiada habisnya. Terlebih kepada dunia. Ada kalanya, kehendak kita, bisa diizinkan oleh Illah, namun adakalanya Ia sebagai ujian kesabaran.

Sudah. Bila hati senantiasa menuntut kesempurnaan, manusia hanya akan lelah dan menyalahkan. Bukankah manusia lebih baik mengingat kenikmatan-Nya daripada ujian dari-Nya?

Bila setiap manusia senantiasa mengingat kenikmatan-Nya, hidupnya akan dipenuhi dengan berbagai rasa kegembiraan akan rahmat Allah. Sebaliknya, bila yang dikedepankan adalah prasangka buruk kepada Allah, Ia hanya akan diliputi rasa bersalah, selalu menyalahkan dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar.

Selesaikanlah hati. Bila masa lalu, hari ini dan nanti masih ada ujian yang menyedihkan buat Anda. Kenanglah bahwa Allah ingin membimbing mental kita untuk tegar. Ya, bila manusia sering mengalami kesedihan demi kesedihan, Ia akan merasa terbiasa dengan kesedihan berikutnya. Hingga Ia akan menganggap sebuah masalah menjadi anugerah.

Tinggalkan komentar