Contoh Teks Khutbah Idul Fitri Singkat

Alhamdulillah ya, kita dipertemukan dengan bulan yang mulia Ramadhan. Di 10 hari yang terakhir ini, mari saya mengajak untuk meningkatkan iman dan takwa. Semoga kita dapat menuntaskan ramadhan kali ini dengan sebaik-baiknya.

Terlebih sebentar lagi kita akan menemui hari raya bagi ummat Muslim, hari raya Idul Fitri 1437 H. Segenap redaksi ACADEMIC INDONESIA mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir batin ya.

Khutbah Idul Fitri Pilihan
deviantart.com

 

Khutbah Idul Fitri Singkat

Pada kesempatan kali ini, ACADEMIC INDONESIA akan memberikan contoh khutbah Idul Fitri singkat. Setelah sebelumnya telah memberikan mengenai pengertian tata cara sholat Jumat, kami juga akan memaparkan bagaimana cara melaksanakan sholat Idul Fitri maupun tata cara sholat Idul Adha.

Namun sebelum itu, pada kesempatan kali ini hanya akan kami berikan contoh khutbha Idul Fitri singkat yang kami peroleh dari masjid-masjid di Yogyakarta.

 

Khutbah Idul Fitri Pilihan

Adapun dalam kesempatan kali ini, redaksi akan memberikan contoh khutbah Idul Fitri pilihan dari tokoh nasional dan tokoh masyarakat. Harapannya, dengan mengacu pada para pakar, akademisi, pejabat negara dan para intelektual di negeri ini, kita dapat mengambil banyak pelajaran baik bagaimana cara menyusun teks khutbah Idul Fitri maupun kualitas isi teks khutbah Idul Fitri itu sendiri.

 

Khutbah Idul Fitri Terbaru

Meskipun sifat teks khutbah Idul Fitri adalah teks yang bisa digunakan kapan saja, namun dalam kesempatan kali ini dan yang akan dating Insyaallah kami akan terus mengupdate. Dengan demikian, khutbah yang disampaikan dapat kita ambil ilmunya dan menjadi bekal untuk menghadapi hari-hari biasa selepas bulan Rmadhan.

Baiklah, selamat membaca dan menelaah teks khutbah Idul Fitri. Semoga bermanfaat dan barokah.

FITRAH KITA DAN NEGARA KITA

Oleh : Prof.Dr. Moh. Mahfud MD

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله أكبر 7×

اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَإلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ، اللهُ اَكْبَرُ وِللهِ الْحَمْدُ.

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَوَحَّدَنَا بِعِيْدِهِ كَأُمَّةٍ وَاحِدَةٍ، مِنْ غَيْرِ الأُمَم، وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.

أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ، اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاء وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاء وَتُعِزُّ مَن تَشَاء وَتُذِلُّ مَن تَشَاء بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ.

الَلَّهُمَّ صَلِّ وَاُسَلِّمُ عَلَى حَبِيْبِناَ المُصْطَفَى، الَّذِّي بَلَّغَ الرِّسَالَةْ، وَأَدَّى الأَمَانَةْ، وَنَصَحَ الأُمَّةْ، وَعَلَى آلِهِ

وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ، وَجاَهَدَ فِيْ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ.

اَمَّا بَعْدُ: عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ

                Syujur alhamdulillah, sejak jatuhnya tanggal 1 Syawal 1432 H tadi malam kaum muslimin diseluruh dunia mengumandangkan takbir, tahlil, tahmid, tasbih, tiada henti sebagai ungkapan kegembiraan  atas karunia yang diberikan oleh Allah dalam memenangi peperangan terbesar dalam hidup yakni memenangi perang melawan hawa nafsu diri kita masing-masing.

Selama sebulan penuh kita telah menahan diri dari hal-hal yangdilarang selama bulan Ramadhan serta memperbanyak ibadahuntuk mendapatkan ridla Allah, kini tibalah saatnya kita merayakan ‘idul fitri

الله اكبر الله اكبر الله اكبر

 

Kaum muslimin yang berbahagia…..

Istilah “’idul fitri” ini secara harfiah berarti kembali ke awal kejadian kita. Maksudnya, pada momen idul fitri ini kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang selalu berusaha berjalan diatas kebaikan atau kesucian.

Sebelum mewujud sebagai manusia seperti sekarang ini, kita sudah punya fitrah sebagai hamba yang beriman kepada Allah dan siap melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Oleh sebab itu, idul fitri ini mengandung pengertian bahwa setelah mengembara begitu jauh dan melakukan banyak hal yang mungkin menyimpang maka hari ini kita kembali ke fitrah kita sebagai makhluk yang beriman.

Sifat fitrah manusia itu juga dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 172. Allah menggambarkan bahwa dahulu, ketika kita masih berupa ruh dan belum mewujud sebagai fisik  manusia, kita pernah menganggap Tuhan di alam Arwah dan terjadilah tanya jawab:

Artinya:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anka-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil perjanjian mereka(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini tuhanmu?” Mereka menjawab: Betul,(EngakauTuhan Kami), kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu) agardihari kiamat kamu tidak mengatakan: “sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang0orang yang lengah terhadap ini(keesaan Tuhan)”.

Itulah fitrah kita. Yaitu fitrah bahwa kita adalah hamba yang berimandan membawa nurani keimanan dan kesalehan atau ketakwaan. Kita bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah.

Kita selaku hamba berikrar untuk hanya menyembah hanya kepadanya-Nya dan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangannya sebagai seorang yang saleh manakala telah hidup di dunia ini.

Akan tetapi didalam perjalanan hidup kita di dunia ini nyatanta tidakl selamanya kita berada pada garis fitrah, karena pada diri kiat padsti selalu adapertarungan antara bisikan setan dengan bisikan hati nurani kita yang fitrah yang berasal dari tiupan ruh Allah.

Asal penciptaan manusia menurut Allah memang terdiri dari dua unsur yang selalu berperang pada diri  setiap manusia yakni unsur ”tanah lempung” yang busuk dan unsur “ruh dari Allah”.

Setan yang dilambangkan dengan lempung busuk selalu mengajak merayu kita untuk mencapai kesenangan dan kepuasan yang bersifat fisik dan duniawi yang menyesatkan, sehingga kita terjerumus melkuakn perbuatan buruk dimata Allah.

Sedangkan ruh dan hati nuranisenantiasa memanggil kita kepada fitrah demi mencapai kesenangan yang bersifat spiritual dan ukhrowi sehingga kita terbimbing untuk melakukan perbuatan yang baik.

 

Kaum muslimin yang berbahagia

Khutbah Idul Fitri Terbaru
diazhandsome.wordpress.com

Dalam kehidupan sehari-hari, peperangan antara sifat ruh ialhi dan sifat lempung busuk dalam diri manusia itu berlangsung dal m berbagai jenis pertarungan. Masing-masing pernah menang dan pernah kalah.

Meskipun demikian, didalam kehidupan didunia ini ada katagari-katagori umum dimana manusia dapat disebut sebagai orang yang baik dan orng yang tidak baik. Orang yang baik adalah manusia yang lebih banyak memenangkan unsur lempung didalam pertarngan.

Allah selalu memberi jalan kepada manusia untuk kembali kepada ruh yang ditiupakan Allah, atau kembali kepada fitrahnya.

Jalan kembali kepada fitrah itu didalam islam diberikan peringatan atau perayaan tahunan berupa hari ray idul fitri yakni setiap tramggal 1 Syawal, meskipun harus diingat bahwasebenarnya upaya untuk mengelola perangagar dimenangkan oleh ruh dari Allah harus dilakukan setiap waktu.

Hari raya itu sendiri merupakanmomentum puncak dariserangkaian kita mensucikan diri selama bulan Ramadhandalam memperbaiki semua perlengkapan perng melawan hawa nafsu. Oleh sebab itu, hari raya idul fitri juga disebuthari kemenagan yangharus dirayakan dengan penuh suka cita.

 

…الله اكبر

Fitrah manusia selain sebagai hamba Allah yang suci juga sebagai khalifatullah atau wakil Allah dimuka bumi.

Sejak semula penciptaan, Allah telah mendesain manusia sebagai makhluk yang akan mmengambil tanggung jawab sebagai khalifah. Hal ini terungkap jelas dalam surat Al-Baqarah Ayat 30 ketik Allah berdialog dengan para malaikat.

واذ قال…….

Artinya:

Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi. “ mereka berkata “mengapa Engkau hendak menciptakan orang  yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih mumuji dan mensucikan engkau?, Tuhan berfirman,: “sesungguhnya Aku mengetahui apayang tidak kamu ketahui.”

Sebagai khalifah, masing-masingdari kita memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan memelihara kehidupan dunia. Untuk melaksanakn kehidupan dunia itu kita manusia dibekali kemampuan berupa akal budi atau ilmu pengetahuan serta kebebasan yang luas.

Manusia yang bertanggung jawab akan memanfaatkan kemampuan dan kebebasannya untuk menata kehidupan dunia menjadi kehidupan yang beradab, penuh hikmah dan kebijaksanaan, sehungga dunia ini bermanfaat bagi seluruh penghuninya.

Sebaliknya, manusia yang tidak bertanggung jawab boleh jadi akan menggunakan kemampuan dan kebebasannya untuk kesenangan-kesenangan sesaat yang bersifat destruktif. Dengan demikian, momentum kembali ke fitrah pada hari raya idul fitri ini juga sekaligus menjadi saat yang baik bagi kita untuk kembali memperbaiki sikap dan peran kita sebagai khalifah di muka bumi.

Artinya, melalui idul fitri ini duharapkan muncul suatu kesadaran baru untuk mebangun dunia di masa depan yang lebih baik dari pada sebelumnya. Momentum kita kembali ke fitrah ini dapat diibaratkan kita “akan kembali pulang”setelah perjalanan panjang.

Tentu kita harus tahu bujur kita serta harus punya bekal cukup agar tak sesat dan kelaparan atau terlanjurdiperjalanan. Jadi kita harus menyadari kemana kita akan kembali dan bekal-bekal apa yang perlu kita bawa.

…الله اكبر

Kaum muslimin yang berbahagia…..

Harus disadari bahwa peran dan sepak terjang manusia sebagai khalifah sangat menentukan bagi perkembangan dan perjalanan kehidupan dunia. Uyntuk itu manusia perlu membuat perencanaan dan menyusun cita-cita mulia secara kolektif demi terwujudnya suatu tatanan sosial yamg diinginkan bersama.

Salah satu capaian umat manusia dalam mengemban tugasnya sebagi khalifah adalah menciptakan tatanan sosial yang berbentuk negara. Melalui negara, umat manusia bisa membangun tertib sosial sehingga memudahkan umat manusia sendiri dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah.

Pada zaman modren ini, kita mengenal berbagai ragam bentuk negara dan betuk pemerintahan. Masing-masing bentuk itu dipilih berdasarkan kesepakatan para pendirinya dengan alasan dan pertimbangan tertentu.

Kita, bangsa indonesia memiliki negara berbentuk kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik  tentu juga dilandasi oleh pertimbangan bahwa pilihan itu dipandanglebih relevan dengan kondisi masyarakt kita dan dianggap lebih memudahkan untuk mencapai tujuan-tujuan massyarakat kitadan dianggap lebih memudahkan untuk mencapai tujuan nasional kita.

Para pendiri negara kita telah memusyawarahkan dan merumuskan tujuan kita bernegara yang melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakn ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Para pendirinegara kita juga telah menggali nilai-nilai budaya bangsa kita sehingga menghasilkan beberapa prinsip kehidupan bernegara yang kita kenal dengan pancasila, dasar negara kita.

Pancasila menjadi dasr negara kita karena ia merupakan cerminan realitas sosial budaya bangsa indonesia yang mampu memberikan keyakinan akan terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan.

Sila pertama, Ketuhanan yang maha esa menegaskan karakter indonesia sebagai realigus nation state. Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung pengertian bahwa setipa warga indonesia memperoleh perlakuan yang adil dan beradab.

Sementara dalam makna luas, bangsa ini menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga setiap orng memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa boleh didiskriminasi.

Sila ketiga, Persatuan indonesia, menggambarkan bahwa bangsa indonesia adalah satu kesatuan yang dilandasi adanya kesadaran serta penghormatan atas perbedaan keragaman latar belakang. Sebab dari awal sudah dipahami bahwa keragaman itulah yang menyokong penuh berdirinya negara ini.

Sila keempat, kerakyatan yangdipimpin oleh kebijaksanaan dalm permusyawaratan/perwkilan, adalah karakter dan nilai khas bangsa ini yakni kebersamaan dan mengedepankan musyawarah dalam menentukan sesuatu demi kepentingan bersama.

Sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat indonesia, mencakup tiga bentuk keadilan, baik keadilan distributif, legal maupun komutatif.

 

Kaum muslimin yang berbahagia

Baik darsar negara maupun tujuan negara kita keduanya telah terpatri indahdalam konstitusi kita. Sekalipun konstitusi kita telah mengalami perubahan, namun tujuan dan dasar negara kita tidak berubah. Itulah fitrah negara kita.

Yaitu negara yang aman , sejahtera dan cerdas. Negara yang peduli dan berperan aktif dalam membangun ketertiban dunia dengan semangat anti penjajahan, perdamaian, dan keadilan sosial. Negara yang berketuhanan, berkemanusian, bersatu, demokratis dan adil

Jika sampai saat ini, setelah 66tahun bangsa ini merdeka,tujuan negara yang tertera dalam konstitusi itu belum juga mendekati nyata, tentu ada yang keliru dalam pelaksanaan kehidupan bernegara kita.

Barangkali kita telah lupa akan fitrah negara kita, atau sekurang-kurangnya, kita tidak pernah bersungguh-sungguh untuk kembali fitrah negara kita.

Begitu jauh kita berjalan, begitu jauh pula kita keluar dari fitrah negara kita. Berbagai penyimpangan sangat mudah kita temukan. Politik hanya menyuguhkan panggungperebutan kekuasaan yang tidak lagi mempertimbangkan etika.

Tata kelola perekonomian pada umumnya belum memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Penegakan hukum talah kehilangan keadilannya.

Dalam momentum idul fitri ini, marilah kita kembali kefitrah kita sebagai hamba Allah sebagai khalifatullah dimuka bumi. Selain itu, hal yang tidak kalah penting bagi kita adalah mengembalikan negara kita pada fitrahnya

….الله اكبر

Dengan demikian idul fitri ini hanya berarti bagi kita kalau selain memenuhi ibadah makhdlah juga melalui ibadah sosial. Berdustalah kita dalam beragama jika tak punya kepekaan sosial seperti empati dan mau mengentaskan kaum dlu’afa’. Dalam Al-Qur’an surat Al- Ma’un Ayat 1-3 Allah berfirman”:

….ارءيت الذى

Artinya:

  • Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
  • Itulah orang-orang yangmenghardik anak yatim
  • Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin

Langkah kita untuk mengentaskan kaum dlu’afa’ dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:

Pertama, melalui pemberian santunan langsung secara personal dalam betuk zakat, sedekah, dan pemberian pekerjaan secara orang perseorangan; kedua, melalui gerakan struktural yakni dengan menggunakan organisasi-organisasi, terutama organisasi pemerintahan yang konstitusional agartercipta kebjakan-kebujakan negara yang memihak kepentingan kaum lemah.

Pada saat ini istialh yang seringkita dengar tentang langkah-langkah struktural untuk mengentaskan kaum dlu’afa’ ini adalah istilah pro poor, pro job, pro growth, dan pro environment. Mari kita dorong, dukung, dan kawal langkah-langkah struktural ini agartidak menjadi “slogan kosong”.

 

“IDUL FITRI MEMBANGUN MASYARAKAT YANG MUTHMAINNAH”

OLEH : Prof. Dr. H. Amir Mu’allim, MA.

Jamaah Shalat Ied Rakhimakumullah

Dalam keadaan bersila, duduk istiqomah dan I’tikaf tuma’ninah ditempat yang penuh berkah ini, mari bersama-sama mendekatkan diri, menyatukan nurani kita dengan Dzat yang melindungi dan senantiasa membimbing hidup kita, yakni Allah SWT.

Upaya mendekatkan dan menyatukan ini meruoakan tindakan yang niscaya bagi kita, selaku hambaNya. Selain ikhtiar untuk konsisten dengan ketakwaan yang selama ini kita bangun, juga merupakan wujud dari tasyakur kita selama satu bulan lamanya beribadah ramadhan kehadapanNya.

Betapa banyak nikmat,rahmat, berkah, dan ma’unah(pertolongan), baik disadari maupun tidakyang Allah SWT berikan kita setiap saatkapan dan dimana saja, baik dibutuhkan maupun tidak. Kalau dikalkulasi, pasti kita tidak bisa menghitungnya, sebagaimana surat Ibrahim (14) : 34 yang berbunyi :

Artinya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kaepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah ).”

Dan An Nahl (16) : 18 :

Artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun Maha Penyayang”.

 

Jamaah Shalat Ied yang berbahagia

Karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita selain harus mensyukuri seluruh kenyataan hidup ini dengan ketulusan dan kesadaran bahwa semua ini telah menjadi kehendakNya (iradatullah).

Akan tetapi harus ingat bahwa kenyataan yang ada sekarang ini, baik kenyataan kehidupan social, politik, budaya, ekonomi, maupun kainnya bukanlah kenyataan yang ideal, bukan kehendak final Allah SWT.

Sungguh masih teramat banyak kelemahan, kekurangan dan kesalahan-kesalahan yang bisa di dapat dalam menata dan menjalani tata aturan Allah SWT. (syariat) di dunia ini.

Tidak bisa diingkari, kezaliman, kemaksiatan, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kerakusan, keserakahan, kecongkakan, penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan serta kemungkaran masih merajalela di tengah-tengah kehidupan kita. Pelaku semua kejahatan itu mungkin saja adalah diri kita sendiri, dan mungkin juga orang lain.

Disadari atau tidak, kita pun sering terlibat dan melakukan hal-hal tersebut. Ingat, protes malaikta tatkala Allah SWT hendak menjadikan Adam sebagai Khalifah di muka bumi.

Malaikat berkata, “Mengapa Engkau ya Allah, hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Dalam surat Al Baqarah (2) :30 diceritakan yang berbunyi :

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfiman kepada Malaikat: “Sesungguhnya kami hendak menjadikan khalifah di muka bumi ini. “Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih  dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Q.S Al Baqarah (2):30]

Karena itu, pada kesempatan yang berbahagia ini, saya selaku khatib, mengingatkan diri sendiri dan mengajak para hadirin untuk melakukan refleksi, mawas diri, dan secara bersama-sama melakukan perbaikan-perbaikan (reformasi) dan perubahan-perubahan (transformasi) social kearah yang lebih baik.

Bahasa managemennya adalah melakukan control social, sedangkan bahasa, agamanya, menggalakkan amar ma’ruf nahi munkar. Pada dimensi inilah kita selalu dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita, yakni takwa dalam arti sebenar-benarnya.

Takwa yang sebenarnya, bukian hanya memihak pada kepentingan pribadi, seperti menjalani ritual keagamaan secara khusyuk (konsentrasi0 dan istiqomah (konsisten), melainkan juga memfungsikan diri kita sebagai pelaku perubahan social tadi. Kita harus ingat ayat yang sering dinyatakan setiap khatib pada akhir khotbahnya, yaitu surat An Nahl (16) : 90 yang berbunyi :

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) menegakkan dan berjuang untuk keadilan, berbuat kebajikan, mendistribusikan kekuasaan dan kekayaan kepada sesame(kerabat).

Allah melarang berbuat keji, membiarkan dan melindungi kemungkaran, dan menebarkan permusuhan. Dia member pengajaran kepada kamu, agar kamu dapat mengambil peringatan atau pemikiran.” [Q.S An Nahl (16) : 90]

Itulah kira-kira sebagian perintah Allah yang secara tegas menggunakan kata “ya’muru = memerintahkan”. Isi ayat tadi secara subtansif adalah bagian yang tidak terpisahkan dari agendakita untuk mewujudkan diri sebagai seorang muttaqin.

Allahu Akbar….Allahu Akbar ….Allahu Akbar

 

Jamaah Sholat Ied yang dimuliakan Allah

Berkenaan dengan ayat yang disebutkan terakhir tadi, perlunya kita perlu kembali lagi melihat misi yang dibawa islam sejak kelahirannya 14 abad yang lalu. Tidak perlu diperdebatkan lagi, islam dalam ajaran-ajarannya, identik dengan keadilan. Konsep sentrl Islam selain Tauhid adalah keadilan.

Fakta menunjukkan bahwa islam lebih darui sekedar sebuah agama formal. Islam merupakan risalah yang agung bagi transformasi social, pembebasan dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi.

Semua ajran Islam bermuara pada terwujudnya suatu kondisi kkehidupan yang adil. Penekanan perintah yang banyak dinyatakan Al Quran pada shalat (Tauhid) dan zakat (keadilan) atau infaq misalnya, merupakan bukti yang tidak dapat di bantah atas misi tersebut.

Dalam kebanyakan ayat Al Quran, sholat tidak pernah disebut tanpa di iringi dengan zakat atau infaq. Sebagai contoh, Surah Al Baqarah (2):227 dan suratb Ar Ra’du (13): 22:

Artinya: “Sesungguhnya orng-orang yang beriman, mengejaka  ama saleh, mendirikan salat dan menunaikan zkat, mereka mendapat pahal disisi TuhanNya. Tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati (cemas).” [Q.S. Al Baqarahb (2): 227]

Artinya : “ Dan orang-orang yang sabar/tabah karena mencari keridhoan Tuhannya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi ataupun terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat (kampung) kesudahan (yang baik).” [QS. Ar-Ra’d (13);22]

Zakat sendiri seperti digariskan Al Quran, dimaksudkan untuk mendistribusikan kekayaan kepada fakir miskain, untuk membebaskan budak-budak agar mendapatkan kemerdekaannya, melepasan lilitan dan tindasan ekonomi bbagi mereka yang berhutang, dan memberikan kemudahan akselerasi bagi ibn sabil (insfrakstruktur bagi orang-orang yang bepergian). Sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran Surat At-Taubah(9):60 yang berbunyi :

Artinya: “Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-otrang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[QS.At-Taubah(9):60]

Selain itu, zakat juga merupakan pintu masuk (entry point) bagi ummat Islam, apabila memang benar-benar hendak menegakkan amanat kekhalifahannya dengan menegakkan keadilan dalam kehidupan sosialnya.

Di dalam ajaran zakat, Islam bukan hanya telah menunjukkanketerlibatannya yang bulat kepada tata kehidupan masyarakat manusia yang adil, dan demokratis, tetapi sekaligus mencanangkan pakem-pakem kelembagaannya.

Bukan sekedar itu, kehadiran Nabi Muhammad SAW sendiri membawa misi profetik, misi yang membebaskan masyarakat dari berbagai sistwem dan struktur dan melestarikan ketidakadilan.

Kita tahu masyarakat masa itu memang dikenal dengan sebutan masyarakat jahiliah. Bukan karena jahil dalam pengeleloan tata niaga kekayaan, melainkan pada nilai-nilai keadilan dari wujud kekayaan yang mereka miliki.

Oleh karena itu, langkah-langkah Nabi Muhammad Saw dengan ajran-ajarannya itu dirasakn hal baru yang sangat revolusioner. Bagi masysrakat bisnis Mekkah yang merasa kepentingannya terancam, mereka yang melakukan perlawanan kepada Nabi SAW. Begitulah kira-kira yang di hadapi Nabi Muhammad SAW pada massanya.

Nabi Muhammad dalam sejarah Makkah, memang orang yang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi secara serius. Ia sekaligus menjadi pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Makkah, baik pada spiritualis maupun teknis pragmatis.

Meski begitu, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya yang di ekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal. Bahkan, dalam pelaksanaannya menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal.

Nabi Muhammad memang patut di nobatkan sebagai seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat pada massanya.

Dengan inspirasi dan bimbingan wahyu Ilahiah, menurut teologis, ia mengajukan sebuah alternative tatanan social yang sdil dan tidak eksploitatif, serta menentang penumpukan kekayaan ditengah segelintir orang (oligarki).

Al-Quran yang dibawanya, mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak, tidak menfkahkan kekayaannya itu di jalan Allah, serta meminta Nabi untuk mengingatkan mereka, bahwa hukuman menunggu mereka. Ayat yang dimaksud secara tegas termaktub dalam surat At-Taubah (9):34.

 

Allahu Akbar….Allahu Akbar….Allahuakbar

Lambang-lambang kekayaan tadi untuk kondisi sekarang sangat mempengaruhi pola dan gaya hidup mandiri yang mengorbankan orang lain dengan berbagai cara dan gayanya. Banyaknya korupsi yang melanda bangsa ini memerlukan adanyan ketegasan aparat dan kearifan pemerintah yang loyal dengan rakyat kecil.

Oleh karena itu permintaan maaf dengan segala caranya dan pemberian zakat kepada fakir miskin atau kepada lainnya hendaklah ditindaklanjuti dengan perubahan struktur masyarakat sehingga kesnjangan hidup semakin tidak ketara. Orang yang bisa mengibah maasyarakat religious akan bisa berbuat sekaligus mengajak kearah yang lebih baik sebagaimana surat Al Fajr (89):27-30 :

 

Allahu Akbar…Allahu Akbar…..Allahu Akbar….Allahu Akbar

Setelah kita maaf-memaafkan dan berhasil atas penaklukan satu bulan penuh Ramadhan dengan rahmat, ampunan dan pembebasan api neraka, mari kita berdoa semoga permohonan kita dikabulkan Allah SWT.

 

Kembali ke Fitrah, Kembali Damai Indonesiaku

Oleh:

Prof. Drs. K.H. Yudian Wahyudi, MA, Ph.D

Idul fitri, seperti yang sudah kita ketahui bersama, bearsal dari kata ‘id dan al-fitr.’Id berarti kembali, sedangkan al-fitr berarti fitrah atau asal kejadian. Jadi, Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah atau asal kejadian.

Secara alamiah, kembali kepada fitrah berarti kembali kepada kehidupan alamiah, yaitu tidak berpuasa di siang hari seperti di bulan Ramadhan. Jadi, dengan Idul Fitri umat Islam diharuskan kembali hidup selaras dengan hukum alam atau sunnatullah.

Secara teologis, kembali kepada fitrah berarti kembali kepada asal kejadian, yaitu tanpa dosa vertikal persis seperti ketika baru dilahirkan.

Orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadan mendapatkan pengampunan dari Allah SWT seperti sabda Rasulullah SAW:

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya akan diampuni Allah SWT.”

Dengan demikian, Islam mengajarkan bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah SWT.

Inilah salah satu makna Islam sebagai teologi pembebasan karena setiap orang berhak memohon dan mendapat pengampunan langsung dari Allah SWT, sehingga tidak dibutuhkan perantara, baik individual maupun institusional, sebagai penebus dosa.

Yang perlu diingat, pengampunan di sini bersifat vertikal –yaitu, dosa-dosa yang terkait dengan ibadah mahdah dan fardu ain.

Fardu ain adalah kewajiban absolut dan universal dalam pengertian setiap mukallaf berkewajiban menunaikannya, tetapi pahala dan dosanya bersifat relatif dan lokal karena hanya menjadi pemilik pelakunya.

Pemberian pahala dan pengampunan dosa mutlak di tangan Allah SWT. Di samping “pemutihan di bulan Ramadan,” Allah juga melakukan “pemutihan melalui ibadah haji” (“Tiada pahala yang pas bagi haji yang mabrur kecuali sorga,” begitu sabda Rasulullah). Ini pun masih ditambah istigfar kapan pun dan di mana pun.

Namun demikian, pengampunan di sini tidak bersifat horizontal. Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa kita yang terkait dengan alam.

Misalnya, jika kita menebang pohon hutan secara membabi buta, maka dosa-dosa alamiah yang ditimbulkannya seperti banjir tidak dapat diampuni Allah SWT sebelum kita melakukan pertaubatan alamiah, yaitu menyeimbangkan kembali kehidupan hutan seperti melakukan penghijauan kembali.

Walaupun umat Islam berpuasa  seribu Ramadan, tetapi banjir akan tetap melanda kalau mereka tidak melakukan penghijauan.

Allah SWT juga tidak akan mengampuni dosa-dosa horizontal yang terkait dengan fardu kifayah sebagai kewajiban relatif  dan lokal dalam pengertian hanya  orang-orang yang berbakat dan berminat saja yang diharuskan melaksanakannya, tetapi dosa dan pahalanya bersifat absolut dan universal.

Belajar ilmu kedokteran, misalnya, merupakan fardu kifayah. Kewajiban ini lebih diarahkan kepada orang-orang yang berbakat dan berminat saja, tetapi jika tidak “cukup-orang untuk menangani suatu masalah” (kifayah atau proporsional) yang menunaikan kewajiban ini, maka seluruh umat Islam harus memikul dosanya.

Misalnya, jika tak seorang pun dari umat Islam di suatu daerah mempelajari ilmu kedokteran, maka mereka dihukum oleh Allah. Untuk berobat,  mereka harus ke luar daerah.

Ini berarti pembengkakan biaya dan peningkatan beban moral, psikologis maupun fisik. Mereka, misalnya, juga tidak akan mampu mendirikan fakultas kedokteran.

Di sini, taubatnya bukan dengan puasa di bulan Ramadan atau pergi haji berkali-kali, tetapi dengan belajar ilmu kedokteran karena Allah telah mendelegasikan sebagaian dari kewenangannya kepada manusia dan alam.

Aspek horizontal terakhir yang perlu mendapat penekanan di sini adalah Allah sudah mendelegasikan sebagian dari pengampunanNya kepada manusia. dosa antarsesama harus diselesaikan dengan pihak-pihak yang terkait karena Allah belum mengampuni jika pihak-pihak yang terkait belum memaafkan.

Untuk mencapai kesucian sosial dibutuhkan sikap saling memaafkan. Namun demikian, meminta maaf bukanlah perkara mudah. Hanya orang-orang yang berjiwa besar saja yang berani meminta maaf, sehingga dibutuhkan media sebagai wahana “pemutihan sosial”.

Di sinilah makna strategis  Halal Bihalal  karena dapat mengurangi beban psikologis umat Islam. Dalam “pemutihan massal” ini, setiap orang berkedudukan sejajar: saling memaafkan.

Di  sini, umat Islam berjuang agar bisa mudik demi  memberikan dan mendapatkan pemaafan dari sanak keluarga dan tetangga. Dengan demikian, tercapailah tujuan kembali kepada fitrah secara teologis dan sosial. “Kemenangan” ini dilambangkan dengan memakai baju baru.

Mereka sudah menjadi Muslim baru, yaitu muslim tanpa  dosa teologis dan sosial (Jawa: Lebaran). Begitulah kecerdasan dan kearifan para wali dalam menangkap makna Idul Fitri.

Tradisi mudik sebenarnya merupakan perubahan paardigma sosial ekonomi umat Islam Indonesia dari defensif kultural  menjadi progresif kultural. Slogan “mangan ora mangan seng penting kumpul” dicanangkan sebagai pertahanan secara kultural  melawan penjajahan Belanda.

Dalam situasi serba sulit, kaum pribumi ditawari pekerjaan. Iming-iming perbaikan nasib ini cenderung memisahkan kaum pribumi dari orangtua, sanak saudara dan tetangga karena mereka akan pindah ke luar daerah, propinsi bahkan ke luar negeri nun jauh di sana seperti ke Suriname.

Di sisi lain, ada kekhawatiran menindas, bahkan membunuh bangsa sendiri, jika mereka bertugas sebagai pasukan Belanda yang harus menyelesaikan konflik militer pribumi versus Belanda.

Dari kacamata maqashid syariah, di sini terjadi konflik antarsesama kepentingan daruri, yaitu harta (pekerjaan) lawan jiwa (yang dari sini memancar perlindungan terhadap kehormatan, agama dan keturunan).  Untuk menyelesaikan delima ini, para wali merekomendasikan perlawanan pasif “mangan ora mangan sing penting kumpul” agar tidak jatuh korban jiwa.

Strategi antikekerasan ini sejalan dengan kaidah “menolak keburukan,” yaitu aspek-aspek  negatif yang mungkin timbul sebagai pegawai Belanda, “didahulukan daripada mengambil kebaikan,” yaitu perbaikan ekonomi keluarga.

Namun demikian, evektivitas strategi defensif sudah mulai dipertanyakan sejak Indonesia meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Indonesia, yang semula tersekat-sekat karena dijajah, kini menjadi kesatuan geo-politik yang sangat luas. Strategi defensif “mangan ora mangan sing penting kumpul” harus digantikan dengan strategi progresif “kumpul ora kumpul, sing penting mangan.”

Perubahan paradigma ini sejalan dengan kaidah “kebutuhan (yang mendesak),” yaitu umat Islam harus mengisi kemerdekaan dengan, antara lain, berhijrah ke berbagai penjuru Indonesia, bahkan ke luar negeri, karena sekarang mereka hidup di zaman global.

Umat Islam pun hijrah ke berbagai penjuru Tanah Air, bahkan dunia. Sebagai kaum pendatang, mereka pada umumnya dari daerah pedesaan. Mereka bukan tenaga terampil, sehingga di daerah tujuan mereka sering dihadapkan pada situasi tidak ideal.

Gaji kecil, tetapi masih harus berbakti kepada orangtua dan sanak saudara di kampung halaman. Situasi mereka ini, jika dilihat dari perspektif maqasid syariah, memasuki kawasan minimalis.

“Sesuatu yang tidak dapat dicapai secara keseluruhan,” yaitu kumpul bersama orangtua dan sanak sudara  di daerah baru dengan pendapatan yang lebih baik atau kumpul lan mangan, “tidak dapat ditinggalkan secara keseluruhan”, yaitu hidup terpisah dari orangtua dan sanak saudara tetapi dengan pendapatan yang lebih baik.

Situasi tidak ideal ini semakin mendesak menjelang idul fitri tiba. Mereka harus menunaikan pemutihan teologis dan sosial, tetapi orangtua, sanak saudara dan tetangga tinggal nun jauh di sana, di samping keterbatasan finansial.

Demi pemutihan teologis dan sosial inilah, sebagian besar dari mereka harus mudik. Sebagai pahlawan devisa, kaum pemudik pun mengintensifkan kontribusi ekonomi mereka di musim mudik ini.

Di sini, terjadi lonjakan arus penumpang. Di sisi lain, ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi, dengan menaikkan harga tiket, bahkan melakukan tindakan kriminal.

Arus lalu lintas pun semakin padat. Jika kaum pemudik, dengan berbekal niat dan persiapan terbaik meninggal dalam perjalanan, maka mereka adalah syuhada. Pahlawan ekonomi dan kehormatan bangsa, yang gugur fi sabilillah: jalan menuju pemutihan teologis dan sosial. Insya Allah.

Di sinilah letak kecerdasan dan kearifan para wali dalam menangkap signifikansi dan relevansi sosial Idul Fitri bagi umat Islam Indonesia. Sebab, di tempat kelahiran Islam, Idul Adha, seperti kita ketahui, dirayakan dengan ibadah haji.

Umat Islam dari segala penjuru dunia menunaikan kewajiban ini, sehingga Idul Adha disebut Idul Akbar (Jawa:  bodo besar). Besar bagi Muslim Saudi, mereka dikunjungi saudara seiman sejagad. Lebih besar lagi, karena yang datang adalah “elit, yaitu orang-orang mampu”.

Sebaliknya, Idul Fitri sebagai hari raya kecil tidak dirayakan semeriah Idul Adha. Pada waktu Idul Fitri, Mekkah dan Madinah “sepi”. Namun demikian, para wali mengerti bahwa Idul Adha menawarkan pengampunan selektif: hanya bagi yang menunaikan ibadah haji.

Sebaliknya Idul Fitri menawarkan pengampunan bagi umat Islam di seluruh dunia, sehingga sangat strategis untuk lebih dirayakan di Indonesia sebagai wilayah yang jauh dari tempat kelahiran Islam.

Dengan demikian, umat Islam Indonesia dapat merayakan “kemenangan universal” ini.  Memang, Idul Fitri juga berarti Hari Raya Kemenangan.

Sekarang ini, Halal Bihalal dilaksanakan secara nasional. Di bawah bendera Syawalan, umat Islam sebagai pihak mayoritas mengajak elemen seluruh bangsa untuk melakukan pemutihan sosial.

Di sini  umat Islam menyumbangkan peran kohesif dan integratif. Syawalan menjadi perekat sosial karena persatuan dan kesatuan bangsa selalu terbaharui setiap tahunnya persis setelah umat Islam menyelesaikan salah satu kewajiban teologisnya.

Di sini pula terletak makna penting Halal Bihalal sebagai sarana rekonsialiasi nasional: Bangsa Indonesia harus melupakan perbedaan-perbedaan politik sebelum pemilihan presiden dan bersatu kembali setelah presiden baru terpilih demi kemajuan, kemakmuran dan kebesaran negara ini.

Kita sudah mengerti bahwa Idul Fitri merupakan pengampunan dosa vertikal dan sosial universal. Namun demikian, kita masih diharuskan membayar zakat fitrah sebagai salah satu manifestasi kepekaan sosial kita.

Sebagian dari kita bahkan mempertajam kepekaan sosial ini dengan membayar zakat mal.

Akhirnya, marilah kita berdoa semoga kita, Bangsa Indonesia, selalu mendapat rahmat dan perlindungan dari Allah SWT, makmur dan aman dan mendapatkan maghfirah. Semoga dunia aman dan damai!

 

KONTINUITAS DALAM BERIBADAH SETELAH PUASA RAMADHAN

Oleh: Dr. Ali Sodiqin, M. Ag

Ma’asyiral muslimin jamaah salat idul fitri rahimakumullah

Hari ini adalah hari yang istimewa bagi umat Islam sedunia, bahkan mungkin bagi seluruh umat manusia. Karena pada hari ini adalah hari yang penuh dengan keutamaan, baik sebagai hari kemenangan, hari kesucian, hari perdamaian, dan juga hari ukhuwah.

Disebut hari kemenangan karena hari ini adalh puncak kemenangan bagi semua muslim yang menunaikan puasa ramadhan. Perjuangan selama sebulan melawan hawa nafsu, baik, nafsu perut, nafsu inderawi maupun nafsu duniawi.

Nafsu yang awalnya menggerakkan kita melakukan hal-hal yang negative, berhasil kita kendalikan selama sebulan sehingga menjadi nafsu yang mutmainnah. Tentu saja, perjuangan ini, seperti kata nabi adalah jihad akbar, lebih akbar dari pada melakukan peperangan.

Oleh karena itu sudah seharusnya kita memperbanyak mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil, sebagai wujud mengagungkan Allah serta memujinya sebagai pertanda rasa syukur kita atas hidayah dan taufiqnya yang terlimpah kepada kita.

Allahu akbar 3x walillahil hamd

Hari ini adalah hari kesucian atau fitri, karena kita yang berhasil membakar semua dosa dan khilaf selama puasa Ramadhan, seakan telahir seperti bayi yang tanpa noda.

Dengan memanfaatkan rahmat, magfirah dari Allah yang tercurah sebulan penuh, kitapun digiring untuk menjadi pribadi yang itqun minannar, jauh dari siksa api neraka. Kesucian yang kita dapatkan adalah kesucian lahir dan batin, yang menjadi prsayarat utama mencapai ketaqwaan.

Oleh karena itu, kesucian atau kefitrahan yang kita dapat hari ini, seharusnya menjadi titik awal untuk memulai hidup yang lebih mulia, dengan cara menempatkan diri sebagai makhluk yang tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada sang Khaliq.

Untuk itu, Allah harus kita jadikan sebagai tujuan hidup kita, karena dengan ridhanyalah kita semua dapat meniti hidup dalam aras siratal mustaqim. konsekuensinya, hidup kita ke depan harus penuh dengan ibadah, amal salih, dan jauh dari kemaksiatan dan kemunkaran.

Jika semua dari kita dapat konsisten dalam keimanan dan ketaqwaan, bukan tidak mungkin hidup kita akan tenteram dan damai. Dalam surat Al- A’raf 96 Allah memberikan garansi keberkahan dalam firmanNya:

“ Jikalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”

Hadirin Aidin wal Aidat rahimakumullah..

Kemenangan dan kesucian yang kita raih pada idul fitri ini, menjadi landasan untuk menciptakan harmonisasi hubungan diantara sesame manusia.

Idul fitri adalah symbol perdamaian, dimana setiap muslim, dengan kerendahan hati dan penuh tawadhu’, mengakui kesalahan dan kekhilafan yang kemudian ditindaklanjuti dengan saling bermaaf-maafan.

Sikap terbuka dan lapang dada untuk mengakui kesalahan adalah wujud dari sikap ksatria atau syaja’ah.

Hal ini dapat kita rasakan betapa sekarang ini, orang lebih suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau melibatkan orang lain dalam pelanggaran yang dia lakukan, atau saling cuci tangan terhadap sebuah kejahatan.

Sifat seperti inilah yang menjadi benih permusuhan, yang jika tidak segera diselesaikan akan mengakibatkan kerusakan moralitas bangsa.

Oleh karena itu, hari ini adalah momen yang tepat untuk mengoreksi, mengevaluasi diri, melihat semua rincian kesalahan dan dosa di masa lalu, untuk kemudian dengan keihklasan hati memohon maaf.

Bukankah Rasulullah menyatakan bahwa orang yang dating memohon maaf duluan adalah yang lebih mulia, daripada yang menunggu permohonan maaf.

Sikap terbuka seperti ini menjadi modal dasar untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, karena setiap orang memandang orang lain sebagai saudara, selalu berhusnuzzon atas semua perilakunya, baik yang menyenangkan dirinya maupun yang merugikan.

Allah memberikan petunjuk tentang keutamaan sifat memafkan ini dalam surah Ali Imran: 134:

“dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memberi maaf terhadap kesalahan orang lain, Allah menyukai terhadap orang-orang yang berbuat kebajikan”.

 

Marilah kita tinggalkan sifat kita yang selalu mengintip kesalahan dan kekurangan orang lain, dan kita ubah untuk senantiasa melihat ke dalam diri kita, berapa banyak kesalahan dan kekurangan yang ada pada diri kita.

Jika setiap orang sibuk mengkalkulasi kekurangan dan kesalahannya, maka tidak ada lagi waktu dan kesempatan untuk membicarakan kesalahan orang lain. Karena hari-harinya disibukkan dengan kegiatan bertaubat dan memperbaiki diri.

Oleh karena itu prinsip yang kita pegang adalah, jika bertemu dengan saudara kita ingatlah kebaikannya dan lupakanlah keburukannya, tetapi jika kita bercermin, ingatlah keburukan kita dan lupakanlah kebaikan yang sudah kita lakukan.

Prinsip ini akan menjadikan setiap kita untuk selalu berfastabiqul khoirat, berlomba-lomba memperbanyak kebajikan.

 

Allahu akbar 3x walillahil hamd

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Sikap lapang dada yang kita rasakan pada hari ini kita teruskan untuk membangun dan memperkokoh ukhuwah atau persaudaraan kita, bukan mulai dari ukhuwah islamiyah, hingga meluas pada ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia).

Pelaksanaan ukhuwah islamiyah dapat kita lakukan melalui empat tahap, yaitu ta’aruf, tafahum, ta’awun dan takaful. Ta’aruf yaitu kesediaan diri untuk saling mengenal sesame muslim, meskipun tidak memiliki hubungan darah atau keluarga.

Tahap tafahum artinya, kemauan memahami apa yang menjadi kebutuhan saudara kita. Setelah saling kenal terjadilah saling pemahaman akan kondisi masing-masing, baik dalam hal sifat maupun kebutuhan hidup.

Tingkat ta’awun merupakan konsekuensi dari tafahum. Ta’awun adalah keikhlasan membantu saudara muslim kita sesuai tingkat kebutuhannya. Atas dasar ini setiap muslim akan selalu memperhatikan nasib saudaranya, dan siap membantunya saat dibutuhkan.

Puncak dari ukhuwah ini adalah tahap takaful yaitu menjamin atau menggaransi kesejahteraan hidup saudaranya. Setiap muslim bersedia menjamin saudaranya terbebas dari kekurangan, ketakutan, dan kekhawatiran, karena setiap muslim saling memperhatikan dan membantu.

Jika tahapan ukhuwah ini dapat kita lakukan, maka bangunan ukhuwah islamiyah kita akan kuat, sehingga tidak aka nada lagi umat islam yang kelaparan, ketakutan, teraniaya dan lain sebagainya.

Keyakinan tauhid yang diajarkan rasulullah adalah pengakuan bahwa Allah satu-satunya Tuhan yang ada. Allah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan sumber dari segala yang ada di muka bumi.

Jika Allah itu hanya satu, maka semua manusia (bahkan semua makhluk) berasal dari Allah yang satu. Konsekuensinya, semua manusia di bumi ini adalah berasal dari tuhan kita yang satu itu, sehingga mereka adalah saudara kita, meskipun berbeda agama, ras, maupun bangsanya.

Kewajiban kita adalah menghormatinya, menghargainya, dan melindunginya dari ancaman marabahaya. Keanekaragaman yang ada tidak menjadi penghalang status saudara tersebut, tetapi justru mendorong kita untuk mewujudkan islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Oleh karena itu tidak bertauhid jika orang masih suka menjelekkan orang lain, menghina orang lain, merendahkan orang lain, menyesatkan, atau mengobarkan permusuhan, karena perilaku semua itu bukan perilaku yang berdasar pada ukhuwah.

Banyak sekali hadis-hadis nabi yang menjelaskan bahwa keimanan dalam islam sangat terkait dengan aspek-aspek social, seperti penghormatan kepada orang lain, baik kepada tetangga, tamu, maupun sikap mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Sehingga keimanan yang ada dalam hati manusia tidaklah berguna, jika tidak diiringi denganberbuat kebaikan kepada lingkungan sosialnya. Inilah mengapa di dalam Al-Qur’an banyak kata ‘amanu” yang selalu disambung dengan kata “wa’amilussalihati”. Artinya keimanan itu harus dimanifestasikan dalam bentuk melakukan tindakan-tindakan yang mulia.

Maka momen pagi ini, menjadi titik penyambung silaturrahim, perekat ukhuwah kita, serta penguat keimanan kita masing-masing. Bukankah Rasulullah menjanjikan bagi para pelaku silaturrahim akan dikaruniai rezeki yang banyak dan umur yang panjang. sebagaimana sabdanya:

“Barang siapa yang ingin diperluas rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menyambung tali silaturrahim”.

Sebagai muslim yang taat, kita tentu menginginkan kedua hal tersebut ada pada diri kita, maka kuncinya sambungkanlah silaturrahim.

Allahu akbar 3x walillahilhamd..

Kaum muslimin jamaah salat Id yang dimuliakan oleh Allah

Dalam tradisi masyarakat kita, idul fitri selalu lekat dengan dua hal, yaitu saling memaafkan dan saling bersilaturrahim. Mungkin dalam seminggu ke depan umat islam disibukkan dengan seremonial idul fitri tersebut.

Sehingga tanpa disadari umat islam melupakan hal yang paling esensial dari hadirnya idul fitri di bulan syawal ini. Hal terpenting dan terlupakan setiap selesainya puasa Ramadhan adalah sikap istiqamah kita terhadap gaya hidup puasa.

Berakhirnya puasa ramadhan seakan menjadi pertanda selesainya keindahan dan kemeriahan ibadah, berakhirnya sikap kedermawanan, dan penutup qiyamul lail dan tadarus Al-Qur’an.

Mulai minggu depan kita mungkin tidak melihat lagi barisan jamaah salat di masjid yang banyak, tidak melihat lagi kotak amal terisi penuh, tidak menjumpai orang islam yang ikhlas berbagi makanan atau ta;jil berbuka, tidak terdengar lagi kumandang tilawah Al-Qur’an.

Semua kembali seperti semula, sebelum ramadhan dating. Inikah buah pendidikan kita selama sebulan kemarin?

Menjadi tak berbekas, meskipun kita meyakini dan membuktikan keutamaannya. Mengapa tidak kita lanjutkan pola hidup yang sehat, seimbang, dan menenteramkan itu?

Apakah kita sudah capek berjuang melawan hawa nafsu kita?

Menjadi sulitkah tangan kita untuk berbagi dengan saudara kita, apakah tilawah Al-Qur’an tidk lagi menenteramkan kita.

Semuanya menjadi paradox dengan apa yang telah kita lakukan sebulan sebelumnya, padahal kemarin kita melaksanakannya dengan imanan wah tisaban.. maka yang terlupakan sesungguhnya adalah sikap istiqamah kita.

 

Hadirin yang saya hormati..

Pada bulan puasa kemarin sebulan penuh kita dididik langsung oleh Allah untuk hidup secara seimbang, yaitu mengharmonisasikan antara kebutuhan jasmaniyah dan ruhaniyah, antara kebutuhan individu dan social, dan antara kehidupan dunia dengan akhirat.

Keseimbangan jasmani tercermin dari pengaturan pola makan dan minum, dimana kita melaksanakan kebutuhan primer tersebut secara sederhana dan tidak berlebihan, sehingga puasa yang kita lakukan justru menyehatkan tubuh kita, menghilangkan toksin dan melancarkan pencernaan.

Sementara Keseimbangan ruhani terlihat pada rutinitas kita beribadah kepada Allah, karena hamper seluruh aktivitas kita selama berpuasa bernilai ibadah, termasuk tidur sekalipun. Pelaksanaan ibadah selama bulan ramadhan terasa ringan dan penuh kenikmatan, sehingga kita tidak pernah bosan untuk selalu melakukannya.

Keseimbangan antara kebutuhan individu dan social terlihat dari kelapangan kita untuk berbagi, baik melalui sedekah maupun zakat. Kita menjadi pribadi yang ringan tangan untuk member dan memperhatikan nasib saudara kita yang dhuafa, sehingga selama bulan ramadhan para dhuafa tersebut terjamin kesejahteraannya. Kita berhasil membunuh sifat kikir dan berupaya serius untuk mensucikan harta yang kita miliki.

Dengan menyeimbangkan jasmani ruhani serta aspek individu dan social, arah kehidupan kita semakin jelas, yaitu tidak semata mengejar kebahagiaan dunia, tetapi menjadikan kehidupan dunia ini sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencapai ridhaNya. Rasulullah sudah mengajarkan prinsipp keseimbangan ini dalam sabdanya:

“Tidaklah yang baik bagi kamu itu orang yang mengalahkan kehidupan duniawinya untuk akhiratnya  dan yang mengalahkan akhiratnya untuk duniawinya, sehingga dia dapat menyeimbangkan keduanya. Sesunguhnya dunia ini adalah sarana menuju akhirat, maka janganlah kalian menjadi beban bagi manusia lain”.

Oleh karena itu, yang terpenting pada bulan syawal ini adalh mengusahakan diri kita menjadi orang yang istiqomah, yaitu melanggengkan kebajikan selama hidup kita.

Istiqomah dalam ibadah, istiqomah dalam menjamin kesejahteraan kaum dhuafa, dan istiqomah dalam mengendalikan nafsu agar tidak mencelakakan kehidupan kita sendiri. Allah menjamin kehidupan yang mulia bagi mereka yang istiqamah, sebagaimana firmannya dalam surat Al ahqaf ayat 13:

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata Tuhanku adalah Allah, kemudian mereka beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran dan kesusahan di dalam hidupnya”.

Ayat ini menjamin bagi kita yang istiqomah akan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Sifat ini didasari oleh keimanan kita kepada Allah yang maha Kuasa, Maha Rahman dan rahim, yang mengatur dan menguasai seluruh kehidupan makhlukNya.

Oleh karena itu, pola hidup selama bulan ramadhan marilah kita pertahankan bahkan kita tingkatkan di bulan syawal ini dan bulan-bulan selanjutnya.

Jangan sampai momen penting ini menjadi seremonial duniawi saja, sehingga kefitrian kita tidak membawa perubahan kehidupan kita kea rah yang lebih baik. Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan, hidayah dan taufiqnya, agar kita mampu istiqamah dalam ketaqwaan..

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

 

Idul Fitri Di Tengah Bangsa yang Sarat Masalah

Oleh : Prof. Dr. H. A. Syarif Maarif

Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia

Di pagi ini, di alun-alun utara Yogyakarta, kita berkumpul menunaikan shalat ‘Idul Fitri  1 Syawal, Yogyakarta adalah kota revolusi, tempat para pejuang dahulunyamengatur strategi dan siasat untuk membela dan mempertahankan Republik Indonesia yang digempur oleh kekuatan penjajah yang masih ingin meneruskan petualangan kolonialnya kembali.

Sebagian pemimpin ada yang terpaksa menyerah karena kritisnya situasi, sebagian yang lain memilih perang griliya dengan segala resiko yang harus dihadapi. Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau lain di nusantara selama beberapa bulan telah dijadikan  basisrevolusi untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah dirindukan sekian ratus tahun oleh penduduk nusantara ini.

Negri ini ternyata terlalu elok untuk dilepaskan begitu saja oleh pihak penjajah. Bukan saja elok, tetapi kaya dengan sumber daya alam, disamping letaknya yang strategisdiantara benua Asia dan Australia.

Sebagian nusantara dilalui oleh ikat pinggang katulistiwa yang dilingkari hutan tropis yang menjadi paru-parudunia. Kita ingin merdeka karena dengan kemerdekaandiniatkan sebagai modal untuk membela rakyat kita yang tertindas sekian lama. Itu tujuan yang hendak dicapai sejak semula yang kemudian dikokohkan dalam konstitusi.

Ditempat ini dan dipojok bumio Allah yang lain, dimesjid-mesjid, dilapangan, pada 1 Syawal umatislam dalam jumlah ratusan juta mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil ke angkasa luas sebagai genderang kemenangan dalam melawan hawa nafsu, menahan diri dari segala yang merusak dan membatalkan puasa Ramadhan.

Adapaun penentuan 1 Syawal yang kadang-kadang tidak serentak, harus disikapi dengan lapang dada dan penuh pengertian. Mazhab hisab dan mazhab rukyah bisa saja membuat kesimpulan yang berbeda dalam penentuan awal bulan dengan alasannya masing-masing. Keadaan inipun tidak perlu dipersoalkan, karena lebih penting difikirkan adalah cara bgaiman umat islam tidak meninggalkan shalat, baik yang wajib maupun yang disunatkan seperti shalat ‘idul fitri ini.

Kaum muslimin yang berbahagia.

الله اكبر الله اكبر,لا اله الا الله الله اكبر الله اكبر ولله الحمد

Kita tidak tahu pasti sudah beberapa kali kaum muslimin merayakan ‘idul fitri di nusantara ini sejak islam menginjak kakinya buat pertama  ratusan tahun yang silam. Tampaknya sudah lebih 1000 tahun ’idul fitri telah dikumandangkan di sini di berbagai mesjid sampai abad ke-20 miladiah, saatr sebagian mereka melaksanakn shalatditanah lapang yang kemudian telah pula menyatu untuk memperkaya tradisi keagamaan bangsa ini sampai sekarang.

Semakin lama waktubergulir, semakin terasa menguatnya budaya saling mengerti antara pendukung mazhab mesjid dan pendukung mazhab tanah lapang. Bahkan tidak jarang ang terjadi biasa shalat ‘id di masjid, shalat ditanah lapangpun tidak ada masalah. Begitupula sebaliknya, mereka yang biasa shalat ‘id ditanah lapang, di masjidpun tidak dipersoalkan.

Apalagi diranah pemikiran keislaman, diantara anak-anak muda mereka yang pintar, perbedaan itu semakin memudar dan mencair. Mereka sudah saling menukarbacaan, berdiskusi, mencari titik temu, demi memperluas cakrawala pandang dan pembacaan peta, dimana pesan-pesan islam itu hendak didaratkan dalam upaya mencerahkam dan mencerdaskan budaya bangsa yang masih sarat dengan masalah ini.

Lingkungan budaya bangsa yang keruh dengan berbagai penyakit sosial yang mendera kita semua setelah lebih 60 tahun kita merdeka bulum semakin hilang, malah pada beberapa kasus malah semakin parah dan ruwet.

Inilah sebuah bangsa yang belum mampu melepaskan diri dari dosa dan dusta yang mengakibatkan sebagian rakyattelah menjadikorban dalm penderitaan dan kemiskinan. Angka indeks kemiskinan kita belum banyak berubah   sejak zaman kolonial. Jika dulu, pihak penjajah dan golongan yang diuntungkan oleh sistem yang berlaku berada dipucuk piramida.

Mereka serba kaya dan makmur, sementara rakyat jelata yang lemah hidup dalam lautan kemiskina yang sangat menghempit. Ironisnya, piramida ketidakadilan itu masih “setia” bersama kita sampai sekarang.

Inilah masalah fundamental yang harus kita carikan jalan keluarnya dalam tempo yang tidak berlarut-larut. Di sisi dosa kolektif yang jitra lakukan, alampun seakan-akan telah menunjukkan oposisinya kepada kita agar kita mau merenung dan belajar agar tidak meneruskan perilaku menyimpang.

Ada gempa dan tsunami dahsyat, dengan korban ratusan ribu, ada bencana asap, ada lumpur Lapindo, dengan korban yang tidak sedikit. Semua bencana ini mestinya menyadarkan kita semua untuk mengoleksi salah langkah dan salah tingkah kita selama ini, khususnya para pemimpin.

Indonesia tercinta dengan penduduk diatas 200 juta, kini masih saja tertatih-tatihdalm memetakan masa depannya, sementara negara tetangga sudah semaikin melaju dan malaju dalam upaya memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Kita sebenarnya tidak kurang jumlah orang pintar, ribuan banyaknya, yang mungkin kurang adalah manusia yang peka dan arif dalam menyikapi masalah besar yang datang silih berganti. Dengan demikian kecerdasan otak semata tidak sudah tidak memadai lagi, perlu dilengkapi kecerdasan  ruhani yang seharusnya lahir antara lain dari praktek berpuasa.

Rasa lapar dan dahaga selama satu bulan semstinya membangun kepekaan bathin akan tanggung jawab kolektif kita untuk memperbaiki keadaan yang terlanjur rusak. Tetapi alangkah susahnya, tidak jarang pula para pemimpin agama sudah sulit untuk diteladani, apalgi yang terlibat di dunia politik.

Dari segi perilaku kongkret, tidak mudah bagi orang sekarang membedakan mereka yang mengaku percaya kepada wahyu dan mereka yang tidk menghiraukan agama. Semuanya berimpit dan berkubang dalam filosofi mumpungisme.

Motonya : kapan lagi meraih keuntungan, jika bukan selagi punya posisi, keriteria halal dan haram sudah tidak mampu lagi mengawal dan mengontrol perilaku buruk itu. Inilah sebuah bangsa muslim terbesar di muka bumi yang masih gagap memetakan masa depannya.

Al- Qur’an memang masih dibaca dan bahkan dipertandingkan, tetapi pesannya moralnyadiabaikan tanpa rasa dosa dan salah. Mari kita simak baik-baik ayat 96 dari surat al-A’raf:

ولوان اهل القرى ءامنوا وتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والارض ولكن كذبوا فاءخذ نهم بما كانوا يكسبون

” dan sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami bukakan karunia untuk mereka, dari langit dan bumi. Tetapi mereka berdusta, lalu Kami siksa mereka lantaran apa yang mereka usahakan”.

Mudah-mudahan dusta kolektif kita belum sampai ke batas yang tidak ditolong, kita akan segera siuman. Ini harapan kita semua, kita harus bangkit kembali dengan stamina baru dan lebih segar dan prima, berkat puasa Ramadhan yang baru saja kita lalui.

Delapan tahun sudah era revormasi berjalan dengan segala sisinya yang positif, seperti pembatasan masa jabatan presiden, tidak boleh lebih dari 2 periode. Juga proses pemilihan sudah pula dilajsanakn secara langsung dengan aman dan terkendali.

Kini tinggallah bagi yang terpilih untuk segera merealisasikan amanah yang telah diberikan rakyat untuk mengambil langkah dan keputusan yang tepat dan berani. Dalam situasi yang tidak normal ini, sikap ragu-ragu hanyalah memperpanjang penderitaan rakyat banyak yang telah puluhan tahun menanti dan menanti perbaikan nasib yang belum kunjung datang.

Saya melihat bahwa masalah fundamental yang dihadapi bangsa ini sejak proklamasi 17 Agustus 1945 yang belim juga terpecahkan dengan baik sampai hari ini adalah persoalan kepemimpinan yang efektif untuk menjalankan perintah konstitusi. Bahwa rintangan selalu muncul, tidak seorangpun menafikan.

Tetapi tugas pemimpin yang berni dan arif adalah mengubah rintangan dan tantangan itu menjadi peluang unetk melepaskan bangsa ini dari posisi mihon belas kasihan bangsa lain. Selama perbaikan tidak juga kunjung menjadi kenyataan, tidak banyak gunanya kita menyumpahi penjajah, karena kelakuan kita ternyata setali tiga uang dengan perilaku mereka.

Di bawah sistem kolonial, sebagian besar rakyat tertindas dan menderita, di era kemerdekaan peta kemiskinan juga belum berkurang.

Kaum muslimin yang berbahagia

الله اكبر الله اكبر,لااله الاالله الله اكبر الله اكبرولله الحمد

                Sekiranya bangsa ini memang sudah terlalu jauh berkubang dalam dosa dan dusta, al-Qur’an melarang kita untuk putus harapan, larut dalam keputusasaan, sebab Allah Maha Pengampun terhadap semua dosa, kecuali dosa syirik. Mari kita ikuti firman dibawah ini yang diturunkan pada periode makkah dalam suart al-Zumar : 53-54.

قل ياعبادى الذين اسرفواعلى انفسهم لاتقنطوامن رحمة الله ان الله يغفر الذنوب جميعا انه هوالغفورالرحيم.وانيبوا الى ربكم واسلموا له من قبل ان يأتيكم العذاب ثم لا تنصرون.

“katakanlah,”wahai hamba-hambaku yang telah melampaui batas atas diri mereka – telah berkubang dalam dosa dan dusta -, janganlah kamu putus harapan dari rahmat Allah.

Sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa, sesungguhnya Ia Maha Pengampun , Penyayang, Dan kembalilah kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum azab datang kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong lagi”.

Harapan kita, tentu saja, pukulan sejarah dan pukulan alam yang datang silih berganti.

 

Momentum Idul Fitri untuk Membangun Solidaritas Sosial

Oleh : DR. H. Abd. Salam Arief, M.A.

                Kaum Muslimin dan Muslimat  jama’ah sahalat ‘idul fitri yang berbahagia, rahimakumullah. Mari kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita dapat menunaikan shalat Iul Fitri 1426 H ini, dengan penuh kekhusukkan dan kedamaian.

Dengan nikmat dan karunia-Nya pula,kita telah dapat menyelesaikan ibadah puasa selama bulan Ramadhan. Semoga puasa dan amal ib adah kita yang lain,diterima Allah SWT. Ada tiga fungsi utama dalam ibadah puasa yan baru saja kita laksanakan itu:

Pertama,memantapkan nilai-nilai iman, dikarenakan tidak mungkin seseorang dengan kegtabahan menahan diri saat berpuasa tanpa dilandasi dengan iman yang kukuh. Kedua, menggalang dan memperkuat semangat kebersamaan diantara sesama muslim.

Kebersamaan itu terlihat baik dalam keluarga atau masyarakat yang ada di mushola, di masjid-masjid atau forum-forum shilaturrahmi pada saat berbuka puasa dan tarawih bersama.

Ketiga, meningkatkan amal ibadah,yang sekaligus juga mempertinggi posisi ketakwaan di sisi Allah SWT. Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (185) : yaitu: agar kamu bertaqwa.

                Ramadhan sebagaimana diuangkapkan oleh Rasulullah  SAW adalah bulan yang permulaannya bertaburan rahmah, pertengahannya pertebaraan maghfirah (penuh ampunan), dan penutupan itqun minannar yaitu pembebasan dari siksa neraka bagi hamba-hamba-Nya yang saleh, kini telah berakhir.

Saat ini kita akhiri ibadah puasa dengan mengangungkan asma Allah SWT, dengan menggemakan takbir dantahmid, memuja dan memuji kebesartan-Nya, sekaligus juga mengakui kelemahan, keterbatasan dan ketidak berdayaan manusia  sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 185:

(Dan  hendaklah kamu mengangungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,supaya kamu bersyukur).

Kaitannya dengan ibadah puasa yang telah kita laksanakan adalah; ditegaskannya sekali lagi oleh ajaran agama, agar lebih tumbuh lagi komitmen kita kepada kaum dhuafa’ dan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Haruslah disadari pula bahwa,dibalik kelimpahab rizqi yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita,  terlihat dengan jelas pemandangan di masyarakat adanya kemiskinan, kefakiran dan kepapahan yang masih melanda saudara-saudara kita yang perlu disantuni. Oleh karenanya tidak patutu kiranya, kita memamerkan sikap hidup yang bermewah-mewahan, dan berlebih-lebihan.

Al-Qur’an Al-Karim dalam berbagai ayat, sangat memperingatkan terhadap mereka yang hidup bermewah-mewahan surat Al-Waqi’ah (56) ayat 45 :

(Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewahan)                           

Dalam surat Al-Mukminun (23) ayat 64 :

(Hingga apabila,kami timpakan azab kepada mereka yang hidup bermewah-mewahan denfan serta merta mereka memekik minta tolong)

Sementara itu sikap hidup yang melewati batas dan berlebih-lebihan juga dicela oleh Al-Qur’an,dikemukakan sebanyak 23 kali terhimpun diberbagai surat dalam berbagai redaksi ayat. Antara lain dalam suraty Al-An’am (6) ayat 141:

(Janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang yang berlebihan)

Islam justru menganjurkan sikap hidup yang wajar dan penuh kesederhanaan,apalagi sikap hidup yang bermewah-mewahan dan berlebih-lebihan acap kali menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat.

Sikap hidup yang bermewah-mewahan dan berlebih-lebihan merupakan sikap hidup yang selalau memandang ke atas. Bila sikap hidup seperti itu telah menjangkiti jiwa manusia, maka dampaknya akan menimbulkan dua sikap negatif dalam jiwa manusia.

Pertama, akan timbul sifat serakah, tamak dan angkara murka terhadap harta. Sifat ini akan mengantarkan manusia untuk menempuh segala cara yang dapat diperoleh untuk memenuhinya.

Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Hurairah :

                Akan datang suatu masanya,bahwa manusia tidak perduli lagi apa yang akan diraihnya, apakah yang diambilnya itu sesuatu yang halal atau yang haram.

Kedua,kecenderungan mengingkari nikmat Allah,dan tidak mensyukurinya. Rasulullah berpesan dalam haditsnya yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah:

                Lihatlah orang di bawahmu (dalam masalah harta),dan janganlah engkau melihat orang di atasmu,karena sikap yang demikian itu lebih patut, supaya engkau (menghargai) dan tidak meremehkan kenikmatan Allah yang dianugerahkan kepadamu

Jama’ah shalat idul fitri yang kami mulyakan        

Seseorang yang telah menghayati,meresapi serta merenungkan makna ibadah puasa yang telah dilaksanakannya,niscaya akan timbul dalam jiwanya suatu kesadaran untuk menolong dan membantu kepada sesamanya yang masih dalam keadaan kekurangan.

Apalagi bagi yang mampu, hal itu merupakan kewajiban agama yang harus ditunaikannya berupa zakat al-mal atau zakat fitrah. Mengenai zakat al-mal Allah SWT antara lain menegaskan dalam surat At-Taubah ayat 103:

                (Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka).

Sedangkan menunaikan zakat fitrah sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Majah dari Abu Abas:

Rasulullah mewajibkan  zakat fitrah sebagai pensucian diri bagi yang berpuasa dari segala ucapan yang tidak senonoh dan sia-sia, juga sebagai pemberian makanan bagi kaum fakir miskin.

Siapa saja yang menunaikan zakat fitrah itu sebelum shalat id,maka hal itu merupakan zakat yang diterima.Sedangkan yang menunaikan setelah shalat id, maka dikatagorikanj sebagai salah satu shadaqah. 

Dalam sabdanya yang lain,Rasulullah menekankan ditunaikannya zakat fitrah bagi kaum muslimin yang mampu dan diberikan kepada kaum fakir miskin serta kaum dhuafa’ di hari yang bahagia ini. Yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibn Umara sebagai berikut:

                Berikanlah kecukupan kepada kaum dhuafa’ dan fakir miskin itu, agar mereka tidak lagi berkeliling meminta-minta pad hari raya idul fitri ini. 

                Itulah suatu bentuk solidaritas sosial dan komitmen terhadap kaum dhuafa’ yang diwujudkan memalui zakat fitrah. Bahwa dua setengah kilogram beras adalah merupakan sikap awal, dari sebuah jumlah besar yang akan dikeluarkan oleh kaum berharta memalui zakat mal.

Pemberian santunan dan pemberdayaan kaum yang lemah oleh mereka yang berharta dan berkecukupan adalah suatu tanggung Jawab sosial dan sekaligus juga merupakan kewajiban agama.

Seseorang yang berharta dan kikir terhadap hartanya, kelak ia akan diminta pertanggung jawaban dihadapan Allah SWT. Bahkan segala fasilitas yang pernah dianugerahkan Allah kepadanya kelak akan diminta pertanggung jawaban pula. Dengan tegas Allah SWT mengemukakan dalam firman-Nya surat At-Tatsur (8) :

Artinya :” Kemudian kamu pasti akan diminta pertanggung jawaban pada hari itu (hari kiamat) atas  segala kenikmatan (dan fasilitas hidup yang kamu bermegah-megahan di dunia).

Pada hari ini,kita telah berada pada hari pertama bulan syawal. Syawwal artinya peningkatan. Hikmah dan anjuran berbuat kebaikan yang selama bulan ramadhan itu dikumandangkan dan dilaksanakan, marilah kita tingkatkan penerapannya di hari-hari di luar bulan  Ramadhan, yaitu dengan membangun dua jalur komunikasi lebih intensif lagi berwujud: hablum munallah (meningkatkan sholeh spiritual) dan hablum minannas (meningkatkan sholeh sosial),serta mempererat silaturrahmi diantara sesama dan saling memaafkan.

Minta maaf itu sendiri merupakan suatu nilai kebajikan,sedangkan memberi maaf adalah suatu yang lebih dianjurkan lagi dalam islam. Tradisi saling memaafkan dalam suasana idul fitri ini adalah momentum paling baik untuk saling mempertautkan hati dan rekonsiliasi kedua belah pihak yang selama ini berjauhan. Karena manusia itu sesungguhnya tidak lepas dari khilaf dan kesalahan.

Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya surat An-Nur ayat 22 :

                Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada,apakah kami tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Semoga momentum idul fitri yang bahagia ini,lebih dapat lagi membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat dalam mengatasi kemiskinan ekonomi,kemiskinan pendidikan,dan kemiskinan moral bangsa.                  

 

 

 

Tinggalkan komentar